Langit sore tampak begitu muram. Awan-awan kelabu semakin menggelap menghimpun uap air yang telah berkondensasi di atmosfer dan siap untuk kembali di tumpahkan ke bumi. Angin berlarian cukup kencang, menggoncang batang-batang pohon yang terkena sentuhannya. Tak hanya itu, ia pun mengadveksi awan-awan hitam ke beberapa tempat.
Bulan-bulan di awal tahun memang masih musimnya langit menumpahkan kandungannya. Air yang tumpah ruang di beberapa daerah berhasil menciptakan genangan-genangan yang tingginya bahkan ada yang melebihi atap rumah.
Udara yang menggigit kulit, terkadang berhasil membekukan langkah. Andai bukan karena kobaran semangat untuk mengumpulkan bekal di akhirat, ingin rasanya membelitkan selimut di sekujur tubuh, hingga menyerupai kepompong.
“Bun, Embun sakit lagi?” tanya Farzana seraya menghampiri ibunya yang terbaring di atas tempat tidurnya. Dia meletakkan punggung tangannya di atas kening sang ibu untuk mengecek suhu tubuhnya. Kirana memaksakan matanya untuk terbuka. Memberikan sedikit keyakinan bahwa ia baik-baik saja meski tak berhasil memupus sorot khawatir yang terlanjur terpancar dari kedua netra sang anak.
“Ga papa, Za, mungkin Embun hanya kecapean, tadi siang habis membantu umi mempersiapkan nikahan abangnya Adinda”
“Udah minum obat?” sebuah anggukkan lemah menjawab pertanyaan yang penuh rasa khawatir. Bagaimana tidak, Kirana adalah satu-satunya yang dimiliki Farzana sekarang. Ibu sekaligus ayah baginya. Tempatnya berbagi, bersandar, memberi pegangan dan sosok apapun yang dia butuhkan. Meskipun ia sadar bahwa manusia hanyalah makhluk yang harus siap kapanpun dipanggil kembali oleh Tuhannya. Ia pun paham bahwa bisa jadi justru dia yang meninggalkan sang ibu terlebih dahulu, karena kematian tak bersyarat harus tua atau sakit. Namun, tetap saja rasa takut kehilangan itu ada, terlebih bagi dirinya yang belum sepenuhnya dewasa.
“Besok kita check-up lagi ya, Bun?” ajak Farzana.
“Ga usah, besok juga pasti udah baikan”
“Bun...” sebuah lengkungan senyum diukir Kirana di kedua sudut bibirnya. Berusaha menghapus cemas yang menyelimuti perasaan Farzana.
“Udah, kamu ga usah khawatir. Embun ga papa, cuma butuh istirahat lebih banyak aja sekarang” Farzana masih menatap ibunya dengan lekat. Pernyataan ibunya tak benar-benar sanggup menghapuskan khawatirnya. Ia tahu benar, ibunya hanya menyembunyikan rasa sakit yang lebih lagi hanya tak ingin membuatnya bersedih.
Seperti pada umumnya seorang ibu yang tak ingin menyusahkan anak-anaknya, begitupun dengan Kirana. Ia pun cukup pandai menyembunyikan rasa sakitnya dari Farzana hanya karena tidak ingin mengukir sedih di mata sang anak. Ia rela mempung segalanya sendirian hanya karena tak ingin mematahkan mimpi-mimpi Farzana seandainya anaknya itu tahu penyakit apa yang harus dihadapinya. Ia paham betul siapa anaknya. Farzana tak akan membiarkannya bekerja keras sendirian demi dirinya. Farzana akan merelakan cita-citanya begitu saja hanya karena ia rasa itu akan membebankan orang tuanya. Hanya saja, Kirana sedikit lupa bahwa Pemilik semesta memiliki skenario yang lain. Bahwa Dia adalah Maha Pendidik, yang mengajarkan segala ilmu kepada manusia. Termasuk mengajarkan manusia untuk sabar dan tawakal, meski pada seorang anak remaja seperti Farzana.
Tanpa Kirana tahu, Farzana telah mengetahui apa yang dideritanya. Farzana pun tahu apa yang diinginkan oleh ibunya. Ia paham alasan sang ibu menyembunyikan sakitnya dari dirinya. Maka tugasnya kini, berjuang mewujudkan harapan sang ibu tanpa membebaninya. Kewajibannya sekarang adalah membayar segala pengorbanan sang ibu dengan berusaha meraih cita-citanya dengan sungguh.
[]
Note :
Kondensasi : proses berubahnya air menjadi partikel es akibat suhu udara yang rendah hingga akhirnya membentuk awan hitam yang tebal.
Adveksi : proses perpindahan awan secara horizontal dari satu lokasi ke lokasi lainnya akibat tekanan udara atau angin.