“Mar, kamu tahu gak aku tadi malam mimpi apa?” tanya Gilang dengan mulut penuh siomay. Tak lupa dengan saus kacang yang terlihat belepotan di bibirnya.
“Apaan?”
Gilang berusaha menelan siomaynya dengan susah payah. “Aku mimpi, kumisku ducukur Pak Rizal.” jawabnya.
“Hahaaha...” Tawa Damar membuatnya tersedak. Buru-buru ia menuang air ke gelas dan meminumnya. “Lang, aku doain moga-moga mimpi kamu itu jadi nyata.” ucapnya.
“Enak, aja. Kumis aku ini ibarat Samson sama bulu keteknya. Kalo dicukur bakal ilang kekuatannya. Jadi harus selalu dilestarikan.”
“Hahaha...” kembali Damar terbahak. Setidaknya Gilang membuatnya melupakan sejenak kesialan pelik yang sedang dihadapinya.
Sementara Damar dan Gilang dengan riang menyantap makanan mereka, Namira terlihat geleng-geleng kepala melihat kelakuan konyol kedua cowok itu. Hantu cantik itu sedang berdiri di samping Damar. Saat pertama kali melihat Gilang dengan tingkah laku konyolnya, Nammira langsung tahu bahwa teman sebangku Damar itu pasti juga jomblo. Benar-benar kombinasi yang sempurna, manusia-manusia jomblo yang saling melengkapi, pikirnya. Damar sendiri tidak sedikitpun memperdulikan keberadaan Namira. Sebisa mungkin dia mensugesti dirinya sendiri dan menganggap Namira tidak ada. Tentunya tidak sepenuhnya berhasil, karena sering sekali Damar melirik ke arah Namira.
“Eh, Mar, Mar. Alena, Mar!” celetuk Gilang tiba-tiba. Damar langsung menoleh ke arah orang yang dimaksud Gilang, Alena.
Alena terlihat lewat di hadapan mereka bersama gerombolannya. Tertawa cantik sambil sesekali mengibaskan rambut hitam lurusnya. Tentu saja Damar langsung memasang wajah mendamba. Dirinya seakan mendarat di sebuah planet keindahan bernama Alena.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Eh, iya!” Damar langsung merogoh kantong celana dan bajunya mencari sesuatu.
“Kenapa, Mar?” tanya Gilang.
“Duit.”
“Duit kamu hilang?”
Damar menghela napas kecewa setelah hanya menemukan uang dua pulug ribu di kantong celananya. “Bukan hilang, kemaren aku tuh hutang tiga puluh ribu sama Alena. Kayaknya duitku gak cukup buat bayar.”
“Oh...” jawab Gilang manggut-manggut. “Eh, Mar. Ini bisa jadi kesempatan emas buat kamu deketin Alena.” celetuk Gilang dengan semangat.
Damar mengernyit. “Maksudnya?”
“Hutang kamu ini bisa dijadikan alasan buat deket sama Alena.”
“Caranya?”
Gilang berhenti makan dan menatap Damar serius. “Emang hutang kamu ke Alena berapa?” tanyanya.
“30 ribu.” jawab Damar.
“Nah, itu. Berarti ada tiga kali kesempatan buat kamu ketemu terus ngobrol sama Alena.”
“Hah?”
“Iya, maksudnya hutang kamu dicicil sampe tiga kali. Kan lumayan bisa lebih deket sama Alena.”
“Apaan sih, Lang!” Damar merasa ide Gilang terlalu konyol. Tidak mungkin bagi Damar mencicil hutang yang cuma tiga puluh ribu dengan tiga kali bayar. Bisa-bisa Alena berpikir kalau dirinya cowok kere. Kalau hanya tiga puluh ribu Damar masih sanggup untuk melunasinya dengan sekali bayar. Ada-ada saja, pikirnya.
“Hahaahaha...” Mendengar pembicaraan Damar dan Gilang membuat Namira langsung tertawa. “Jadi, itu cewek yang kamu taksir?” ejeknya. Damar menatap Namira sinis dengan mulut komat-kamit.
Dipandangnya Alena yang kini terlihat sedang duduk bersama gerombolannya. “Hmm...cantik juga. Selera kamu ternyata lumayan tinggi, ya Mar!” cibir Namira. Meski kesal Damar tetap berusaha tidak memperdulikan omongan Namira. Damar kembali mengalihkan pandangannya dan berkonsentrasi menyuapkan siomay ke mulutnya, tentu dengan perasaan sebal. Namira benar-benar merusak suasana.
Sementara itu Namira masih merasa geli dan dia tahu pasti Damar sangat kesal sekarang. Namira tidak menyangka kisah cinta Damar ternyata menyedihkab seperti ini. Sepertinya kadar jomblo Damar itu sudah memasuki stadium akut. Kembali Namira memperhatikan Alena yang kini tengah makan. Wajah cantik, rambut hitam lurus, secara keseluruhan dari ujung kaki hingga ujung kepala, penampilan Alena terlihat sempurna. Sekali lihat Namira bisa menebak kalau Alena adalah idola sekolah. Pantas saja cewek itu terlalu sulit diraih oleh Damar, pikirnya.
***
Entah mengapa Damar merasa bahwa daya tahan perutnya mulai menurun. Sejak tragedi ‘bom’ sambal bakso tempo hari, sekarang dia jadi sering mengalaminya. Seperti sekarang ini, perutnya sakit sehabis makan sesuatu yang pedas. Padahal siomay yang ia makan tadi tidak terlalu pedas tapi sudah sukses membuat perutnya mules dan kebelet. Tidak ada hal yang lebih penting saat ini selain pergi ke toilet.
Damar berjalan cepat. “Iiiisss!! Kamu mau ikut juga ke toilet?” ucapnya tiba-tiba seraya menoleh ke arah Namira yang masih mengekor di belakangnya. Demi Tuhan, Damar sekarang sedang dalam keadaan darurat dan Namira tetap saja keras kepala.
“Akhirnya kamu ngomong juga sama aku. Setelah dari tadi kamu gak anggap aku ada.” Namira memandang Damar dengan sinis. Dia tidak suka dengan sikap pura-pura Damar dan selalu mangabaikannya. Sejak jam pelajaran dimulai tadi hingga di kantin Damar terus saja mengabaikannya. Namira ingin Damar segera membantunya.
“Oh, kamu ngeyel? Jadi kamu mau aku buka celana di sini?” ancam Damar.
“Silahkan aja kalo kamu mau telanjang di tempat umum. Aku pengen lihat apa kamu berani.” balas Namira dengan senyum penuh kemenangan.
Sialan!
“Denger, ya! Aku ini udah kebelet jadi kamu pergi dulu sana!” ujar Damar geram.
“Hei!” sebuah suara mengagetkan mereka berdua. Damar langsung menoleh dan mendapati seseorang sedang menatap curiga padanya dan Damar sangat familiar dengan orang itu.
SENO!
Seketika perasaan Damar merasa nelangsa. Kesialan seperti apa lagi yang akan menimpanya sekarang? Kenapa dia selalu bertemu Seno di toilet? Ada hubungan apa antara toilet sekolah dan Seno? Sial! Damar hanya bisa diam, sepertinya dia harus menahan kebeletnya lebih lama lagi.
Seno dengan badan kekarnya menghampiri Damar dan langsung menyeretnya masuk ke dalam toilet. Damar hanya pasrah dan tidak berani melawan. Jika dia melakukannya, maka bisa dipastikan mereka berdua akan berakhir di kantor BP dan Pak Rizal pasti akan menghukumnya lagi. Seno menatap Damar dengan sinis dari kepala hingga kaki kemudian dia mendorong tubuh Damar ke dinding.
“Kamu ngomong sama siapa tadi?” tanyanya. Rupanya Seno tadi sedang di toilet tapi ketika dia hendak keluar, tanpa sengaja dia melihat Damar sedang berdiri membelakanginya dan tampak berbica dengan seseorang. Tadinya Seno pikir Damar sedang berbica dengan temannya, tapi setelah dia perhatikan dengan lebih jelas, ternyata tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar toilet ini selain mereka berdua.
Damar hanya bisa gelagapan tidak tahu harus menjawab apa. “I-itu,”
“Kamu, masih waras, kan?” Seno menatap Damar sambil mengernyit. “...atau, kamu udah gila, ya?”
“Nggak, Kak,” lirih Damar. Sungguh Damar ingin urusannya dengan Seno ini cepat-cepat selesai.
Seno mundur selangkah sambil manggut-manggut. “Aku ingiten sama kamu, jangan buat yang aneh-aneh deh di sekolah ini. Ngerti?” Damar hanya mengangguk. Untuk terakhir kali Seno menatap Damar dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan sorot mata mengancam kemudian pergi. Damar masih terdiam di tempatnya mencoba menenangkan diri.
“Damar,” Tanpa memperdulikan panggilan Namira, Damar langsung masuk ke salah satu bilik toilet dan menutup pintunya.
Sementara Namira yang melihat semua kejadian itu hanya bisa terdiam tanpa bisa berbuat apa pun. Namira ingin sekali menolong Damar, tapi apa daya, dia hanya sesosok hantu yang tak terlihat wujud dan tak terdengar suaranya. Tadinya Namira pikir, Damar hanyalah seorang siswa biasa di sekolah dengan status jomblo akut. Tapi ternyata lebih dari itu, kehidupan sekolahnya benar-benar tidak menyenangkan. Rasa bersalah langsung merasuk di hati Namira. Terlepas dari Damar meyebalkan, bagaimana pun juga kejadian barusan tadi sedikit banyak juga kesalahannya. Walau bukan maksud Namira untuk membuat Damar terjebak dalam situasi sulit. Namira merasa benar-benar tidak enak hati. Pasti sekarang Damar sangat kesal padanya.
Tak lama pintu terbuka dan Damar keluar tanpa memperdulikan Namira.
“Damar,” panggil Namira lagi. Setelah mencuci tangan, Damar langsung pergi meninggalkab Namira yang masih berdiri di tempatnya. Damar tidak tahu lagi harus bagaimana menggambarkan perasaannya saat ini. Kalau ada kata lain di atas kata marah maka saat ini itulah yang sedang dirasakannya. Sial sekali dirinya harus bertemu dengan Seno. Harus mengkerut dibawah ancamannya tanpa berani melawan. Ini semua gara-gara hantu itu! Menyebalkan sekali!
***
Bel terakhir berbunyi, otomatis membuat semua murid menghela napas lega dan bergegas membereskan meja mereka. Tak terkecuali Damar.
“Jangan lupa, tugas kalian harus siap minggu depan. Nilai tugas ini akan mempengaruhi nilai ulangan kalian nanti, mengerti?” perintah Bu Lastri, guru matematika.
“Iya,Buk!” jawab para murid serentak.
“Eh, Mar. PS baru aku udah dateng di rumah. Kamu mau main ke rumah gak?” tanya Gilang.
“Gak deh, Lang. Kamu main sendiri aja.”
“Main sendiri mana seru, Mar.” protes Gilang. Sebenarnya Gilang sadar, tidak ada gunanya menanyakan hal itu pada Damar. Karena dia sudah tahu bahwa Damar akan menolak. Gilang tidak mengerti entah apa alasan Damar tidak pernah mau menerima ajakannya untuk main ke rumahnya atau keluar sekadar nongkrong di suatu tempat.
“Ya, maaf deh Lang.”
“Kenapa sih, Mar. Kamu tuh gak pernah mau kalo diajak.”
“Males.”
Jawaban klasik, pikir Gilang. “Masa dari kelas satu jawabannya males mulu.”
Damar tidak menggubris kata-kata Gilang dan sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tasnya. Setelah selesai dia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kelas tapi Namira tidak terlihat. Sejak kejadian di toilet tadi, memang Damar tak melihat Namira mengikutinya bahkan saat di kelas selama pelajaran berlangsung, tidak terlihat tanda-tanda kemunculannya. Kemana dia?
“Mar, ayo pulang! Kamu ngeliatin apa?” tegur Gilang.
“Iya.” jawab Damar yang segera bergegas mengikuti Gilang yang sudah di depan pintu.
Sepanjang perjalanan menuju gerbang sekolah, Gilang terus saja mengoceh tentang sesuatu. Tapi Damar tidak terlalu mendengarkan, matanya sibuk jelalatan ke segala arah berusahaa menemukan keberadaan hantu menyebalkan itu. Kemana dia pergi? Apa dia benar-benar menghilang? Memikirkan kemungkinan itu membuat hati Damar bersorak, tapi entah mengapa sebagian perasaannya merasa penasaran atas keberadaan Namira.
“Eh, Mar, Mar!” celetuk Gilang tiba-tiba membuat Damar sedikit kaget.
“Apaan sih, Lang?”
“Itu Alena.” Damar mengikuti arah yang ditunjuk Gilang. Alena terlihat berjalan bersama gerombolannya. Cewek pujaan hatinya itu terlihat tertawa sambil mengibaskan rbut indahnya.
“Alena! Alena!” teriak Gilang memanggil Alena. Jelas saja membuat Damar panik karena Alena langsung menoleh ke arah mereka. Sialan!
“Lang! Apaan, sih? Kenapa kamu panggil Alena?”
“Biar kalian bisa ngobrol.” jawab Gilang cengengesan. Alena terlihat berjalan menghampiri mereka. Panik damar makin menjadi-jadi melihat Alena semakin mendekat ke arahnya. Damar dengan tanpa rasa berdosa melambai-lambaikan tangan pada Alena.
“Gila kamu, Lang! Aku harus ngomong apa!”
“Ajak jalan, ini kesempatan emas, Mar.”
“Tapi,”
“Ada apa, ya?” sebuah suara terdengar, Alena sudah berdiri di hadapan mereka.
“Ini, Damar mau ngomong sesuatu sama kamu katanya.” jawab Gilang. Damar langsung melotot kepada temannya.
Alena mengernyit lalu memandang Damar. “Kamu mau ngomong apa, Mar?” tanyanya.
“Ya udah, aku duluan yah, Mar. Daaa...” Dengan senyuman penuh arti Gilang pamit pada Damar kemudian nyelonong pergi. Damar merasa sangat geram, rasanya ingin sekali dia mencukur kumis tipis temannya itu sekarang juga!
“Mar?” panggil Alena.
“Eh, iya. A-anu...”
“Alena! Ayo cepetan!” Terdengar teriakan dari gerombolan teman Alena.
“Iya! Sebentar!” jawabnya kemudian menoleh lagi pada Damar. Sementara itu Damar berdiri dengan perasaan tak menentu. Jantungnya serasa mau copot dan tangannya mulai berkeringat dingin.
“Jadi?” tanya Alena.
Damar berpikir sejenak, dia bingung harus bagaimana. Apa dia harus mengajak jalan Alena seperti yang Gilang suruh. Apa Alena mau?
“Mar!”
“Eh, iya. Itu, anu, uang kamu yang aku pinjam, besok aku pasti balikin. Semalam aku gak masuk jadi gak bisa balikin. Hari ini uang aku gak cukup, tapi besok pasti aku bayar.”jawab Damar dengan sekali hembusan napas.
“Ya ampun, Mar. Aku kira apaan. Ya udah, gak usah kamu pikirin. Kan udah aku bilang, kalo gak kamu bayar juga gak apa-apa kok.” ujar Alena sambil tersenyum.
“Pasti. Aku pasti balikin uang kamu.”
“Alena!” Lagi, teriakan temannya memanggil Alena.
“Oke. Aku uda dipanggil dari tadi. Daa..” Alena tersenyum sambil melambaikan tangan. Damar pun melambaikan tangannya sambil memandang punggung Alena. Rasanya sungguh berbunga-bunga.
Damar kembali berjalan dengan senyum di wajahnya. Tiba-tiba dia berhenti, melihat sesuatu di halaman sekolah. Damar menyipitkan mata, tidak salah lagi, dia di sana. Namira si hantu menyebalkan itu di sana.
Namira duduk di sebuah bangku panjang yang dinaungi sebuah pohon besar di halaman sekolah itu. Matanya memandang dengan mata sendu bangunan kelas di hadapannya. Setelah kejadian di toilet tadi, Namira merasa tidak enak hati dan memutuskan untuk tidak mengekor Damar dulu. Karena dia tahu, pasti Damar masih dalam keadaan marah. Jadi di sinilah dia, duduk seorang diri. Perasaan senang dan sesak merayap ke hatinya. Betapa dia sangan merindukan suasana ini, merindukan semua yang sedang dilihatnya di sekolah ini.
Bagi Damar, Namira memang hantu yang super menyebalkan tapi melihatnya dengan mata sendu seperti itu, membuat hati Damar terusik. Ini kedua kalinya Damar melihat ekspresi wajah Namira dengan mata sendunya setelah malam itu.
"Kecelakaan."
Damar teringat kata-kata Namira tentang penyebab kematiannya. Damar sadar, dia belum sepenuhnya mengenal Namira. Cukup lama Damar memandang Namira sembari berpikir, hingga akhirnya dia menghela napas dalam. Mungkin, inilah saatnya dia mengenal Namira lebih jauh lagi.
Makasih...^^. Ikutin lanjutannya terus yaa...jangan lupa like nya hehe...
Comment on chapter Siapa Kamu?