1. Lovita di Bawah Pelangi.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Semua orang berkumpul. Semua burung bernyanyi. Semua tumbuhan bergoyang. Semua rumah bersinar--satu yang paling terang. Jerit kesakitan menggema mengundang awan hujan mendekat. Anak-anak bersembunyi di bawah dipan sementara orang dewasa hingga tua bangka duduk di tanah. Saat jeritan semakin keras, awan hujan semakin membesar. Semakin besar. Semakin besar. Dan semakin besar. Awan hujan bergemuruh dengan gelisah, kenapa wanita itu berteriak dengan sangat keras? Begitu katanya. Tapi, orang-orang tidak bisa mendengar. Ia semakin bergemuruh, ia marah kemudian menumpahkan semua air mata kesedihan yang ia serap sedari pagi dari seluruh kota.
"Ia sedang berjuang melahirkan anaknya ke dunia ini," teriak seekor burung dari balik pohon mangga yang tengah berusaha melindungi sarangnya dan telur-telurnya dan kotorannya dan beberapa semut hitam dari air.
Awan Hujan berhenti menangis walau beberapa air masih jatuh ke bumi. Ia bergerak, merenggangkan posisi tubuhnya. Sinar hangat matahari masuk melalui celah tubuh Si Awan Hujan. Terimakasih membiarkanku lewat, sobat dingin, ujar si sinar matahari saat ia menyentuh celah dingin si awan.
Burung-burung yang sebelumnya bersembunyi kembali bernyanyi. Terbang dan berputar dengan anggun menghindari air yang masih menetes. Hangatnya sinar mentari membuat semua orang tersenyum, bergandengan satu sama lain dan memanjatkan doa penuh harap untuk bayi yang akan segera lahir.
Angin berhembus membuat si awan hujan bergeser dari tempat nyamannya.
Jeritan yang lebih memilukan terdengar dan terdengar lagi. Si Awan Hujan bergidik, hatinya terasa nyeri--atau bukan hati, suatu titik di tengah gumpalan tubuhnya yang sudah berlubang. Anak-anak yang bersembunyi di bawah dipan mengeluarkan kepala mereka yang penuh dengan debu, baik di rambut yang kusut, leher yang basah oleh keringat serta bibir yang penuh dengan liur.
Setelahnya, tangis melengking seorang bayi terdengar. Semua orang menghela napas, pancaran mata mereka penuh kehangatan. Tidak ada kekhawatiran, Si Awan Hujan semakin berlubang, tidak ada air kesedihan untuk ia serap. Tidak lama, wanita tua dengan bibir penuh sirih, pinang dan sesuatu yang menjijikan lainnya menangis. Si Awan Hujan menyerapnya, tetapi ia semakin berlubang. Orang lain di sekitar Si Wanita Tua, Ibu-ibu dengan rambut berbau bawang serta lelaki dengan baju penuh kotoran sapi turut menangis. Tetapi Si Awan Hujan tidak mampu menyerapya, mereka tidak bersedih, mereka menangis bahagia.
Seorang wanita dengan kantung mata serta pipi bergelambir ke luar dari rumah yang sedari tadi bersinar paling terang. Di gendongnya, bayi mungil berwarna merah--atau ungu--melewati orang-orang di sekitar pintu. Setiap orang tersenyum, mengulurkan tangannya guna memberikan pemberkatan pada bayi mungil tersebut. Burung di pohon mangga mengelus telurnya yang mulai retak, "Dia akan tumbuh dengan telur-telurku," gumam Si Burung dengan lembut.
Suara retakan cangkang telur terdengar lirih bersama dengan perginya Si Awan Hujan. Sinar mentari kini bebas bergerak, menyamarkan dirinya di antara tetes air yang tersisa kemudian memeluk semua orang dengan hangat. Sisa tetes air hujan bertemu dengan sinar mentari, bergandengan penuh suka cita. Mereka--tetes air hujan dan sinar mentari--menari, diiringi kicau burung dan gelak tawa anak-anak yang baru saja ke luar dari bawah dipan. Rasa bahagia semua orang memeluk satu sama lain, memanggil para warna untuk mengunjungi bumi.
Wanita tua dengan gelambir membawa bayi merah itu sedikit menjauh dari teras, berdiri di bawah tetes hujan dan pelukan sinar mentari kemudian membiarkan si bayi bermandikan warna. "Kau akan membawa cinta, cinta dari sihir terindah di dunia, pelagi memberkatimu, Lovita," ujar si wanita tua dengan gelmbir diikuti tangis haru semua orang.
Cangkang telur pun telah menetas, membawa tiga bayi burung. Si induk membelai anak-anaknya, mengambil warna pelangi dengan sayapnya kemudian mengusapkannya pada mereka. "Kalian juga, jagoanku."
Kerenn.
Comment on chapter 1. Lovita di bawah Pelangi