9. Sang Naga dan Penyihir Buta
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
??????bbhhjj
Lovita berjalan dengan hati-hati menyusuri jalan setapak yang baru saja terbentuk. Rumput liar setinggi lutut bergerak berlawanan arahe membentuk jalan selebar satu meter. Pohon-pohon besar berjalan menggunakan akar menjauhi Lovita. Alang-alanh dengan bunga lembut berwarna putih mendekat, membuat Lovita seperti berada di padang rumput yang indah. Kupu-kupu dan capung berterbang mengiringi Lovita.
Selama kurang lebih setengah jam berjalan, aroma kue yang baru selesai di panggang menyeruak. Lovita berhenti berjalan, mengendus aroma nikmat yang sontak membuat perutnya bergemuruh.
Seolah mengerti maksud Lovita, Diwei dan Dawei terbang mencari sumber bau tersebut. Beberapa menit kemudian, Diwei hinggal di lengan Lovita. Sebuah kue nastar yang masih hangat tercengkeram erat di kuku tajam Diwei. Sedetik kemudian, kue bulat tersebut sudah berpindah ke dalam mulut Lovita. Ia mengecap kemudian menguyah kue lembut dengan selai nanas yang manis sebelum menelannya.
Mata Lovita berbinar, "Ini enak, hei antar aku ke sana!"
Diwei mengepakkan sayap tiga kali sebagai tanda setuju. Burung Warn tersebut terbang menuju surga kue yang ia temukan. Semakin jauh Lovita mengikuti kedua burung tersebut, semakin kuat pula aroma kue yang tercium. Selain itu, kondisi hutan pun sedikit berbeda. Pohon-pohon tidak lagi bergerak dengan cepat, ilalang menghilang digantikan semak beri yang penuh dengan biskuit yang masih hangat.
Kekaguman Lovita semaik bertambah saat ia menemukan sebuah gapura dari cokelat, keju dan makan manis lainnya. Gapura tersebut seolah menjadi pintu gerbang menuju rumah kue yang berada di depannya.
Lovita berlari menuju air mancur yang berada di halaman rumah kue. Ia menegak air berwarna putih dengan ganas, "Ini susu sapi!"
Tidak berhenti sampai di situ, Lovita mulai mengambil kukis cokelat yang menghiasi air mancur tersebut. Rasa gurih, manis dan pahit bercampur menjadi satu di dalam mulut Lovita. Produksi air liburnya bertambah menandakan ia masih sangat ingin menikmati kue nikmat tersebut.
"Kau suka kue itu?"
Suara anak laki-laki terpaksa membuat Lovita menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh ke sumber suara. Seorang bocah dengan jubah cokelat berjalan mendekati Lovita. Ia menyerahkan kue lembek berwarna hijau pada Lovita. "Coba ini, dan tebak apa bahan dasarnya."
Awalnya ragu, akan tetapi, Lovita meyakinkan dirinya. Ia menerima kue dengan taburan parutan kelapa dan memasukkan ke mulut kecilnya. Sensasi rasa manis, lembut dan asin memanjakan lidah Lovita. Ia memejamkan mata guna berkonsentrasi untuk mengetahui bahan dasar pembuat kue tersebut. Sayangnya ia gagal.
"Aku menyerah. Kue apa ini?" tanya Lovita.
"Gethuk Lindri. Begitu saja tidak tahu dasar anak manja hanya tahu makan," cibir anak anak laki-laki tersebut.
"Apa bahan bakunya? Aku akan membuat yang lebih enak darimu!" teriak Lovita sembari mengepalkan tangan.
"Hey kau tidak tahu?" Ia mengerutkam dahi. "Ikuti aku, aku baru saja akan membuat Gethuk Lindri. Oh iya aku Zaidan." Zaidan melenggang pergi meninggalkan Lovita yang masih berdiri mematung.
"Tunggu aku!" Tidak ingin tertinggal, Lovita mengejar Zaidan yang beberapa meter di depannya.
Setelah perjalanan yang penuh keheningan akhirnya mereka tiba di sebuah kebun singkong. Tidak terlalu luas tetapi kebun ini tetap saja melelahkan jika harus di panen seorang diri.
"Hei apa kau membuatnya dari singkong?"
"Ya, kau tidak menyangka kan?"
Lovita berkacak pinggang. Ia memerhatikan Zaidan yang tengah memanen singkong-singkong berukuran besar. Tidak seperti cara panen pada umumnya, Zaidan sama sekali tidak mencabut pohon singkong tersebut. Ia justru sibuk mengusap batang pohon singkong dan mengajak berbicara. Lovita bergidik, ia harusnya paham saat mengetahui ada anak yang hidup di hutan pasti lah tidak waras.
Baru saja Lovita berbalik, sebuah suara yang cukup bising dari belakangnya terdengar dengan jelas. Diwei dan Dawei pun terbang tanpa arah. Lovita menelan ludah dengan kasat saat pohon-pohon singkong tersebut bergerak keluar dari tanah. Umbi mereka yang berukuran lebih besar dari lengan Lovita bergerak seprti sepasang kaki. Mereka berbaris di depan Zaidan kemudian melepaskan umbinya. Bagi pohon yang sudah tidak memiliki umbi lagi akan jatuh lebih sebelah kiri Zaidan. Secara misterius, batang mereka terpotong sepanjang 20-30 cm. Potongan tersebut melompat menuju lubang-lubang kecil yang baru saja terbentuk.
Setelah kejadian aneh tersebut berakhir, Zaidan tersenyum ke Lovita kemudian berjalan menuju gubuk di sudut ladang. Ia menarik gerobak berukuran sedang dan mulai memasukan singkong-singkong tersebut ke dalamnya.
"Kau ingin jadi penunggu ladang ini?" goda Zaidan saat ia melewati Lovita yang tengah berdiri mematung.
Mengetahui Lovita masih tidak bergerak, rumput-rumput kecil disekitarnya bergerak. Daun halus mereka mengenai kulit Lovita membuat gadis itu tersadar dari lamunannya. Ia menoleh ke segala arah mencari sosok yang kini berhutang banyak jawaban untuk Lovita.
"Hey!" teriak Lovita. Ia mengejar Zaidan yang berada beberapa meter didepannya. "Apa yang barusan terjadi?"
"Hutan Hidup. Sesuai namanya, semua yang ada di sini hidup. Kau hanya perlu mengendalikan mereka maka kau akan hidup dengan bahagia." Zaidan tersenyum miring.
"Heee!!! Kau penyihir di hutan hidup yang selalu meminta persembahan itu kan?!"
Mendengar teriakan Lovita, Zaidan sontak menghentikan langkah. Ia menatap Lovita dengan dingin sembari mendekatinya. "Aku memang belajar sihir, aku juga tinggal dengan penyihir. Tapi bukan kami yang meminta persembahan itu!"
"Ya ... walau secara teknis, aku yang mengambil persembahan kalian, kecuali jantung dan hati anak malang yang dikorbankan," tambah Zaidan. Ia kembali berjalan menarik gerobaknya dengan perlahan tanpa menghiraukan Lovita di belakangnya.
Awalnya Zaidan khawatir gadis tersebut tidak ingin mengikutinya. Tapi untunglah, setibanya di rumah kue, Lovita dan dua Burung Warn hanya terpaut beberapa meter di belakangnya.
*****
Lovita tidak henti-hentinya berdecak kagum sejak pertama kali memasuki rumah kue. Seluruh perabotan di dalam rumah terbuat dari kue-kue yang lezat. Dinding dari sereal padat, Meja dari biskuit, hiasan dinding dari kue apem dan lain sebagainya. Yang terpenting, semuanya bisa dimakan.
"Apa penyihir yang tinggal denganmu yang membuat semua ini?" tanya Lovita sembari mengambil bakpia yang berjejer membentuk kusen jendela.
"Tentu, kau pikir siapa lagi?"
"Aku ingin bertemu dengannya," pinta Lovita dengan sedikit memaksa.
"Cari saja, kalau tidak ada berarti dia tidak ingin menemuimu!" Zaidan membawa beberapa buang singkong menuju dapur.
Sementara Lovita menjelajah ruangan, tangan cekatan Zaidan justru sibuk membuang kulit singkong yang tebal. Kemudian, memotong singkong tersebut dan merebusnya. Selagi menunggu, ia mencuri pandang ke tamunya yang tidak bisa diam. Gadis itu terus saja berkeliling rumah kue untuk mencari Si Penyihir, sayangnya, Penyihir buta itu sepertinya sedang tidak di rumah.
Setelah cukup lama, Zaidan mengangkat singkong yang telah berubah menjadi empuk. "Hey, lebih baik bantu aku!"
Lovita mengerucutkan bibir saat mendengar ucapan Zaidan. Dari awal, ia hanya ingin makan kue bukan membuat kue. Tentu saja hal tersebut membuat Lovita kehilangan semangat. Ia berjalan dengan malas menuju dapur. Baru saja ia mendaratkan bokong ke kursi, sebuah baskom berisi singkong rebus sudah berada di depannya.
"Itu singkong tolong dihancurkan!" titah Zaidan.
"Aku tidak tahu ada orang lain yang seperti ibuku!" cibir Lovita. Walau pun enggan, ia tetap melakukan perintah Zaidan. Awalnya, Lovita pikir singkong rebus akan mudah untuk dihancurkan, tetapi tetap saja ia memerlukan tenaga untuk membuat semuanya seperti adonan. Sementara Zaidan justru tertawa seolah mengejek Lovita yang penuh dengan keringat.
"Harusnya aku yang memberi gula dan garam sementara kau yang menghancurkan ini!" ketus Lovita. Ia menyerahkan adonan singkong yang sudah jadi ke Zaidan dengan kasar. "Aku tidak ingin membantu lagi!"
"Aku tidak yakin dengan ucapanmu." Zaidan mulai membagi adonan singkong tersebut ke dalam beberapa wadah. "Aku akan memberikan warna, sayangnya hanya tersisa warna hijau."
"Eehh benarkah?" Mata Lovita berbinar saat ia mendengar kata warna. "Biar aku saja!" Ia mendorong Zaidan agar menyingkir dari adonan-adonan yang kini terlihat menggemaskan.
"Biru!" Lovita menyentuh adonan pada wadah pertama hingga berubah menjadi biru. Begitupun dengan wadah lain.
"Ungu! Pink! Merah! Jingga! Kuning!" Seperti sebelumnya, adonan pada wadah yang Lovita sentuh berubah sesuai warna yang Lovita ucapkan.
Setelah seluruh adonan mendapatkan warnanya masing-masing. Zaidan segera mengambil adonan tersebut, mengepalkannya dan secara ajaib bentuknya seperti mie ditekuk. Sentuhan terakhir, Zaidan memberikan taburan kelapa di atasnya.
Sedang enak-enaknya menikmati Getuk Lindri, sebuah suara yang sangat Lovita kenal terdengar. Ia lari dan mematung saat mengetahui seekor naga kecil terbang di depan pintu. "Aku kan sudah pamit!"
"Mana Penyihir Buta itu?" teriak Darisa tidak sabaran.
"Nenek tidak di rumah," jawab Zaidan santai.
"Oh, kau peliharaan barunya? Mana dia?"
"Aku di sini Darisa." Suara serak dari samping rumah terdengar begitu lirih. Beberapa detik kemudian, seorang nenek buta dan gadis bertangan satu berjalan ke arah mereka. "Senang kau kembali sayang. Apa kau merindukan ku?"
"Aku ke sini bukan untuk menjengukmu orang tua sialan! Aku juga tidak merindukanmu! Justru, aku sangat ingin membunuhmu!" Suara Darisa bergetar.
Saat itulah Lovita menyadari, Darisa tidak lagi sebesar merpati. Ia kini sudah sebesar elang dan semakin bertambah besar setiap kali menarik napas. Tidak tanggung-tanggung, tinggi Darisa sudah mencapai dua meter. Selain itu, napas panasnya sangat terasa hingga Lovita mulai bermandikan keringat.
Tanpa aba-aba, Darisa membuka mulut besarnya da menyemburkan api ke segala arah. Bukan lagi gelembung sabun. Tidak seperti biasanya.
Setelah puas melelehkan cokelat dan membakar kue, Darisa menatap Lovita dengan mata merah menyala. Sedetik kemudian, kuku-kuku besar Darisa mencengkeram pundak Lovita dengan kasar sebelum terbang menembus awan kelabu meningggalkan rumah kue yang kini porak poranda.
Kerenn.
Comment on chapter 1. Lovita di bawah Pelangi