Darisa terbang rendah di atas Hutan Hidup. Saking rendahnya, Lovita yang berada pada cengkeraman Darisa tidak jarang harus menabrak pucuk-pucuk pohon yang muncul dengan tiba-tiba. Kaki Lovita mulai terasa gatal dan perih secara bersamaan. Ia ingin memberontak, tidak tahan lagi dengan kuku panjang Darisa yang melukai bahunya. Akan tetapi, Lovita harus memikirkan konsekuensinya, apabila Darisa melepaskannya, itu sama saja dengan bunuh diri. Lovita akan terjun bebas dari ketinggian berpuluh-puluh meter dan mendarat entah pada bebatuan, semak berduri atau pun sungai.
Mengingat kemungkinan buruk yang menimpanya, Lovita memilih diam, menahan rasa sakit selama Darisa membawanya terbang. Saat telah mendekati perbatasan kota, Darisa terbang dengan sedikit lebih tinggi, menembus awan kelabu yang menggantung menutupi kota. Darisa berputar selama beberapa saat. Setelah dirasa menemukan tempat untuk mendarat, naga raksasa tersebut terbang menungkik dengan sangat cepat dan tanpa kepakan sayap.
Lovita berguling saat Darisa melepaskan cengkeramannya dalam ketinggian kurang dari satu meter. Ia meringis. Kulit putihnya terasa terbakar saat tergores tanah musim panas yang berdebu. "Darisa kau ini!"
Darisa tidak membalas Lovita. Ia mengepakkan sayap lebarnya tiga kali membuat debu-debu berterbangan. Lovita terbatuk beberapa kali, matanya kemasukan debu selain itu hidungnya perih sekali. Tangan kecilnya berusaha menghalangi benda asing yang bisa masuk ke mata, hidung, dan mulutnya.
"Darisa hentikan!" Teriakan wanita dengan suara serak membuat Darisa berhenti. Selama beberapa saat, debu-debu masih berterbangan.
Tepat setelah suasana sedikit membaik, Lovita melihat wanita tua dengan kulit keriput dan bergelambir berdiri di pintu. Di sekitarnya, pot-pot berisi bunga-bunga indah, daun dan ranting yang mengering, serta benda-benda kecil lainnya berserakan. Lovita mengedarkan pandangan ke sekitar, ia berada di halaman belakang Kantor Tetua Desa Karteng. Pagar bambu berwarna kuning dengan pohon buah yang menjulang menjadi ciri khas tempat yang tidak sembarangan orang bisa masuki.
"Apa yang kau lakukan Darisa? Kau ingin menunjukkan pada semua orang bahwa ada naga di desa ini? Atau bahkan kota ini?" tanya Nyonya Ann sembari berjalan mendekati Darisa yang masih menjadi naga raksasa.
"Ini semua karena Lovita, dia masuk ke Hutan Hidup," ucap Darisa membela diri. "Aku menemukannya bersama si Penyihir Buta."
Nyonya Ann mengalihkan perhatian pada gadis kecil yang masih duduk meratapi luka-lukanya. "Lovita untuk apa kau ke Hutan Hidup?"
"Lovi ...." Gadis kecil tersebut menunduk. Ia menelan ludah dengan susah payah. Tangan dan pelipisnya mulai basah oleh keringat.
"Kalian berdua memang nakal. Lovita sudah nenek beritahu, Hutan Hidup tidak aman. Dan kau Darisa, berapa kali diperingatkan, kaum naga dan manusia bermusuhan. Kau justru sengaja menampakkan diri dengan berubah menjadi naga sebesar ini. Kau tahu Darisa, perbuatan mu ini---"
"Naga!!!"
Teriakan seseorang dari sisi kanan bangunan. Nyonya Ann tersenyum ramah seperti biasanya. Ia berjalan mendekati pemuda berpenampilan rapi tersebut. Di luar dugaan, setiap Nyonya Ann maju satu langkah, pemuda itu mundur dua langkah. Mulutnya bergetar, pun dengan tangannya.
"Oh Dani, mari biar kuceritakan sesuatu," ucap Nyonya Ann.
"Penyihir! Se-selama ini anda menipu semua penduduk Desa Karteng, bahkan seluruh penduduk kota!" Dani berjalan mundur. Keringat sebesar biji jangung tampak menghiasi keningnya. "Saya, saya akan memberitahukan ini pada semua orang!"
" Tidak tidak, Dani, dengarkan saya terlebih dahulu!" titah Nyonya Ann yang tidak dihiraukan oleh pemuda itu.
Dani berlari dengan penuh rasa takut. Tidak jarang ia tersandung batu atau kakinya sendiri. Di belakang Nyonya Ann, Darisa memperhatikan Dani dengan mata merahnya. Tepat saat pemuda itu menginjakkan kaki di jalanan desa, Darisa mengepakkan sayap lebarnya. Ia memekik membuat Lovita dan Nyonya Ann harus menutup telinga agar tidak tuli.
Darisa terbang rendah. Ia menerkam Dani dengan kedua kaki belakangnya. Kepakan sayapnya membuat daun-daun berterbangan dengan tidak beraturan. Hal tersebut tentu saja menarik perhatian penduduk desa. Satu persatu dari mereka berlari sembari melempar batu ke arah Darisa. Beberapa buah batu berukuran sedang mengenai perut, dada dan sayap Darisa. Ia memekik kemudian menyemburkan api ke segala arah. Pohon dan atap rumah penduduk terbakar. Bau hangus dan abu menyeruak mengganggu pernapasan dan penglihatan.
"Darisa hentikan!" Suara serak Nyonya Ann langsung membuat Darisa mengentikan aksinya. Ia terbang dengan lebih tenang walau mata merahnya tetap terlihat marah. "Turun!"
Naga raksasa tersebut menuruti ucapan Nyonya Ann. Ia melepaskan cengkeraman di bahu Dani kemudian melemparkan pemuda yang sudah babak belur tersebut ke kerumuan penduduk.
Nyonya Ann berjalan perlahan. Ia mendekati Darisa yang tengah berdiri tidak jauh darinya. Dibelainya kulit tebal dan bersisik Sang Naga. Suara seraknya bergumam dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain. Secara perlahan, Darisa menyusut dan kembali menjadi naga sebesar burung merpati. Ia bertengger pada bahu Nyonya Ann seolah dirinya bukan makhluk yang berbahaya.
Satu persatu penduduk memandangi Nyonya Ann dan Darisa dengan tatapan tidak bersahabat. Dua dari mereka, yang satu berkumis dan beraroma kambing, yang satu memakai tudung kepala dan beraroma tanah, berjalan mendekati Nyonya Ann. Masing-masing mencengkeram tangan kurus Nyonya Ann dan menyeret tubuh ringkih tersebut. Darisa terbang menjauh sayangnya seseorang berhasil menangkapnya.
Air mata Lovita tumpah. Ia berlari menerjang kerumunan penduduk dan langsung memeluk Nyonya Ann. "Jangan bawa Nenek, Nenek Ann orang baik!"
"Pasti bocah ini juga penyihir!" seru salah satu penduduk.
"Tidak!" jerit Lovita.
"Ya tangkap dia!"
"Bakar semua keturunan penyihir!"
"Penyihir tidak layak hidup!"
"Dasar keturunan iblis!"
"Bocah ini harus mati!"
Tangis Lovita semakim pecah saat rambutnya ditarik. Ia berjalan terseok-seok sembari menahan perih di kepala dan nyeri di kakinya yang terus mendapatkan tendangan dari berbagai arah. Setelah perjalanan pendek yang melelahkan, mereka berhenti. Dari balik pandangannya yang kabur karena tertutup air mata, Lovita mampu melihat beberapa orang tengah menancapkan dua tiang besar di tengah lapangan. Setelah tiang menancap dengan kokoh, penduduk yang lain berdatangan menata jerami mengitari tiang tersebut. Selanjutnya tubuh Lobita dan Nyonya Ann diseret kemudian diikat pada tiang. Lovita meronta sayangnya ikatan orang dewasa tidak sebanding dengan tenaganya. Alih-alih terlepas, tali kasar yang mereka gunakan justru melukai pergelangan tangannya.
Dengan pasrah, Lovita menoleh ke arah Nyonya Ann. Wanita tua itu sama buruknya dengan dirinya. Lovita menangis tidak mengerti apa yang tengah menimpanya. Sementara Nyonya Ann hanya tersenyum dengan lembut. Sebuah senyuman untuk menenangkan cucu tercintanya.
Pria dengan otot besar dan kulit hilam legam berdiri membelakangi Lovita. Di tangannya tergenggam sebuah obor yang menyala dengan redup.
"Hari ini, penyihir terkutuk akan dimusnahkan! Tidak ada lagi teror untuk desa kita!"
Sorak penduduk yang setuju bersahutan. Hujatan dengan bahasa yang tidak pantas menggema. Lovita menunduk, mental gadis kecil itu tertekan.
"Tunggu!! Jangan sakiti putriku!"
Lovita menengadah saat mendengar suara lembut yang sangat ia kenal. Ia meronta, ingin rasanya berlari dan memeluk wanita tersebut. "Mama!!!"
"Tolong," ucap pria yang sedari tadi memeluk wanita di sebelahnya dengan nada memelas, "Tolong, Lovita masih kecil, dia tidak tahu apa-apa."
"Maaf tuan dan nyonya Darka. Penyihir harus musnah. Tidak ada tempat untuk penyihir di dunia ini!" jelas si Pembawa Obor.
"Ya betul!!"
"Penyihir harus mati!"
"Bakar sekarang!"
Cairan berwarna kuning transparan dengan bau menyengat mulai disiram ke sekitar Lovita dan Nyonya Ann. Mulai dari jerami, tiang pengikat hingga tubuh keduanya. Nyonya Darka berteriak histeris saat obor mulai diarahkan ke jerami yang sudah dibasahi denga minyak tanah.
"Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian!" Suara wanita dengan gaun jingga yang anggun menghentikan segala keriuahan yang terjadi. Ia berjalan dengan lembut, menghampiri Nyonya Darka yang tengah menangis kemudian si Pembawa Obor.
Diambilnya obor tersebut kemudian ia padamkan apinya. "Hanya karena Nyonya Ann penyihir, kalian ingin membakarnya? Kalian lupa jasa Nyonya Ann untuk hidup kalian? Anak kalian? Bahkan ternak kalian?"
"Tapi Nona Alefa, dia penyihir!" sahut salah satu penduduk yang langsung di-iya-kan oleh rekannya.
"Memang, tapi apa Nyonya Ann pernah menyakiti kita? Tidak sama sekali tidak. Sekarang buka mata kalian! Lihat gadis kecil ini. Dia tidak tahu apa pun! Dia gadis kecil yang sangat kalian cintai. Terbuat dari apa hati kalian sampai tega membakarnya?"
Kali ini hening, tidak ada satu pun yang menjawab perkataan Alefa. Wanita muda itu tersenyum, "Lepaskan mereka. Jika kalian tidak ingin tinggal bersama penyihir, kita bisa memindahkan Nyonya Ann, Lovita dan Naga itu ke ujung desa. Di perbatasan dengan Hutan Hidup. Penjaga Desa bahkan Patroli Kota selalu ada di sana untuk mengawasi."
Mata Alefa berbinar, "Percayalah, ini tidak buruk."
Suara bisik-bisik penduduk mulai terdengar seperti degungan lebah. "Baiklah, kami percaya pada Nona Alefa. Tapi, Nyonya Ann tidak lagi memiliki jabatan atas desa ini!"
Tangis Nyonya Darka semakin pecah. Ia berlari menghampiri putrinya, pun dengan Tuan Darka yang segera melepaskan ikatan Nyonya Ann. Lovita memeluk ibunya dengan erat.
"Nona Alefa terimakasih," ucap Tuan Darka. Ia membungkuk cukup lama di depan Alefa.
"Terimakasih," ucap Nyonya Ann pelan.
"Maafkan saya Nyonya Ann, anda harus tinggal di perbatasan. Saya tidak menemukan ide lain." Alefa membungkuk dengan anggun.
"Tidak apa-apa, saya beruntung mengenal anda." Nyonya Ann tersenyum hangat. Ia merentangkan tangan saat melihat Darisa terbang ke arahnya.
"Baiklah gadis manis." Alefa membelai rambut ikal Lovita dengan lembut. "Siap untuk pindah rumah?"
Kerenn.
Comment on chapter 1. Lovita di bawah Pelangi