Matahari bersinar cerah. Cahayanya menerobos tirai jendela. Sinar matahari siang di pertengahan musim semi itu terasa menyilaukan. Menerangi kamar bernuansa abu-abu itu. Sean mengerjapkan mata beberapa kali, mengamati sekitar. Rasanya begitu familiar.
Perlahan, ia mulai menyadari, jika ini adalah kamarnya. Tubuhnya masih bergelung di tempat tidur dengan setelan jas dan celana kostum konser semalam yang kini terlihat sangat kusut. Bibir tipisnya mengerang pelan saat tubuhnya bersandar di kepala ranjang.
"Kepalaku rasanya mau pecah." Sean memijat pelipis dengan sebelah tangan sementara tangan kanannya meraba nakas mengambil segelas air mineral dan meneguknya hingga separuh kemudian meletakkan kembali di tempat semula.
Dengan sangat pelan, Sean berusaha bangkit. Menyibak selimut dan menapakkan kaki di karpet tebal. Dengan langkah terseret, Sean menuju kotak P3K yang tak jauh dari ranjang, mencari aspirin. Ketika menemukan dua butir terakhir, ia menelannya, melanjutkan dengan air yang tinggal separuh.
Kakinya terasa berat untuk melangkah, tapi sangat tidak nyaman memakai jas dan kemeja di cuaca hangat seperti ini. Ia kembali memaksa kakinya menuju ke lemari, mengambil sebuah t-shirt putih dan menggantinya saat itu juga, jas dan kemeja yang sudah kotor ia lempar ke sembarang arah.
Pria itu kembali memaksa kakinya ke tempat tidur. Merebahkan tubuh di sana. Ia kembali terlelap karena efek obat yang diminumnya mulai bekerja.
Enam jam kemudian, terdengar ketukan sangat keras di pintu kamarnya. Mau tak mau, Sean membuka mata. Mengumpulkan kesadaran kemudian beranjak membuka pintu. Seorang perempuan berdiri di hadapannya sambil memegang telepon wireless.
"Jhon menelepon.." Wanita itu memberikan telepon pada pria berhidung macung yang bersandar pada daun pintu dengan mata setengah terpejam. Ia mengernyit melihat penampilan Sean. Rambut sewarna tembaga itu benar-benar berantakan, wajah tampannya begitu kumal dan kusut.
"Terima kasih Bibi." Sean menerima telepon kemudian masuk ke dalam kamar. Bibi Mer yang merupakan kepala asisten rumah tangga di rumah mewah itu beranjak pergi setelah menutup pintu dari luar.
"Sean.. apa kau baik-baik saja?" Nada khawatir Jhon yang pertama menyapa gendang telingannya. Tanpa salam pembuka apapun.
"Aku masih hidup." sambil berdiri di balkon bersandar di pagar, Sean menjawab santai . Pemandangan senja dan udara yang terasa segar membuat matanya terbuka lebar. Tak terasa hampir tujuh jam ia tertidur. Dua butir aspirin itu bekerja dengan baik. Nyeri di kepalanya benar-benar hilang.
"Tentu saja, kau masih bisa berbicara di telepon. Kupikir kau pingsan atau semacamnya dan dilarikan ke rumah sakit. Semalam kau benar-benar terlihat kacau...." Jhon berbicara panjang lebar. Sementara Sean mengernyit mengingat-ingat keadaannya semalam. Separah itukah?
"Hmm.."
"Seharian aku menghubungi nomormu tapi tidak tersambung. Jadi aku menelpon rumahmu. Kata Bibi Mer kau belum keluar kamar sejak tadi pagi." Lagi-lagi Jhon mengomel panjang lebar. Dan untungnya Sean sudah terbiasa. Lima tahun bekerja bersama membuatnya hapal sifat dan kebiasaan managernya itu.
"Ponselku mungkin mati kehabisan batrai. Dan aku baru bangun sejak semalam." Pria itu sedang malas menjelaskan jika dia sempat bangun tadi pagi hanya untuk tidur lagi.
"Astaga.. kau tidur atau pingsan? Aku tahu kau terkejut melihat insiden semalam, tapi rasanya benar benar mengkhawatirkan melihat kondisimu yang seperti itu." Kali ini Sean mendengus sebal. Ia merasa bahwa kekhawatiran Jhon sebagai managernya terdengar berlebihan. Tentu saja jika mengingat Jhon tidak pernah tahu masa lalu Sean. ia tidak pernah bercerita apapun. Hanya bibi Mer yang tahu semua kisahnya.
"I'm fine.. okay.. ada perlu apa kau menghubungiku?"
"Hanya mengingatkan pertemuan nanti malam. Kita bertemu di sana? Atau aku saja ke rumahmu?"
"Aku ke sana. Jam tujuh tepat."
Sean melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Kurang dua jam lagi.
"Oke.. eh, kau benar-benar baik-baik saja kan?" Sekali lagi Jhon bertanya. Membuat Sean mengerang kesal.
"Astaga.. kau seperti kekasihku yang over protektif." Pria itu bersiap menekan tombol end ketika jawaban Jhon membuatnya mematung.
"Seperti kau punya kekasih saja.." Terdengar tawa Jhon di seberang sana sebelum panggilan terputus. Setelah itu Sean membanting telponnya. Membuat benda itu hancur menjadi beberapa potongan. Ia beranjak ke kamar mandi dengan raut wajah yang sangat sebal.
Sean merendam tubuhnya dalam bathtub air hangat. Aroma terapi membuatnya sedikit rileks. Setelah berendam hampir setengah jam, ia beranjak dengan melilitkan handuk di pinggang. Menuju ke lemari, mencari baju yang cocok dipakai saat cuaca hangat seperti ini. Tubuh atletisnya kini berbalut t-shirt abu-abu dan blazer dengan warna yang sama, tidak lupa celana jeans dongker. Tidak terlalu formal tapi cukup rapi. Pria itu menyugar rambutnya yang masih basah. Hilang sudah tampang kumal dan kusut yang sejak semalam hinggap di wajah tampannya.
Ia melangkah pelan menuruni tangga melingkar dari lantai dua. Converse hitamnya menapak ringan di lantai.
"Tolong rapikan kamarku." Tuan rumah yang irit bicara itu berpesan pada salah satu asisten rumah tangga yang ia temui. Sebelum berangkat tadi, ia baru menyadari jika keadaan kamarnya seperti kapal pecah. Selimut yang ia tendang saat tidur tadi teronggok di lantai, sepatu yang ia lempar semalam, termasuk kemeja dan jas, serta handuk, Semua benda itu berserakan di lantai kamarnya yang berlapis karpet tebal. dan yang terakhir telepon wireless yang ia banting di lantai balkon. Sempurna sudah.
Aland terlihat berlari kecil dari samping pagar ketika melihat sosok majikannya di depan pintu rumah.
" Mau saya antar, Boss?" Tanpa banyak bicara, ia menyerahkan kunci mobil yang samalam dipakai mengantar Jhon.
"Thanks Al. Aku pergi sendiri." Sambil melangkah ke garasi, Sean bergumam. Sementara Aland hanya mengangguk. Ia kembali bergegas ke tempat semula, membuka pagar yang dikendalikan remote ketika melihat Sean mengeluarkan mobil dari garasi.
Pria tampan itu melajukan mobil perlahan meninggalkan kediamannya. Menuju ke salah satu cafe di montmatre untuk bertemu Jhon.
Pukul tujuh tepat, mobil mewah itu merapat ke salah satu cafe minimalis yang sering ia datangi. Sean memilih kursi dekat jendela. Agar bisa melihat kedatangan Jhon. Ia memesan segelas espresso dan black forest. Menu yang sama setiap kali ia kesini. Alunan musik terdengar dari pengeras suara di dalam cafe. Tanpa sadar, pria itu menggerakkan jemarinya mengikuti alunan lagu. Ia membayangkan sedang menekan tuts-tuts piano.
"Maaf aku terlambat." Suara berat Jhon terdengar ketika pria bertubuh besar itu duduk di hadapannya. Ia memanggil seorang waiter dan memesan segelas latte. Gerakan jemari Sean berhenti dengan sendirinya ketika ia fokus pada Jhon.
"Sepertinya kau terlihat lebih baik." Jhon kembali memancing obrolan. Ia mengamati pria bertubuh tegap di depannya yang kini sibuk menyendok black forest dan memasukkannya dalam mulut. Mengunyah sebentar sebelum menimpali obrolan.
"Sudah kubilang aku baik-baik saja." Jawaban Sean terdengar datar.
"Kau mau menjelaskan sesuatu tentang keadaanmu semalam? Aku siap mendengarkan." Nada simpati terdengar dari kalimat manager yang sudah lama ia kenal. Tapi Sean hanya mengedikkan bahu. Tak berniat menjawab.
"Bagaimana planing konser dua minggu lagi?" Tak ingin berlarut-larut membicarakan kehidupannya, pria tampan kelahiran Spanyol itu langsung menuju pokok pembicaraan.
"Apa kau yakin akan mengikutinya? Maksudku ini bukan konser biasa. Kau tak akan mendapat sepeserpun dari acara itu." Ragu-ragu Jhon menjawab.
"Ya. Dan kau tak perlu khawatir, Aku akan tetap membayarmu seperti di konserku yang biasanya."
"Ini bukan soal aku yang mendapat honor atau tidak.. tapi ini menyangkut dirimu. Semua media akan ramai membicarakannya. Sean Altezza mengikuti konser amal?" Jhon mendengus pelan. Sementara Sean masih menunggu kelanjutan perkataan Jhon.
"Kau mau menghancurkan image mu? Kau dan yayasan pecandu narkoba? Apa yang akan orang-orang pikirkan?"
"Bukan.. itu yayasan rehabilitasi pecandu. Orang-orang disana butuh dana untuk sembuh. Mereka juga berhak hidup normal." Sean menekankan kata rehabilitasi pada Jhon dengan Ekspresi masih datar.
"Dan aku tak peduli apa yang orang pikirkan. Ketenaran hanya salah satu bonus untuk keahlian bermain pianoku." Sean meneguk espresso yang mulai hangat. Sementara Jhon memberengut sebal.
"Baiklah.. terserah kau saja. Aku memang kau bayar untuk mengurusi tingkah menyebalkanmu."
Mereka berbicara selama hampir tiga jam. Membahas jadwal konser Sean untuk beberapa bulan ke depan.
Pukul sepuluh, dua orang itu berpisah. Sean melajukan mobil perlahan di pinggiran kota paris yang terlihat mulai lenggang.
Ia membuka bagian atas mobil convertiblenya. Menikmati angin malam yang berhembus pelan.
Di kejauhan, ia melihat tiga orang berkerumun di pinggir jalan yang sedikit gelap. Salah satunya perempuan. Mobilnya melaju pelan melewati ketiganya.
"Tolong... tolong.. tolong.." sebuah teriakan memaksanya menghentikan kendaraan. Meski Sean terlihat cuek dan angkuh, tapi hati nalurinya masih bekerja dengan baik. Ia tak bisa mengabaikan teriakan meminta tolong itu dan memutuskan Menepikan mobilnya.
Dari kaca spion ia melihat perempuan itu diseret paksa oleh dua lelaki.
"Tolong.. tolong.." Teriakan minta tolong itu terdengar lagi. Jalanan sangat sepi. Hanya ada dia dan mereka. Kedua pria itu menghimpit tubuh perempuan itu di tembok.
Sean meloncat dari mobil ketika tahu apa yang akan dilakukan dua lelaki itu pada perempuan yang tadi diseretnya. Perempuan itu masih memberontak dalam cengkraman salah satu lelaki, dan satunya memberikan tamparan yang cukup keras di wajah gadis itu. Tubuhnya langsung terkulai. Pingsan.
"Lepaskan dia." Suara berat bernada memerintah itu terdengar dingin. Tubuh dua orang lelaki yang membelakanginya sontak berbalik.
"Shit!! Kau jangan ikut campur!!" Nada menantang terdengar dari salah satu penjahat. Sean hanya mengedikan bahu. Netra birunya menatap lekat pria yang berdiri di depannya. Tubuhnya kerempeng dan penuh tato. Bau alkohol menyeruak. Sementara pria satunya masih memegang lengan gadis yang terlihat pucat.
"Lepaskan dia." Sean mengulang perkataannya. Tapi pria bertato itu langsung menghadiahkan tinjunya. Refleks Sean menghindar, kaki kanannya menendang perut lelaki di depannya yang langsung terkapar. Pengaruh alkohol membuat penjahat itu tak bisa berkelahi bahkan tak sangup berdiri dengan baik.
Melihat temannya terkapar, penjahat satunya lebih memilih kabur. Ia melepaskan perempuan itu dan membawa lari tas dalam genggamannya. Sean menangkapnya tepat sebelum tubuh perempuan itu luruh ke lantai. Keinginannya untuk mengejar pencuri itu tak terlaksana.
"Hei Nona.. bangunlah.." Sean menepuk pelan pipi gadis di hadapannya yang terlihat sangat pucat dan penuh air mata. Tapi sosok dalam dekapannya tak bergerak.
Tanpa berpikir lebih lama, Sean menggendong gadis cantik yang masih pingsan itu. Meletakkan dengan hati-hati di kursi sebelahnya dan memasang sabuk pengaman. Setelah menutup atap mobil, Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal. Membelah jalanan kota Paris yang mulai lengang. Membawa gadis itu pulang ke rumahnya.