Tidak! Tidak! Tidak!
Entah sudah berapa kali Namira mendengar kata itu dari mulut Damar. Apa tidak ada kata lain selain tidak yang bisa diucapkan oleh manusia jomblo satu itu?
Menyebalkan sekali!
Padahal dia sudah menunggu sangat lama untuk mewujudkan impiannya ini dan menunggu itu bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Terombang-ambing dalam ketidakpastian dan terjebak antara dua dunia, semua itu terasa sangat menyiksa. Lalu ketika kesempatan emas itu sudah sangat dekat, tepat di depan mata, dengan mudahnya hancur hanya dengan kata ‘tidak’. Damar tidak boleh melakukannya! Dia tidak tahu bagaimana menyiksanya semua itu bagi Namira. Coba saja dia tahu bagaimana rasanya mati dan menjadi arwah penasaran.
“Dasar!” umpat Namira sembari menghentakkan kakinya dengan sebal. Diak tengah berdiri dengan tangan di lipat ke dada dan menatap nanar pintu di hadapannya.
“Astagfirullah!” pekik Damar terkejut saat pintu terbuka. Terlihat Namira sedang berdiri sambil memandangnya sinis. Ternyata hantu ini tetap tidak menyerah, bahkan rela berdiri menunggunya selesai mandi, gigih sekali.
“Bisa gak sih, kamu itu gak ngagetin gitu?” tanyanya.
“Bisa, asal kamu setuju.”
“Tidak!” jawab Damar singkat.
Damar langsung nyelonong beranjak menuju lemari pakaian tanpa peduli dengan reaksi sebal Namira. Tubuhnya yang hanya terbalut dengan handuk terasa dingin ditambah lagi dengan kehadiran Namira yang memuatnya juga merinding. Tentu saja Namira terus mengekor di belakangnya.
“Bisa gak sih kamu gak ngikutin aku terus? Kamu mau ikut pake baju juga?”
“Bilang dulu kalau kamu setuju!”
“Tidak.”
“Bisa gak sih kamu gak usah bilang tidak?”
“TIDAK!”
“Iiiisssh...!!!”
Damar mengambil seragamnya dari dalam lemari. “Udah, sekarang kamu pergi dulu. Aku mau pake baju, nanti aku bisa telat. Jangan gara-gara kamu lagi, aku jadi gak sekolah.” pintanya. Walau hal yang dibenci Damar adalah sekolah, tapi dia bukanlah tipe siswa yang senang bolos meski hanya satu hari. Tidak ada alasan baginya untuk bolos sekolah jika bukan karena sakit parah atau ada keluarga yang kemalangan. Tapi bolos sekolah karena hantu, ini pengalaman pertama dalam hidupnya.
Namira menggeleng. “Aku gak akan pergi sebelum kamu setuju.” Tekadnya sudah bulat, dia tidak akan menyerah sampai Damar bersedia membantunya.
Kesal dengan Namira yang keras kepala, sebuah ide terlintas di pikiran Damar. “Baiklah, kalau begitu.” ujarnya manggut-manggut sambil tersenyum licik. Namira mengerutkan dahi, merasa curiga dengan senyuman penuh arti Damar.
Tanpa disangka Namira, Damar terlihat memegangi handuk di pinggangnya, mengambil ancang-ancang untuk melepas handuknya.
Sadar apa yang akan terjadi, Namira langsung gelagapan. “Ka-kamu mau ngapain!”
“Beneran nih, kamu gak mau pergi?” ancam Damar masih dengan senyum liciknya.
“Be-beneran,”
Dengan satu gerakan cepat, Damar membuat gerakan seolah-olah dia benar-benar akan membuka handuk yang membalut tubuhnya. Tentu saja usahanya itu sukses membuat Namira ketar-ketir.
“Aaah!” pekik Namira sambil menutup mata kemudian menghilang.
“Oh, hilang?”
Damar melompat kegirangan, akhirnya usahanya berhasil. Senyum kemenangan mengembang di wajahnya. Sepertinya sekarang dia sudah tahu bagaimana cara mengatasi Namira.
BEBERAPA JAM SEBELUMNYA...
“Di dalam diary itu ada permintaan terakhirku. Jadi, aku mau kamu membantuku untuk mewujudkannya.”
APA!
“TIDAK!”
Namira berdecak lidah. “Belum apa-apa, kamu sudah bilang tidak.” Ditatapnya diary di pangkuan Damar. Namira tampak berpikir kemudian menghela napas. “Aku, sudah sangat lama menantikan kesempatan ini.” Tatapannya beralih ke Damar yang juga sedang menatap Namira dengan waspada. “...kamu, satu-satunya harapanku.” sambungnya dengan serak.
Damar tertegun melihat ekspresi Namira. Matanya menatap Damar seolah memelas membuat sebagian perasaan di hati Damar menaruh simpati. Tapi dia tidak boleh gegabah dan terlena dengan perasaan ibanya mengingat yang dihadapi bukanlah manusia sepertinya.
“Tapi, kenapa harus aku?”
“Karena kamu orang pertama yang menemukan dan membaca diaryku. Dan yang paling istimewa, kamu bersedia membawa pulang diary itu. Rasanya, aku sangat beruntung.” jelas Namira dengan semangat.
Beruntung apanya? Jika Damar tahu sebelumnya bahwa pemilik diary ini adalah seorang hantu, pasti saat itu juga dia akan membuangnya atau menguburnya. Batinnya seolah merutuki dirinya sendiri karena keputusan cerobohnya dengan membawa pulang diary ini. Tapi, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.
Ditatapnya diary merah di pangkuannya. “Namira Asoemabrata,”
Namira mengikuti arah pandangan Damar dan menyadari maksud dari kata-katanya. “Hmm...NA. Namira Asoemabrata.” jawabnya sambil mengangguk. Entah mengapa Namira merasa sangat senang Damar mengucapkan namanya. Rasanya sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak mendengar orang lain menyebut namanya dan hari ini dia mendengarnya. Sungguh perasaannya tidak bisa tergambarkan, seulas senyum terukir di bibirnya.
“Tunggu, aku masih bingung. Aku baru pertama kali ngalamin kejadian kayak gini.”
“Aku ngerti, kok. Memang gak gampang. Hidup kamu yang tadinya normal-normal aja, terus tiba-tiba ketemu seorang hantu, pasti kamu syok. Aku ngerti, kok.” Namira berhenti sejenak menimbang reaksi Damar. “Gini aja, biar kamu ngerasa nyaman, kamu boleh nanya apa aja ke aku. Aku pasti akan jawab.” lanjutnya.
Damar terdiam, dahinya berkerut. Namira seakan bisa membaca pikirannya. Memang benar, ada berjuta-juta pertanyaan di otak Damar tentang hantu cantik yang sedang duduk di hadapannya ini. Apa yang harus dia lakukan? Memohon agar Namira pergi jauh atau mencoba mengenalnya lebih jauh?
“Kamu, berasal dari mana?” akhirnya pilihan kedualah yang Damar ambil. Meski ragu, Damar tetap betanya.
“Dari tempat kamu nemuin diary itu.”
“Gudang sekolah?”
“Iya.”
Rasa ragu Damar kini berganti menjadi rasa penasaran. Kelihatannya kini dia berubah menjadi sosok penasaran. Kalau Namira adalah arwah penasaran, maka Damar adalah manusia penasaran.
“Jadi bener rumor yang selama ini aku denger?”
Namira mengernyit. “Rumor apa?”
Damar melotot membuat Namira bergidik. Sepertinya pelototan mata Damar lebih seram dari pada dirinya yang jelas-jelas seorang hantu. “Kamu, mati bunuh diri di gudang.” ucapnya.
“Hahaha...” Raspon tak terduga dari Namira membuat Damar bingung.
“Kenapa kamu ketawa?”
“Kamu sih, ngomongnya yang enggak-enggak. Mana ada yang mati bunuh diri di gudang itu. Jangan percaya, itu cuma cerita bohong.” jelas Namira yang masih mencoba mengendalikan tawanya.
“Terus kamu meninggalnya kenapa, dong?”
Pertanyaan Damar sukses membuat tawa Namira seketika berhenti. Damar bisa melihat ekspresi wajah gadis itu berubah, matanya sendu.
“Kecelakaan.” lirihnya. Kemudian Namira tertunduk, tak sanggup menatap Damar. Entah mengapa tiba-tiba nyeri seakan menyerangnya. Membuat hatinya terasa ciut dan sakit. Kenangan-kenangannya seketika silih berganti memaksa pikirannya untuk mengingat.
Perasaan macam apa ini? Damar benar-benar merasa tidak enak hati. Dia menyesal atas pertanyaan yang ia lontarkan. Tapi bukankah tadi Namira sendiri yang bilang kalau dirinya boleh bertanya apa saja? Tapi kenapa jadi seperti ini? Benar-benar situasi yang canggung.
“Aku, minta maaf. Aku gak bermaksud,”
“Nggak apa-apa.” potong Namira. Kelihatannya tidak mungkin untuk Damar bertanya hal-hal lain pada Namira saat ini. Terlihat gadis itu sangat sedih dan tidak nyaman dengan pertanyaan Damar tadi. Jika dipaksa, bukan tidak mungkin Namira bisa ngamuk. Damar tidak bisa dan tidak mau membayangkan bagaimana rasanya diamuk seorang hantu.
“Jadi, di diary ini, kamu bilang ada permintaan terakhir kamu?”
Akhirnya Namira kembali tersenyum dan itu sedikit melegakan Damar. “ Iya.” Namira mengangguk.
“Kamu bisa buka, di sana ada aku tulis permintaan terakhir aku.”
Damar menatap diary itu sejenak kemudian membukanya. Dia membuka halaman yang sebelumnya dia baca.
“Puisi, Shakespeare,”
“Ah, dulu aku suka nulis puisi dan Shakespeare penulis favoritku.” ucapnya penuh semangat. Betapa Namira sangat bahagia mengingat hal kesukaannya itu.
“Mana permintaan terakhirmu?”
“Ah, coba buka di tulisan terakhir. Pasti ketemu.”
Damar terus membuka lembar demi lembar diary itu. Akhirnya menemukan halaman yang Namira maksud. Bagai tersambar petir, Damar langsung melotot ketika membacanya.
“Ini permintaan terakhir kamu?”
“Iya.”
“Hah? Banyak banget!”
Syok kembali menyerang saat Damar melihat tulisan permintaan terakhir Namira. Dadanya makin sesak ketika dia membaca satu per satu daftar permintaan terakhir itu. Bagaimana tidak syok, permintaan terakhir Namira bukan hanya satu tapi tujuh.
TUJUH!
Dan yang lebih parahnya, semua permintaan Namira itu sangat bertolak belakang dengan dirinya. Bagaimana dia bisa melakukannya?
“Ya, gak ada salahnya kan kalo seseorang punya banyak permintaan terakhir.”
“Tapi ini banyak banget, susah-susah semua. Aku kira cuma satu.” protes Damar.
“Yang bilang cuma saru siapa?” celetuk Namira. “Jadi, gimana? Kamu mau bantukan?”
“Ah! TIDAK!”
****
KEMBALI KE SEKOLAH...
Damar berusaha berjalan dengan langkah cepat sambil sesekali menoleh ke belakang. Dia merasa kesal dan risih karena dari mulai gerbang sekolah Namira selalu mengekor di belakangnya. Berbeda dengan Damar yang merasa risih, Namira justru terlihat sangat antusias melihat semua yang ada di sekolah Damar. Melihat orang-orang memakai seragam, membawa tas dan berinteraksi sambil tertawa membuat kenangan-kenangan manis kembali mengisi otak Namira. Dia teringat bahwa dulu dia juga pernah memakai seragam seperti mereka. Pernah membawa tas yang diisi dengan buku-buku dan alat tulis seperti mereka. Pernah bercanda dan tertawa seperti mereka. Dia pernah merasakan saat-saat bahagia di sekolah.
Namira tahu, bahwa Damar sangat kesal sekarang. Terlihat dari tadi cowok itu tak henti-henti menoleh padanya. Walau Damar menggunakan kacamata, tapi Namira bisa melihat pancaran sinar kemarahan dari matanya. Tapi dia tidak peduli, toh itu juga salah Damar karena tidak mau menolongnya. Namira sudah memutuskan, sebelum Damar bersedia membantunya, Namira akan terus mengikuti cowok itu kapanpun dan dimanapun.
“Eh, Mar!” Sebuah suara langsung menyambut Damar begitu sampai di kelas. Gilang terlihat melambaikan tangan sambil cengengesan kepada Damar.
Damar duduk dan memasukan tasnya ke dalam laci dengan kasar.“Hmm...”
“Mar, kamu kenapa gak sekolah semalam? Kata wali kelas, kamu sakit. Kamu sakit apa, Mar? Apa jangan-jangan, kamu sakit karena kesambet hantu gudang?” tanya Gilang dengan mata melotot. Damar langsung menoleh ke sampingnya, Namira terlihat berdiri. Matanya terlihat jelalatan memandang takjub kesegala arah.
“Kenapa, Mar? Hantunya di situ, ya?” celetuk Gilang.
Damar menatap mata melotot Gilang. Mulutnya sudah terbuka ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian dia urungkan. Benar, sebenarnya Damar ingin sekali menceritakan tentang Namira pada Gilang. Tapi mengingat sifat sahabatnya itu yang kadang suka ceplas ceplos dia jadi ragu. Apa Gilang akan langsung percaya dengan ceritanya? Atau malah, mungkin Gilang akab menganggapnya gila.
“Kamu tuh ngomong apaan, sih! Semalam itu aku demam. Bilang aja kamu tuh kangen sama aku terus kesepian duduk sendiri, iya kan?”
“Iiiihhh...amit-amit.” jawab Gilang dengan ekspresi jijik. Kemudian mereka berdua terkikik geli.
Tiba-tiba Damar teringat sesuatu. “Gilang, aku mau nanyak sesuatu sama kamu.” ucapnya.
“Apaan?”
“Emm, kira-kira kamu tau gak dimana tempat dukun yang paling sakti?” tanya Damar sambil sesekali menoleh ke belakang. Takut-takut Namira mendengarnya. Tapi kelihatannya hantu cantik itu sedang sibuk berkeliling melihat satu per satu meja siswa lainnya. Dan sesekali tersenyum takjub ketika mendapati benda-benda lucu atau alat make up yang dibawa oleh para murid perempuan.
Gilang merasa aneh dengan pertanyaan Damar. Tapi sedetik kemudian dia merasa mengerti kenapa teman sebangkunya itu bertanya seperti itu. Pasti tidak salah lagi. “ Mar, kamu mau nyantet Alena?”
Kenapa jadi Alena?
“Bukan, maksudnya...”
Belum lagi Damar sempat menjelaskan, Gilang memotongnya. “Mar, aku tau mimpi kamu buat dapetin Alena itu memang mustahil. Tapi gak gini juga caranya, Mar. Istighfar, Mar. Istighfar.”
“Ck, apaan, Lang? Bukan untuk nyantet Alena!” jawab Damar kesal. Bisa-bisanya temannya ini berpikiran seperti itu terhadapnya. Memang, Damar sangat mendamba Alena tapi mana mungkin dia berpikir sekeji itu kepada gadis pujaan hatinya. Bagi Damar, Alena itu hanya pantas dicintai bukan disakiti.
“Lah, terus buat apaan?”
“Buat, buang nasib sial.”
“Hahahaa....”
“Kok malah ketawa?”
Gilang merasa lucu dengan pertanyaan aneh temannya ini. Ternyata sakit deman satu hari sudah membuat salah satu bagian otak Damar konslet. “Mar, nasib sial kamu itu adalah ciri khas seorang Damar Sutedjo. Jadi, kalo dibuang, entar bukan Damar lagi dong namanya.”
“Sialan!”
“Hahaha...”
*Jangan lupa like ya, guys! Komen, kritik dan saran akan sangat membantu. Terima kasih!
Makasih...^^. Ikutin lanjutannya terus yaa...jangan lupa like nya hehe...
Comment on chapter Siapa Kamu?