1
.
.
.
Tik tok tik tok....
Ditemani suara jarum jam yang terus berdetak aku duduk di ruang tamu dengan gelisah, sesekali aku menengok ke luar jendela, melihat apakah demigods-ku telah tiba.
Ah iya, aku belum mengenalkannya pada kalian, namanya Elios, kakak seniorku saat di bangku Sekolah Menengah Pertama - dan juga berlanjut lagi sekarang. Kami sudah mulai dekat sejak hari-hari pertamaku memakai seragam putih biru. Kebetulan yang baik kami memiliki beberapa ketertarikan yang sama dan merasa saling cocok satu sama lain. Ya, ialah alasan mengapa aku memilih sekolahku saat ini.
Lalu, mengapa aku selalu menyebutnya "demigods"-ku?
Karena menurutku ia sempurna.
Ya, aku setuju bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, tapi aku belum menemukan satupun kekurangannya, setidaknya hingga saat ini, detik ini.
Aku baru saja membuka risleting ranselku hendak mengecek ponselku ketika kudengar suara sepeda motor berhenti tepat di depan gerbang, disusul dengan suara kunci yang bertemu dengan besi. Segera aku menutup kembali ranselku dan bergegas keluar, tentu tak lupa aku menutup dan mengunci pintu karena aku orang terakhir yang akan meninggalkan rumah pagi ini.
"Hehehe, pagi, dek. Sudah lama nunggu ya? Mas kesiangan nih." Dari lengkuangan matanya aku tau ia tengah tersenyum lebar meski ia tengah memakai masker yang menutupi bagian bawah wajahnya.
"Pagi juga, Mas. Nggak kok, ini juga masih pagi."
"Langsung berangkat?"
Aku mengangguk sembari menerima helm darinya. Tau aja aku nggak punya helm, hehehe...
.
Sepanjang perjalanan kami membicarakan banyak hal, mulai dari pelajaran hingga makanan meski kadang aku susah mendengar apa yang ia katakan karena bisingnya suara kendaraan di sekitar. Makhlum, sudah lumayan lama kami tidak memiliki kesempatan ngobrol berdua dan hanya bisa berkomunikasi lewat telepon atau pesan singkat saja. Tak terasa, tiba-tiba kami sudah berada di lapangan parkir sekolah.
"Makasih, nanti pulangnya numpang lagi ya?" ucapku ketika kami tengah berjalan beriringan menyusuri jalan setapak yang menghubungkan lapangan parkir dengan gedung utama.
"Iya, pasti aku anterin pulang kok, masa aku yang bawa kesini pulangnya aku biarin sendirian?"
"Nah gitu dong!" Aku mengacungkan dua jempolku padanya.
"Sarapan sotonya jadi?"
"Jadi dong, aku nggak sarapan buat nyobain soto yang kamu bilang super enak itu."
"Hahaha... Kirain kamu bakal tetep makan dulu."
"Nggak lah."
"Oh ya, kamu daftar dulu sana," ujarnya sembari menunjuk ke petugas daftar ulang MPLS di samping pintu utama. "Aku mau cari kelas baru dulu, ntar abis itu langsung ketemu aja di kantin, oke?"
.
Usai dengan urusan daftar ulang dan pengarahan singkat serta mencari kelas sementaraku selama MPLS aku masih punya waktu beberapa puluh menit hingga bel masuk. Segera aku menuju ke kantin yang letaknya berada di belakang gedung utama sekolah.
Ah, kukira ia akan menantiku dengan dua mangkuk soto panas di atas meja, namun kenyataannya ia justru tengah berbincang-bincang dengan seseorang dan meja di hadapan mereka masih kosong.
Ragu-ragu aku menghampiri mereka.
"Eh, sudah?" tanyanya ketika melihatku mendekat.
Aku mengangguk.
"Ras, kenalin ini Athia, yang biasa aku ceritain. Dek, ini Laras, temen sekelas Mas." Ia memperkenalkan kami, dan kamipun bersalaman serta menyebutkan nama masing-masing.
"Sotonya mana, Mas?" tagihku.
"Itu kantinnnya belom ada yang jual."
Ah! Aku bahkan baru sadar kalau belum ada kantin yang buka, hahaha...
"Kalian, manggilnya mas-dek kaya pasangan suami istri di desa jaman dulu, hahaa...," ejek Laras, Kak Laras.
"Aku juga pernah mikir gitu, hahaha..." timpalnya setuju.
Sayangnya, aku baru tau soal itu, selama ini aku merasa oke-oke saja dengan panggilan itu dan orang-orang di sekitar kami juga tidak pernah ada yang komplain sebelumnya. Memangnya anak muda jaman sekarang salah ya memanggil pasangannya dengan sebutan mas dan dek?
***