Sepanjang jalan, berkali-kali Sean melirik gadis yang masih belum sadarkan diri di sampingnya. Hatinya bergolak tak tenang. Beberapa pemikiran mampir di otaknya.
Kenapa ia malah membawa pulang gadis itu? Bukannya membawa ke rumah sakit terdekat. Tapi siapa yang akan menungguinya jika di rumah sakit? Dan ia harus menjelaskan banyak hal pada pihak rumah sakit karena ia bukan siapa-siapa gadis itu. Bahkan mereka juga tak saling mengenal.
Jika dia bilang gadis itu korban perampokan, maka akan ada polisi yang mengintrogasinya, menjadikannya saksi.
Tapi jika dibawa pulang, pasti akan sangat merepotkan bibi Mer, karena ini sudah hampir tengah malam.
Tanpa terasa, mobil mewahnya sudah berada di depan pagar rumah. Aland terlihat di balik pagar yang mulai terbuka pelan. Sean menurunkan kaca mobil.
"Tolong buka pintu rumah." Ia berkata sambil melajukan mobil perlahan menuju pintu. Aland berlari mendahului. segera melaksanakan permintaan Sean.
Setelah menghentikan mobil, pria tampan itu bergegas ke samping mobil. Membuka pintunya dan mengangkat tubuh gadis itu. Ia melangkah cepat ke dalam. Rasa panik mulai merayap dalam hati.
"Panggil bibi Mer sekarang, minta dia langsung ke kamar tamu." Suaranya bergetar ketika memerintah Aland yang sejak tadi mengekor dengan pandangan bertanya. Setengah berlari, Aland menuju ke bangunan lain yang berada di belakang rumah besar ini. Rumah khusus para asisten rumah tangga di sini.
Sean meletakkan tubuh mungil gadis itu di atas ranjang. Napasnya tersengal. Walaupun tak terlalu berat, tapi menggendongnya ke kamar tamu di lantai dua rupanya melelahkan.
Rambut hitam dan panjang milik gadis itu terasa sangat lembut ketika Sean menarik tangan kanannya dari bawah kepala. Dengan perlahan, ia kembali menarik tangan kirinya yang berada di bawah lutut. Membuatnya terbaring sempurna.
Wajah cantik khas asia dengan sepasang mata dengan bulu mata lentik itu masih terpejam. Terdengar hela napas teratur dari hidung mungilnya. Sean menelan saliva dan menahan napas ketika melihat bibir tipis berwarna pink milik gadis itu. Ia segera mengalihkan pandangan. Menyusuri tubuh gadis berkulit sawo matang di depannya. Dress tanpa lengan biru muda selutut membungkus tubuh. Perlahan, Sean beranjak melepas sepasang stilleto hitam yang masih melekat di kaki gadis itu.
Rasanya begitu lega ketika terdengar ketukan pelan di pintu kamar tamu, Sean menoleh, melihat bibi Mer bersama Aland di sana. Ia mengangguk pelan membiarkan mereka berdua masuk. Kadar paniknya sedikit berkurang.
"Dia masih belum sadar." sebelum ada yang bertanya, Sean memberi penjelasan. Nada datar yang selalu terdengar kini menghilang, berganti nada panik yang masih tersisa. Bibi Mer mendekat, duduk di samping ranjang.
"Astaga.. apa yang kau lakukan padanya?" Perempuan paruh baya itu terkejut ketika melihat keadaan gadis yang terbaring lemas di ranjang dengan sudut bibir berdarah dan pipi sedikit lebam. Ia melempar pandangan menuduh pada Sean yang berdiri di sampingnya.
"Aku tidak melakukan apapun. Penjahat brengsek itu sepertinya menampar gadis ini hingga pingsan." Ia membela diri, tidak terima dijadikan tersangka oleh bibi Mer. Sementara Aland berusaha menahan tawa melihat wajah sebal Sean. Selama ini Tidak ada yang berani memarahi bossnya selain bibi Mer. Dan tak ada yang bisa mengacaukan ekspresi dingin itu selain perempuan paruh baya yang sudah mengasuhnya sejak usia sepuluh tahun.
"Aland, ambil kotak obat di dapur." Bibi Mer memerintah sambil menempelkan telapak tangan besarnya di kening gadis itu.
"Atau biar kubawa dia ke rumah sakit saja?" Kali ini Sean bersuara. Nada panik itu masih bertahan. Ia bersandar di nakas di samping ranjang. Tangannya terkepal. Ia hanya mengamati ketika bibi Mer menyibak anak rambut di dahi gadis itu.
"Tidak perlu. Dia hanya pingsan." Bibi Mer bergerak cepat, membuka kotak obat yang diberikan Aland. Mengambil kapas dan meneteskan alkohol kemudian mengusap pelan luka di sudut bibir gadis itu.
"Tapi kau jadi repot seperti ini." Sean mendekat, bermaksud mengangkat tubuh gadis itu.
"Biarkan dia istirahat dulu. Kalau sampai besok dia belum sadar, baru kita bawa ke rumah sakit." Bibi Mer menahan langkah Sean, ia kemudian mengambil salep dan mengoleskan di lengan perempuan itu yang terlihat membiru bekas cengkraman penjahat tadi. Perkataan bibi Mer membuat kepanikan yang tadi menhampiri perlahan menghilang.
"Sudah selesai. Tidak repot sama sekali." Dengan cekatan, perempuan paruh baya itu memasukkan obat-obatan dalam kotak dan mengulurkan kembali pada Aland yang sedari tadi masih di tempatnya.
"Istirahatlah, sudah lewat tengah malam." Perhatian kecil dari Bibi Mer menerbitkan sebersit senyum di wajah yang biasanya selalu dingin. Hanya sekejap lengkungan bibir itu terlihat, kemudian berganti ekspresi datar seperti biasa.
"Terimakasih, Bi.. thanks Al." Sean berkata pelan ketika dua orang itu beranjak meninggalkan kamar. Mereka hanya mengangguk.
Pria itu mendekat ke sisi ranjang, menarik selimut di ujung tempat tidur dan menyelimuti gadis itu hingga sebatas bahu. Ia menghela napas pelan ketika tubuhnya berada sangat dekat dengan gadis cantik di depannya. Jantungnya bertalu. Tiba-tiba ia merasa gelisah. Kedua tangannya terkepal erat mencengkram selimut saat hangat napas gadis itu menerpa wajahnya.
Ia beranjak menjauh, menenangkan perasaanya yang mendadak aneh. Dengan gontai, ia melangkah ke kamarnya yang berada di samping kamar tamu.
------------------------------------------------------
Hari masih pagi ketika Sean terbangun dari tidur yang rasanya hanya sesaat. Meski merasa sedikit pening, Ia tetap mandi. Mengganti piama dengan t-shirt abu-abu dan jeans hitam. Pukul enam tepat, sosok tegapnya sudah berada di ruang makan. Menekuri segelas espresso yang masih menguarkan uap panas.
Matanya terpejam menikmati aroma legit minuman kental dalam gelas di genggamannya. Rasa hangat menjalar di telapak tangan. Membuat perasaannya terasa lebih baik. Bibi Mer sibuk menyiapkan segelas air mineral, dua butir aspirin dan dua potong sandwich kemudian meletakkannya di atas nampan.
"Aku akan memeriksa keadaannya." Wanita tambun itu beranjak ke lantai dua. Meninggalkan Sean dengan ritual Espresso time, begitu bibi Mer menyebutnya.
Hanya anggukan kecil yang ia berikan pada bibi Mer sebelum sosoknya menghilang di balik pintu ruang makan. Ia kembali berkutat dengan minuman yang kini telah menghangat. Meneguknya pelan. Menikmati rasa hangat, manis dan sedikit pahit yang mengalir di dalam kerongkongannya.
Sementara itu, Bibi Mer sudah berada di kamar tamu. Setelah meletakkan nampan di atas nakas, ia kembali menempelkan telapak tangan di kening gadis yang masih terlelap. Suhu tubuhnya tidak sepanas kemarin.
Karena merasakan sentuhan di dahinya, gadis itu membuka mata. Dahinya berkerut ketika melihat seorang wanita paruh baya di hadapannya. Pandangannya menyapu sekitar dan kembali terhenti pada bibi Mer.
"Aku dimana?" Suara gadis itu terdengar pelan. Ia berusaha mengumpulkan tenaga untuk menggerakkan tubuh agar bisa duduk. Bibi Mer segera membantu menopang lengannya.
"Kau di rumahku." Nada dingin dan datar terdengar dari sudut ruangan. Sean berdiri di sana dengan kedua tangan berada di saku dan tubuh bersandar pintu. Ekspresinya begitu dingin dan tak terbaca. Sepasang mata biru menatap tajam pada gadis yang kini tak berkedip memandangnya.
"Sean yang menolongmu semalam." Bibi Mer mencoba mencairkan suasana yang terasa kaku. Ia tersenyum hangat pada gadis yang terlihat masih kebingungan.
"Oh.. iya aku ingat.. semalam ada dua orang yang mencegatku di jalanan. Mereka mencoba melecehkanku.." Tubuh ramping itu membeku, matanya mengembun. Sementara Sean mengepalkan tangan sangat erat di saku celana. Emosinya memuncak mengingat kejadian dimana dua pemuda itu mendesak tubuh gadis itu dan mulai menggeranginya. Membuat Sean melompat dari dalam mobil dan menghajar mereka.
"Ya Tuhan.. malang sekali nasibmu." Dengan perhatian, Bibi Mer berkata sambil mengenggam punggung tangan gadis gadis di depannya yang sedikit gemetar. Sean mengatur napas. Mengendalikan emosi yang entah bagaimana mendadak hadir.
"Salah satunya menamparku dan setelah itu aku tidak ingat apapun.." ia bersandar di ranjang dengan mata terpejam. Kepalanya terasa pusing.
"Siapa namamu?" Nada dingin Sean memaksa gadis itu membuka mata dan kembali memandang wajah tampannya.
"Kinan.. eh, kenapa kau membawaku kemari?"
"Aku tak menemukan tanda pengenal yang menunjukkan alamatmu." Dengan lancar pria itu berbohong. Dalam kepanikan tak pernah terpikir untuk mencari tanda pengenal milik Kinan.
"Ada di tas ku.. dimana?" Wajah Kinan yang pucat kini semakin pucat dan panik. Ia memindai ruangan besar itu. Bibi Mer melakukan hal yang sama.
"Mereka membawanya kabur." Dengan mengedikkan bahu, Sean menjawab santai.
"Astaga.." Tubuh ramping Kinan kembali terkulai. Ia memijit kepala yang terasa berdenyut. Semua keperluanya ada di dalam tas itu. Dompet yang berisi gajinya sebulan, ponsel dan juga tanda pengenal, semuanya raib dalam semalam.
"Makan sarapan dan minum aspirinnya. Obat itu akan menghilangkan sakit kepalamu." Seakan tak peduli dengan kemalangan gadis itu, Sean berkata tajam dan beranjak pergi, tanpa memandang Kinan yang menatap geram pada sosok yang mulai menjauh. Detik itu juga, Kinan mengubah penilaiannya tentang Sean. Beberapa saat lalu, ia memang terpesona pada ketampanan pria itu. Tapi ternyata tabiatnya tak seindah wajahnya. Pria tampan yang angkuh, dingin, dan tak punya hati.