Hari dengan tanggalan berwarna merah dalam deretan kalender tidak selalu berarti libur bagi Farzana. Hanya saja, ia tidak perlu tergesa sejak pagi buta untuk menuntut ilmu. Hari Minggu ia manfaatkan untuk membantu segala pekerjaan sang ibu. Terlebih ketika ibunya sakit seperti saat ini.
Kicau burung pagi itu bersaing dengan kegaduhan hatinya. Keceriaan seakan dicuri nyaris tak tersisa bahkan hanya untuk segurat senyum. Binar bola matanya sedikit meredup berbanding terbalik dengan sang surya yang mulai benderang. Kedua kelopak matanya membendung cairan bening yang siap menjebol hanya dalam satu kedipan. Bahunya naik turun seirama dengan tarikan nafasnya yang terasa memberat, seolah oksigen dihadang masuk ke dalam paru-parunya. Sesak.
Kata demi kata yang terlantun dari mulut ibunya semalam seakan diutar ulang secara otomatis dalam kepalanya. Terdengar jelas memenuhi pendengarannya. Memanggil kilasan masa lalu yang telah lama tersimpan dalam tumpukan memorinya. Memaksanya untuk menghadirkan kembali ingatan-ingatan yang tak pernah sengaja disimpannya sebagai kenangan.
Semalam, sebelum keduanya beranjak menuju alam mimpi, seperti biasanya mereka akan berbagi cerita terlebih dahulu. Pillow talk. Selain memang sejak kecil Farzana terbiasa untuk mendengarkan cerita sebelum ia tertidur, momen ini pun merupakan waktu yang benar-benar pas bagi mereka untuk mengungkapkan apapun. Sebagai ibu rumah tangga dan kepala keluarga, siang adalah waktunya untuk mengurus rumah dan mencari nafkah. Sedangkan bagi Farzana, siang harinya ia habiskan untuk mencari ilmu dan berbagai kegiatan lainnya. Kirana tidak pernah melarang kegiatan apapun yang dijalani Farzana selama itu positif dan bermanfaat, baik bagi Farzana secara pribadi maupun orang lain. Bahkan Kirana sangat mendukung kegiatan-kegiatan Farzana meskipun dengan begitu anaknya tidak memiliki banyak waktu untuk membantunya. Bukan masalah bagi Kirana, karena menurutnya apa yang dijalan Farzana memang tugasnya, sedangkan bekerja adalah tugasnya dan ia tak mau sedikitpun membebani anaknya. Walaupun pada akhirnya anaknya tetap bersikeras untuk membantunya.
“Za...” panggil Kirana lirih, membuka cerita yang akan dibaginya. Hanya gumaman yang keluar sebagai tanggapan. Matanya menerawang pada angkasa yang terhalang langit-langit kamarnya.
“Kamu ingat, waktu kecil kamu pernah bermain dengan anak perempuan yang usianya sedikit lebih tua dari kamu?”
Daerah di antara kedua alis Farzana berkerut. Ia memaksa otaknya untuk mengingat. Beberapa kali ia memajamkan mata, berharap dengan begitu beberapa potongan masa lalunya dapat terputar bagai film.
“Dinda kan?” tanyanya meyakinkan namun dengan nada yang jauh dari kata yakin.
“Bukan...” jawab Kirana menegaskan ketidakyakinan Farzana.
“Yang pernah ayah ajak menginap di rumah kita yang dulu, Bun?” tanyanya lagi. Mencoba kekuatan ingatannya menyimpan memori, yang akhirnya diiyakan oleh sang ibu.
“Memang ada apa dengan dia?” sedikit heran karena tiba-tiba saja sang ibu menyinggung seorang sosok yang tak pernah diingat-ingatnya sedikit pun.
“Dia... sebenarnya dia... “ ada jeda yang tercipta. Farzana memilih menunggu sang ibu melanjutkan ceritanya. Ia mengubah posisinya menjadi miring hingga sepenuhnya menghadap Kirana. Masih tak ada jawaban. Dilihatnya Kirana berkali memejamkan mata, seolah sedang menyaksikan adegan-adegan yang hendak diceritakan kembali kepada sosok remaja yang terbaring di sampingnya. Beberapa helaan lolos dari saluran pernafasan Kirana. Seketika benaknya merangkai jawaban-jawaban yang menurutnya mungkin.
“Bun...” tegurnya lembut. Dirinya sudah tidak sanggup menahan rasa penasarannya.
“Sebenarnya dia kakakmu...”
Hening. Hanya suara cicak yang sedang mengintai nyamuk untuk segera dimangsanya. Memuaskan rasa lapar yang mungkin sedang ditahannya. Akalnya kembali bekerja untuk menghubungkan premis-premis hingga menghasilkan sebuah konklusi. Namun nihil. Jawaban-jawaban yang ditebaknya pun tak satu pun benar.
“Maksudnya Embun, kakak bagaimana? Anak ayah dari istrinya yang lain? Atau anaknya Embun dari suami sebelum ayah?”
Sebuah gelengan tertangkap kedua netra Farzana.
“Jadi?”
“Ya, dia kakak kamu. Dia anaknya Embun dan ayah sebelum ada kamu. Dia kakak kamu. Satu-satunya kakak kamu...”
“Ko Embun baru cerita ke aku sekarang?” Tuntut Farzana dengan nada yang sarat dengan tanya namun tetap menjaga agar tidak dengan suara tinggi. Ia hanya tidak mau menyakiti ibunya kembali setelah aksi ngamuknya hampir enam tahun lalu saat kedua orang tuanya tidak bisa mengabulkan keinginannya untuk bersekolah sesuai pilihannya. Terlebih orang tuanya kini hanya tinggal Kirana.
“Karena Embun rasa sudah waktunya kamu tahu. Sekarang kamu sudah bisa mencerna apapun yang sampai kepadamu. Kamu sudah dapat memilah. Dan kamu sudah bisa memahami. Dan yang pasti, Embun khawatir tidak sempat menyampaikannya nanti..”
Kedua belah bibirnya seketika mengerucut. Ada rasa takut yang kembali menyeruak. Ia belum siap untuk kembali ditinggalkan.
“Emang Embun mau ke mana?” tanyanya berpura-pura tak mengerti dengan kalimat terakhir yang disampaikan sang ibu.
“Farza kan sudah paham, tidak ada yang abadi di dunia ini kan? Kita pasti akan kembali padaNya, tidak harus menunggu tua, tidak harus sakit terlebih dahulu...”
“Ini hanya kekhawatiran Embun aja. Harapannya, kita bisa kembali berkumpul. Meskipun nanti hanya tinggal bertiga. Tapi, kalaupun tidak sempat, setidaknya kamu sudah tahu yang sebenarnya. Kamu masih punya keluarga. Masih ada kakak yang akan menemani kamu...” lanjut Kirana. Tangannya meraih kepala Farzana. Mengelusnya dengan lembut. Tak ada sahutan. Sosok yang dibelainya dengan lembut dan penuh sayang sedang tenggelam dalam lautan tanya. Hatinya berisik, membuatnya terusik. Namun, ia memilih diam. Belum sanggup untuk menyuarakan segudang tanya dengan benar.
Farzana masih mematung dengan selembar foto yang baru saja berhasil ditemukannya dalam lembaran album lamanya. Matanya menatap seorang anak kecil yang berdiri berdampingan dengannya. Ia baru sadar sosok yang dibekukan kamera dalam selembar gambar itu begitu mirip dirinya. Hanya saja, anak itu sudah lebih tinggi dari Farzana. Bukan ia menolak memiliki kakak, hanya saja ini terlalu tiba-tiba baginya. Ia hanya tidak tahu bagaimana ia harus merespon dengan benar. Ia pun tidak tahu bagaimana mendeskripsikan segala rasa yang kini bersenyawa dalam dirinya.
Namun, inilah semesta yang banyak menghimpun rahasia. Menghadirkan kejuatan demi kejutan yang menjadi ketentuan dan ketetapan dari yang Maha Sempurna Pembuat Cerita. Lalu, seberapa siapkah kita menerimanya? Pada akhirnya, segala yang terjadi adalah sebagai pembuktian seberapa besar kebergantungan kita kepadaNya?
[]