Kikan kembali mengayuh sepedanya menuju rumah. Di pertigaan jalan tak sengaja ban sepedanya menginjak batu kerikil yang membuat sepedanya oleng dan berhasil membuat Kikan jatuh terduduk di tanah.
Kikan mengaduh pelan sambil melihat luka pada lutut kirinya dan menekan-nekan luka itu sampai darah segar keluar dari lututnya. Perlahan tapi pasti, air mata Kikan yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya mulai turun ke pipi dan membasahi wajah cantiknya.
Kikan meringis pelan sambil mengipas-ngipaskan tangan pada lututnya, berharap perih pada bagian itu bisa terkurangi.
Tin tin tin. Suara klakson mobil menggema dipendengaran Kikan, membuatnya menoleh dan mendapati sebuah mobil terparkir di depannya. Tiba-tiba kaca mobil depan terbuka dan menampakkan sosok laki-laki yang menggunakan seragam sama dengannya.
“Bisa pinggirin sepeda lo gak? Mobil gue mau lewat.” Seru laki-laki itu dingin.
Kikan mendengus, dalam hati dia sudah berharap kalau laki-laki itu mau menolongnya, ternyata tidak. Kikan bangkit dari posisinya dan meminggirkan sepedanya yang menghalangi jalan. Setelah itu, mobil tadi melesat meninggalkan Kikan sendirian.
Kikan memutuskan untuk pulang dan menuntun sepedanya hingga rumah. Di perjalanan menuju rumahnya, tak henti-henti air mata turun dengan deras di kedua pipinya. Rasa sakit di sekitar lututnya tidak bisa dia tahan lagi, rasanya Kikan ingin cepat-cepat sampai rumah dan menangis sepuasnya di kamar.
“Kikan!” satu teriakan keras yang khas langsung menggema di pendengaran Kikan. Nita menghampiri Kikan dan meneliti tubuh cewek itu dari atas sampai bawah.
“Lo nggak pa-pa, kan?” tanya Nita.
“Sakit Nita.” Ringis Kikan pelan.
“Jatuh lagi?” Kikan mengangguk.
“Ya udah masuk, gue obatin luka lo di dalem.” Kikan mengikuti langkah kaki Nita dan berjalan masuk ke rumahnya. Kikan duduk di sofa dan membiarkan Nita berlalu ke dapur mengambil kotak P3K. Sambil menunggu Nita kembali, sesekali Kikan meniup-niup luka kecilnya dan kembali meringis saat darah segar semakin banyak mengalir.
“Lain kali, lo berangkat sekolah bareng gue aja biar gak keseringan jatuh dari sepeda.” Kikan menoleh dan mendapati Nita yang berjalan ke arahnya.
Dengan telaten Nita membersihkan darah yang ada di sekitar lutut Kikan dan memberikan obat merah pada luka itu.
“Ssh, sakit.” Kikan meringis pelan sambil meremas kain sofa di tempatnya.
“Orang-orang pasti bingung, liat anak SMA yang nangis gara-gara jatuh dari sepeda.” Bibir Kikan mengerucut.
“Gue udah bilang, kalo gue gak selalu ada di samping lo Kan, gue gak selalu ada buat ngobatin luka lo. Lo harus bisa berubah mulai dari sekarang.”
Kikan menggeleng. “Kikan gak bisa janji.”
Nita menghela napas berat. “Setidaknya lo harus berusaha.” Kikan mengangguk.
“Mulai besok, lo berangkat sekolah sama gue ya?”
Kikan menggeleng. “Nggak usah Nita, Kikan bisa berangkat sendiri.”
“Gue itu bosen hampir setiap hari liat lo nangis gara-gara jatuh dari sepeda.” Kikan merengut. “Lagian Om Nanda pasti juga gak suka liat lutut anaknya membengkak gara-gara nyium tanah tiap hari.” Sambung Nita.
“Pokoknya besok lo harus berangkat sekolah bareng gue.” Tegas Nita.
Kikan mengangguk pasrah. “Iya deh.”