18
Tidak bisa terus begini dan akhirnya mengganggu studiku, aku memutuskan untuk berbicara pada Elios sore ini sepulang sekolah di halaman parkir sekolah saja.
"Nand, buru-buru nggak?" tanyaku sembari merapikan buku-buku dan menatanya di dalam ransel.
"Nggak sih, kenapa? Mau bareng kan?" Ia sudah terlebih dahulu bangkit dari duduknya.
"Iya, tapi aku mau ngomong sama Kak Elios bentar, gapapa?"
Kenand mengangguk. "Aku juga mau ada urusan bentar sama Kak Mimin kok, ntar chat aku aja kalau udah selesai, nanti aku susul."
"Emang kamu tau aku mau dimana?"
"Nggak, hehehe..."
Kugendong ranselku dan mengikuti Kenand yang sudah hampir sampai di pintu. "Aku janjiannya di parkiran kok."
"Oh, sama kalau gitu..."
"Nah, kan..."
"Apa?"
"Nggak apa-apa."
Kami berjalan bersama menuju ke halaman parkir tanpa membicarakan apapun, hanya diam dan terus berjalan. Sungguh, aku memang sedang tak ingin berbicara, dadaku terasa sesak hanya dengan memikirkan apa yang akan terjadi kemudian. Apakah Elios benar-benar akan melepaskanku?
"Itu Kak Mimin, aku kesana dulu ya, ntar aku kabarin." Kenand berlari menghampiri kekasihnya yang telah menunggu di bawah pohon rindang.
Dari kejauhan aku bisa melihat Elios yang tengah asyik memainkan ponsel sembari duduk di atas jok sepeda motornya. Aku menebak-nebak apakah ia tengah bermain game atau berkirim pesan dengan siapa, sama sekali tak terlihat kebosanan atau gelisah menunggu.
"Mas," panggilku ketika jarak kami sudah semakin dekat, bahkan kurang dari dua meter saja.
"Eh, iya." Ia sontak mendongak dan menyimpan ponselnya ke dalam saku.
Aku maju selangkah mendekatinya agar kami tak perlu berbicara keras-keras dan terdengar orang lain.
"Mas..."
"Ya? Gimana? Ada apa? Tumben sampai ngajak ngomong, penting banget ya?"
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
Ia menunggu dengan tenang, tak nampak penasaran sama sekali, mungkinkah ia telah memprediksikan ini sebelumnya?
"Soal Mas sama Kak Laras, aku boleh tahu kan?"
Ia terkekeh pelan meremehkan sebelumnya. "Mau tahu apa lagi? Kamu juga kan kenal Kak Laras."
"Bukan itu."
"Terus? Apa? Mau apa lagi?" Elios menantangku.
Kutahu ia akan meledak jika aku tak bisa mengontrol emosiku, jadi aku memilih untuk diam dan menenangkan diriku terlebih dahulu.
Beberapa siswa-siswi lainnya berseliweran di sekitar kami, beberapa bahkan menyapaku, Elios, atau kami namun baik aku maupun dia sedang tidak dalam mood untuk membalas sapaan mereka. Seharusnya kami berpindah saja, jangan di tempat umum yang ramai seperti ini. Sayangnya tubuhku terasa kaku bahkan hanya untuk bergeser beberapa meter ke pinggir agar posisi kami tidak berada tepat di tengah-tengah halaman parkir. Juga tidak ada inisiatif dari Elios untuk itu.
Kupikir kami harus segera menyelesaikan ini karena aku juga akan pulang dengan menumpang Kenand, tak enak jika harus membuatnya menunggu lama. Setelah suasanya cukup sepi aku memberanikan diriku untuk kembali berbicara, "aku cuma mau tahu ada hubungan apa antara kamu sama Kak Laras."
"Udahlah, aku malas ngomongin itu." Ia bangkit dan meraih helmnya, bersiap untuk pergi menghindar dari masalah?
"Mau kemana? Kamu harus jawab dulu."
"Nggak ada apa-apa, udah ah, aku kamu mulai overprotective gini."
Sejak kapan aku overprotective? Yang kulakukan hanyalah bertanya meminta kejelasan, bahkan aku tak pernah menunjukan kecemburuanku selama ini.
Elios mengenakan helmnya, tak langsung membawa kendaraannya pergi, ia terlebih dahulu mendekatiku dan menggenggam kedua tanganku di antara dua telapak tangannya yang dingin. "Kalau kamu juga setuju, gimana kalau kita sampai disini dulu? Sebentar lagi aku juga harus mulai persiapan ujian, mungkin aku bakal semakin sibuk dan nggak ada waktu buat kamu."
Memang aku sudah menduga, tapi ketika ini benar-benar terjadi aku rasanya tak sanggup.
"Maaf..," lirihnya.
Kurasa berusaha mempertahankanpun tak akan mengembalikan hubungan kami seperti semula dan hanya membuat semuanya semakin runyam. Sepertinya untuk saat ini menuruti keinginannya adalah pilihan terbaik.
***