BAB XVI
Setelah surat kaleng itu kuterima, aku langsung menghubungi wanda untuk bertemu. aku menunggunya tiba di bangku penonton stadion softball kampus. Cuaca sepertinya tidak sedang bersahabat?langit mendung dan angin berhembus cukup kencang. terdengar langkah kaki menaiki anak tangga, wanda sudah tiba.”
“Ada apa nif?” kata wanda heran. “Mengapa kau mengajakku bertemu tiba-tiba begini? apa ada masalah?”
“Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting?sesuatu yang mungkin bisa membuatmu membenciku.” kataku.
“Katakan saja, nif. selama ini juga kau belum pernah menceritakan apa-apa padaku.”
Aku terus saja memalingkan pandanganku dari wanda, matanya penuh selidik. Hal itu membuat kepercayaan diri yang telah aku kumpulkan pupus. Aku berusaha meyakinkan diriku untuk berkata sejujurnya.
“Aku bukanlah seperti yang kau kira wanda, aku juga bukan pemuda baik sama seperti yang dikatakan almarhum nenekmu. Aku ini hanya seorang pembohong?pembohong yang ulung. Aku menyembunyikan semuanya darimu karena aku takut kau akan membenciku jika kau tahu yang sebenarnya. Aku..”
“Hanif..” sela wanda. ia menghela nafas. “Aku sudah tahu semuanya. seseorang mengirimiku surat kaleng pagi ini.”
Wanda menyodorkan setumpuk kertas yang tebal. Aku membaca lembar demi lembar. Surat ini membongkar semuanya, siapa aku sebenarnya. Dilampirkannya juga foto-fotoku selama aku menjalani kehidupanku sebagai seorang pengedar?aku dan Ghifari di kasino, gudang penyimpanan, dan yang terakhir pesta miras di vila ketua itu. seseorang sudah merencanakan ini matang-matang untuk menjatuhkanku. Para ketua itu dari awal sudah mengetahui siapa aku dari awal. Aku menatap wanda, ia tidak kelihatan menunjukkan ekspresi apa-apa. Wanda terus saja menatapku seolah-olah tidak ada yang terjadi. Daritadi dia berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Aku yakin bahwa dibalik ketegarannya itu dia menyimpan rapat-rapat perasaan yang siap meledak kapan saja. Sungguh aku tidak khawatir jika setelah ini dia meninggalkanku, tapi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri bila membuat seorang wanita menangis.
“Maafkan aku Wanda, aku memang tidak pantas kau maafkan. Tapi aku ingin kau mendengar dari sudut pandangku, mengapa aku melakukan semua ini.” aku menggengam tangannya. “Aku punya seorang kakak, kakakku merupakan mahasiswa di univertas yang sama dengan kita. Beberapa tahun lalu kakakku menghilang karena mencoba untuk mengungkap kebusukan komplotan narkoba itu, kakak mengirimiku surat dan mengatakan bahwa kebebasannya dirampas dan dia harus hidup dibalik bayang-bayang. Aku bertekad untuk menyelamatkan kakak, satu-satunya cara mungkin seperti yang aku lakukan ini. Bagimu mungkin ini semua tidak masuk akal, tapi itulah yang terjadi. Setelah ini, aku tidak akan memaksamu untuk terus bersamaku, kau berhak untuk mendapat seseorang yang lebih baik daripada aku, seseorang yang apa adanya seperti yang kau inginkan.”
Aku merasakan air menetes di pipiku?gerimis mulai turun. Wanda tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangkit. Ia terus saja menatap kedepan dengan tatapan kosong. Aku mengajaknya untuk berteduh, tapi wanda tetap diam saja, bahkan tidak berusaha melindungi dirinya dari hujan?menghiraukan bajunya yang sudah basah kuyup. Wanda diam terpaku seolah-olah dunia berhenti berputar. Hujan benar-benar deras, aku tidak bisa menatap wajahnya dengan jelas. Apa wanda sengaja untuk duduk disini agar aku tidak dapat melihatnya menangis?
“Wanda, ayo bangkit! kau bisa sakit!” aku berbicara padanya dengan sedikit berteriak agar terdengar olehnya.
Tiba-tiba wanda menatapku.
“Hanif, ini memang bukan salah siapa-siapa, aku tidak akan menyalahkanmu. Aku tidak bisa menyalahkanmu atas apa yang terjadi, tapi kumohon berhentilah. Masih ada waktu untuk kembali, belum terlambat. Aku tidak ingin hal-hal buruk menimpamu. Maukah kau berjanji untuk segera meninggalkan semuanya?”
Aku dihadapkan pada dua pilihan yang tidak bisa aku pilih?kehilangan wanda atau kehilangan kakakku. Kakak sedang dalam bahaya dan Wanda merupakan wanita yang aku cintai.
“Kakakku dalam bahaya wanda..” kataku
“Maukah kau berjanji untuk segera meninggalkan semuanya?” Wanda mengulangi permintaanya. Kali ini aku benar-benar dapat melihatnya, air mata yang mengalir bersamaan dengan hujan.
“Aku tidak bisa memilih wanda.”
Kali ini wanda benar-benar bangkit. ketika aku hendak mengejarnya ia menatapku dengan tajam. Matanya mengatakan kepadaku untuk tidak mengejarnya. Aku benar-benar terdiam saat itu juga. Detak jantungku tidak teratur dan sekujur tubuhku mati rasa.
Tidak ada yang lebih dingin dari matanya.
"Aku tidak pernah menghisap apapun selain udara"
Comment on chapter BAB IIOke, mungkin kalimat itu bakal nempel dikepalaku sampai besok :))