19
Perpisahan dengan orang yang sudah bersama dengan kita kurang lebih tiga tahun lamanya bukan akhir dari segalanya bukan?
Maka dari itu kurasa seharusnya aku tak perlu bersedih dan membuang-buang air mataku meratapi perpisahan kami yang tak berarti ini. Namun kenyataannya terlalu sulit untuk bisa menahan air mata yang terus mengalir tiada henti ini, entah sampai kapan. Hari sudah malam dan aku harus segera tidur jika tak mau terlambat ke sekolah besok pagi, masalahnya jika aku tidur dalam keadaan seperti ini kuyakin mataku akan bengkak saat bangun esok hari. Akan sangat memalukan jika Elios mengetahui aku menangis semalaman setelah berpisah darinya.
Dengan malas aku bangkit dari tempat tidurku dan menuju ke kamar mandi di depan kamar, sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak menimbulkan suara gaduh yang dapat mengundang perhatian dari ibuku, akan panjang sesi tanya jawabnya jika ibu tahu aku menangis malam-malam seperti ini. Usai membasuh wajahku dengan air dan mengeringkannya secara cepat aku kembali melangkahkan kakiku kembali ke kamar dan menutupnya perlahan.
Ah, kenapa aku lupa jika kompres es dapat meredakan efek bengkak yang mungkin terjadi esok hari dan baru mengingatnya setelah kubaringkan tubuhku di atas tempat tidur?
Tak kunjung dapat menuju ke alam mimpi aku memutuskan untuk bangkit dan turun ke dapur saja, tak lupa kubawa ponselku karena rencananya aku akan mengompres mataku di bawah saja.
Elios sama sekali tak mengirimiku pesan ataupun berusaha menelponku, bahkan ia telah menghapus pesan status pada sosial medianya yang menegaskan bahwa kami sudah benar berpisah dan ia telah 'kosong'. Justru Kenand yang terus men-spam ruang obrolan kami karena aku tak kunjung membuka dan membalasnya sejak pulang sekolah lagi, aku terlalu sibuk menangis hingga malas melakukan hal lain. Kenand jelas tahu apa yang terjadi meski tidak bertanya secara langsung tadi. Karena tujuanku kesini adalah untuk mengompres mata maka ketimbang membalas pesan aku memilih untuk menelponnya saja, kalau diterima ya bagus kalau ia sudah tidur ya besok saja ngobrolnya di sekolah, toh kami juga akan berangkat bersama besok.
"Halo, Thia," sapanya hanya beberapa detik setelah terdengar nada tunggu.
"Ei, Nand, belum tidur?" tanyaku sembari menempelkan dua bongkah es batu yang masing-masing sudah dibalut kain kecil ke kedua mataku.
"Belum nih."
"Kenapa?"
"Kamu juga kenapa?"
"Belajar," bohongku.
"Belajar melupakannya atau belajar mencintaku, ciaaa..." Aku bisa mendengarnya tertawa terbahak-bahak di seberang sana. Dasar! Tapi nyatanya ini membuatku tersenyum untuk pertama kalinya setelah perpisahan tadi.
*
"Udah, jangan sedih, jangan dipikirin, mending kita mikirin ulangan nanti," ujar Kenand saat kami berjalan beriringan dari halaman parkir menuju ke gedung utama sekolah.
"Iya, nggak sedih, nggak mikirin juga kok."
Ia tersenyum padaku, manis sekali.
Aduh! Aku kok jadi begini sih. Jangan! Jangan! Kenand itu jelek, titik.
Memalukan sekali kalau aku jadi menganggap Kenand itu manis, tampan, lalu jatuh hati padanya. Masa baru men-jomblo sehari saja aku sudah jadi seperti ini, padahal selama tiga tahun kebelakang ini aku sama sekali tak pernah sedikitpun melirik laki-laki lain. Apalagi Kenand adalah sahabatku dan ia jelas telah memiliki kekasih.
"Hei! Ngalamun aja," tegurnya.
Aku tersentak. "Nggak ngalamun ih!"
"Belajar dulu deh yang bener, jangan mikirin cinta-cintaan, nanti kalau sudah sukses baru."
"Bisa ya ngomong gitu? Nggak ngaca."
Ia tertawa dan berlari meninggalkanku begitu saja.
Aku beruntung mengenal Kenand yang bisa membuatku tersenyum disaat seperti ini.
***