20
Belum lebih dari satu kali dua puluh empat jam aku berpisah darinya namun ia telah mencantumkan nama orang lain pada pesan status sosial medianya, entah dengan maksud dan tujuan apa. Mungkin saja cuma iseng, tapi bisa juga ia benar-benar sudah memiliki orang lain. Kalau memang benar begitu, kenapa juga harus dicantumkan disitu, mau buat pengumuman?
Kenand yang baru tiba dengan lancangnya merebut ponselku. "Masih aja stalk mantan, kapan move on-nya kalau gini?"
Aku berusaha merebutnya kembali namun Kenand justru bangkit berdiri.
"Nggak akan aku balikin sebelum kamu janji nggak nge-stalk dia lagi."
"Iya deh janji."
"Janji apa?"
"Nggak stalking lagi."
"Kalau sampai langgar janji hukumannya apa?"
"Apa aja."
Ia mengulurkan kembali ponselku. "Bener ya?"
Aku mengangguk dan menyambarnya cepat sebelum Kenand berubah pikiran.
"Ini buat kebaikanmu, aku nggak mau kamu sedih terus-terusan."
Iya, aku mengerti.
"Makasih, Nand."
.
"Kebetulan aku barusan dikabarin kalau daerah rumahku lagi kena pemadaman listrik bergilir," ujar Kenand saat kami berjalan menuju ke halaman parkir selepas jam pelajaran terakhir.
"Pemadaman listrik bergilir kok kebetulan?" heranku.
Ia tersenyum padaku. "Jadi aku ada alasan buat mampir belajar sama ngerjain tugas di rumahmu dulu."
Aku tahu itu hanya alasan, ia hendak mengerjakan tugas di rumahku agar bisa menemaniku belajar setidaknya hingga sore hari dan membuat perhatianku teralih.
"Yaudah. Tapi, Kak Mimin nggak apa-apa aku bareng kamu seharian?"
"Siapa bilang seharian? Mau banget ya seharian bareng aku?"
Aduh, orang ini!
"Yaudah kalau kamu pengen bareng aku seharian ntar aku nginep deh."
Aku memukul pelan lengannya. "Nyebelin ih!"
Ia tertawa.
Tak terasa kami sudah sampai di halaman parkir yang sedang ramai-ramainya.
"Ayo pulang, pulang!" Kenand tiba-tiba menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang lebar dan menggiringku.
"Ih, Nand!" Aku berusaha menyingkirkan tangannya namun ia tetap bersikukuh tak mau melepaskan. Barulah setelah beberapa saat sedudah ia membawaku ke suatu tempat dan berhenti beberapa detik dibebaskannya kedua mataku dari telapak tangannya yang sempat menghalangi penglihatanku. "Kenapa sih?"
"Nggak, aku cuma nggak mau kamu lihat sesuatu yang nggak seharusnya kamu lihat."
Ah, aku paham.
"Makasih, Nand."
Ia hanya tersenyum simpul, manis sekali.
.
Hingga sekitar pukul lima sore Kenand menemaniku mengerjakan tugas dan dilanjutkan dengan belajar bersama di teras, kami bahkan melewatkan makan siang karena saking asyiknya. Dengan begini aku bisa mengalihkan pikiranku seluruhnya ke hal yang lebih positif terima kasih padanya yang bahkan mengabaikan beberapa kali panggilan dari Kak Mimin.
"Udah hampir gelap," aku mengingatkan tanpa bermaksud mengusirnya sama sekali. Justru aku senang kalau ia terus berada di sisiku, tentu saja itu tidak mungkin.
***