Panas terik matahari mulai menyengat. Desir angin sepoy tak mampu mengalahkan panas sinar matahari. Namun, dua sejoli itu duduk berdua di bawah pohon tembesi yang menjulang tinggi. Akar kuatnya menjadi sandaran mereka berdua saat mengobrol berdua.
Sejak saat itu Jaka tahu gadis itu bernama Arum. Salah satu siswa dari SMA di pinggiran kota malang juga. Jaraknya dari sekolah Jaka sekitar 7 km. Arum sama seusianya. Sekitar 17 tahun hanya lebih tua Jaka 3 bulan. Arum juga seorang pelukis, dia hobby melukis sejak masih TK. Bakat melukisnya terus berkembang hingga SMA. Diapun selalu ikut kontes melukis baik mewakili sekolah atau pribadi.
Arum adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Dia memiliki 2 adik yang usianya masih sangat muda, saudara nomor dua adalah cowok dan terakhir cewek. Arum sudah tidak memiliki ibu sejak 3 tahun yang lalu. Meinggal karena sakit hypertensi. Sekarang Arum menjadi tulang punggung keluarga. Dia harus bekerja di sebuah tempat bimbingan belajar milik orang cina. Dia bekerja di jam siang setelah pulang sekolah dan pulang malam.
Dari obrolan panjang itu yang tidak diketahui jaka adalah tentang ayah Arum. Sebenarnya Arum memiliki Ayah yang bernama santoso. Dia bukan termasuk deretan ayah yang baik. Dia penjudi, pemabuk, dan seringkali berbuat kasar pada Arum. Ayahnya tak bekerja. Dia seorang pengangguran yang hanya bergantung hidup pada Arum. Menyedihkan. Nasib Arum sama sekali berbeda dari teman-temannya. Di usia muda dia harus bekerja keras demi menafkahi ayah dan saudaranya.
"Siapa cowok tadi yang berbuat kasar sama kamu?" tanya Jaka pada Arum.
"Dia temanku." jawab Arum sumbang.
"Teman," Jaka terkejut. "Teman dekat, pacar, atau musuh?" Jaka mendesak penasaran.
Arum sejenak diam. Tanpa Arum menjelaskan siapa dia. Jaka tahu, jika cowok itu adalah pacar Arum.
"Dia tak seharusnya melakukan itu." Jaka merasa jengkel.
Berselang kemudian. Suara pengumuman hasil lukisan di umumkan. Juri telah menilai hasil lukisan semua siswa yang mengikuti kompetisi. Suara speaker sangat keras menggema di seluruh sudut lapangan. Telah dibacakan juara melukis sesuai dengan kategori usianya. Mulai dari SD, SMP dan terakhir SMA.
Tanpa disadari. Nama Jaka di serukan dengan keras bahwa dia telah mendapat juara 1 melukis. Lukisannya begitu real. Menggambarkan sebuah rasa. Goresan lukisan Jaka mampu menunjukkan ekspresi suasana hatinya saat itu. Arum yang belum sempat melihat lukisan Jaka. Dia pulang lebih dulu karena kelompok dari sekolahnya tidak ada yang mendapat juara.
Jaka di panggil kedepan. Juri memberikan beberapa pertanyaan pada Jaka tentang siapa gadis yang terlihat nyata dalam lukisannya itu. Gadis yang memiliki senyum menawan. Penuh ketulusan, kejujuran, dan suka cita.
Bibir jaka bungkam. Dia tak mempublikasikan nama gadis dalam lukisannya. Dia hanya bergeming dalam hati. ARUM.
°°°°°
Seperti biasa. Arum mengajar di bimbingan belajar dengan menjadi tutor pelajaran matematika untuk anak-anak SMP. Arum memang cerdas, dia ahli otak atik angka matematika dan juga rumus matematika. Sangat beruntung, gadis yang tak beruntung soal ekonomi itu di bekali kemampuan yang luar biasa yang bisa menyumbang dia untuk mendapatkan uang.
Arum biasanya tak pulang larut malam. Namun, malam itu dia pulang terlalu larut karena angkot banyak yang penuh. Dia sampai dirumah pukul 9 malam. Saat melangkah masuk rumah. Pak Santoso memandang dengan tatapan dingin.
"Dari mana kamu?" tanya Pak Santoso dengan nada menekan.
"Aku kerja pak. Tadi angkot penuh jadi aku pulang larut malam."
"Aku minta uang," tanpa canggung ayahnya merebut tas Arum.
"Pak, itu buat makan kita setiap hari. Jangan diambil," Arum merengek, hatinya sakit melihat ayahnya tak peduli dengan kehidupan mereka sekeluarga.
"Besok, kamu cari lagi." katanya dengan percaya diri.
Arum mungkin benci dengan ayahnya tapi dia tetap sadar pak Santoso adalah ayahnya. Nasib arum sungguh tak beruntung memiliki ayah macam orang sinting yang tak punya otak.
Meski begitu. Arum tetaplah gadis SMA yang kuat. Dia menahan tangisnya karena sikap ayahnya itu. Di tahun krisis moneter yang melanda. Arum harus terus bekerja keras untuk berjuang tetap makan dan sekolah.
Hidup di tahun 1997 membuat Arum menjadi gadis kuat yang memiliki mental sekuat baja. Tahun dimana krisis moneter melanda dan dia adalah salah satu dari sekian anak yang nasibnya sungguh kurang beruntung.
Melihat kejadian itu. Adik keduanya yang bernama Tegar keluar. Sementaa adik perempuannya yang bernama Alia sudah tidur. Alia masih kecil. Usianya masih 7 tahun dan harus tumbuh dengan pemandangan tidak baik dari ayahnya.
"Mbak. Jangan bersedih. Jika aku besar nanti pasti sudah aku hajar bapak berkelakuan iblis itu."
"Jangan gar. Biarkan saja."
"Mbak, apa yang bisa kubantu untukmu?" Tegar memandang dengan mata bening berkaca-kaca.
"Tegar, kamu masih kecil. Usiamu masih 11 tahun. Sekolah yang pinter. Buat bangga mbak Arum. Mengerti!"
"Aku pengen bantu mbak cari uang."
"Gak perlu, kamu belajar yang rajin saja. Mbak, sudah merasa terbantu."
Itulah kehidupan Arum. Berat, sulit, namun dia tetap kuat menjalani hidupnya. Arum gadis belia yang masih muda dan sudah memiliki jiwa sekuat baja. Mental sekokoh tembok cina. Dan juga memiliki hati selembut sutera.
Arum sebuah nama yang sudah membuat cowok segarang Jaka mulai luluh dan pertama kalinya dia mengenal perempuan. Mengetahui rasa berdebar, gemuruh yang meruntuhkan hatinya. Rasa yang mampu meremangkan bulu kuduknya. Jaka, cowok remaja berandalan yang kini mulai kasmaran sejak mengenal Arum.