Betapapun kebimbangan melonjak di dalam hatinya, namun Pangeran Parikesit tidak menampakkan kebimbangan itu melalui air mukanya. Ia masih begitu tenang dalam diamnya. Sementara itu Ki Buyut Mimbasara dan Ki Getas Pendawa tidak dapat menduga isi hati dan pikiran Pangeran Parikesit. Lalu sejenak kemudian terdengar Pangeran Parikesit berkata,” Aku tidak sekedar mengetahui rencana Angger Sultan Trenggana, bahkan aku telah mengadakan pertemuan dengan beberapa orang dan secara khusus membahas rencana itu.”
Terhenyak kaget kedua orang yang mendengar kata-katanya.
“Apakah Angger Gagak Panji dan Angger Arya Penangsang turut hadir dalam pertemuan itu, Paman?” tanya Ki Kebo Kenanga.
“Angger Arya Penangsang saat itu masih berada di Jipang, hanya Angger Gagak Panji dan beberapa lainnya yang hadir,” jawab Pangeran Parikesit dengan muka datar.
Ki Kebo Kenangan atau Ki Buyut Mimbasara menarik nafas dalam-dalam, lalu,”Aku harap mereka yang lebih muda dari kita dapat menahan diri.”
Ki Getas Pendawa menoleh padanya dan berkata,”Aku kira Paman Parikesit tidak akan membiarkan Angger Gagak Panji dan yang lain membuat keputusan sendiri.” Selintas keresahan membayang di mata Ki Getas Pendawa, ia mendesah,”Lalu bagaimana tanggapan mereka, Paman?”
“Saat ini Angger Gagak Panji mungkin telah berada di Panarukan. Dan mungkin saja ia telah bertemu dengan Kakang Tawang Balun,” jawab Pangeran Parikesit,”Aku kira jika Gagak Panji mau mendengar saran dari Kakang Tawang Balun, mungkin harapan kita untuk tidak melihat lagi darah yang tertumpah menjadi kenyataan.”
“Kepergian Gagak Panji ke Panarukan itu apakah atas perintah Paman atau kehendaknya sendiri?” bertanya Ki Kebo Kenangan.
“Angger Kebo Kenanga,” berkata Pangeran Parikesit kemudian,“aku tidak banyak mempunyai waktu untuk hidup lebih lama lagi di dunia ini. Apakah kau masih menduga jika aku menginginkan Demak? Atau mungkin kau lebih mengkhawatirkan keadaan Paman jika Paman terseret keinginan mereka? Ketahuilah Ngger, aku sekarang duduk di Pajang dan menjadi tekadku untuk tidak lagi mencampuri urusan tahta kerajaan.”
“Ah, maafkan aku jika Paman salah mengerti,” sahut Ki Kebo Kenanga perlahan-lahan. “Semenjak Pajang didatangi secara bergelombang oleh prajurit-prajurit Demak, maka saat itu aku sudah memutuskan untuk tidak kembali mengurusi pemerintahan. Lagipula aku telah melihat Angger Jaka Tingkir memang pantas berkedudukan sebagai Adipati.”
Pangeran Parikesit mengerutkan keningnya. Ia melihat Ki Kebo Kenanga duduk menyilangkan kaki dengan begitu tenang. “Kita tidak dalam keadaan untuk menilai kepantasan Jaka Tingkir.”
“Aku mengerti maksud Paman,” berkata Ki Kebo Kenanga. “Maksudku adalah sudah ada lagi keinginan dalam hatiku untuk kembali duduk sebagai penguasa Pajang, sehingga terbesit pertanyaan dalam hatiku tentang alasan Sultan Trenggana menyerang wilayah timur.”
“Apakah yang akan kau lakukan apabila kau tahu secara pasti alasan Demak?” bertanya Ki Getas Pendawa.
Ki Kebo Kenanga terdiam sesaat. Sesekali ia melihat wajah Pangeran Parikesit dan KI Getas Pendawa bergantian.
“Paman Parikesit,” berkata kemudian Ki Kebo Kenanga,“ meskipun sekarang ini aku adalah guru Pangeran Benawa namun pada saat ini juga aku adalah seorang rakyat dari Adipati Hadiwijaya. Kedua hal itu sudah tentu tidak dapat aku lepaskan begitu saja. Pertanyaan besar dalam diriku adalah apakah aku akan dapat berdiam diri jika kemudian terjadi perpecahan yang merembet hingga Pajang? Kita tidak meragukan kemampuan dan kecemerlangan berpikir para senapati yang berada di sekitar kita, akan tetapi yang menjadi keraguanku adalah kemampuanku untuk mencegah agar tidak terulang lagi peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu.”
Pangeran Parikesit mengangguk-angguk kepalanya. Ia menyahut dan berpaling ke Ki Getas Pendawa,”Lalu, bagaimana pendapatmu Ngger?”
“Aku mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan mereka. Keputusan yang sulit mungkin harus aku buat karena aku belum tahu kemana harus menempatkan kaki. Apakah Kakang Kebo Kenanga mempunyai keberatan?”
“Tentu tidak. Sebagai rakyat yang berada di bawah telapak kaki Adipati Hadiwijaya tentu sudah menjadi kewajiban kita untuk bergabung dengannya. Namun di sisi lain, mereka yang berseberangan dengan Angger Sultan adalah saudara-saudara kita juga. Lalu bagaimana dengan kedudukan kita sebagai seorang prajurit?” sahut Ki Kebo Kenanga.
Ki Getas Pendawa menatap wajah Pangeran Parikesit namun agaknya pendapat Ki Kebo Kenanga adalah ungkapan yang mewakili beban perasaan mereka bertiga. Akan tetapi Ki Getas Pendawa tidak dapat mengerti alasan Pangeran Parikesit seakan-akan membiarkan saudaranya itu untuk berkata-kata secara bebas atas apa yang sedang terjadi di Demak. Meskipun demikian katanya, “Kakang Kebo Kenanga, agaknya kita masih harus bersabar menunggu perkembangan selanjutnya.”
“Benar katamu Ngger,” sahut Pangeran Parikesit. Katanya,”Aku telah mendapat berita jika besok pagi Angger Hadiwijaya akan pergi menuju Demak. Maka dengan begitu, sekalipun kita terlibat pembahasan hingga esok pagi akan tetapi apa yang akan disampaikan oleh Angger Sultan Trenggana pada menantunya ini tentu akan dapat mempengaruhi keputusan yang akan kita buat.”
“Paman Pangeran, sedikit ada penasaran mengenai Gagak Panji,” kata Ki Buyut Mimbasara. Pangeran Parikesit mengangguk padanya lalu,”Ia pergi ke Panarukan. Dan agar kau mengerti, Gagak Panji tidak memerintahkan para adipati untuk mengangkat senjata atau melakukan penghadangan bagi prajurit Demak.”
Ki Buyut tertegun sejenak. Sebelumnya ia menduga jika Gagak Panji akan meminta setiap adipati di sepanjang pesisir utara untuk membuat pertahanan berlapis. Sehingga Ki Buyut memperhitungkan jika pekerjaan Demak akan bertambah berat. Selain itu ia juga menyadari jika ia tidak akan dapat hadir di tengah-tengah pasukan Demak.
“Aku tidak ingin setiap keputusan yang kita buat itu lahir dalam keadaan tergesa-gesa. Aku katakan pada kalian tentang alasan Sultan Trenggana mempersiapkan pasukan menuju timur,” Pangeran Parikesit berujar lalu bergeser setapak. Ia melihat Ki Kebo Kenanga menundukkan wajah. Kata Pangeran Parikesit,”Angger Kebo Kenanga, aku ingin kau lakukan lebih dini pada Angger Hadiwijaya.”
“Mengenai apakah itu Paman?”
“Agar dapat menahan diri untuk bergerak sebelum mendengar saran dari kita bertiga.”
Ki Getas Pendawa bangkit berdiri dan berjalan pelan. Ia memutar tubuhnya lalu berkata,”Apa alasan Angger Trenggana itu,Paman?”
Pangeran Parikesit yang berdiri sebelah menyebelah dengan pintu yang berukiran bunga wijayakusuma itu kemudian menjawab,”Ia menginginkan pengakuan. Tentu kau dapat mengerti jika peralihan sebuah kerajaan akan diikuti dengan tunduknya wilayah yang menjadi bawahan. Namun atas apa yang telah terjadi di masa lalu, Angger Trenggana mungkin melihatnya sebagai perkecualian.” Ia menghampiri Ki Getas Pendawa dan berkata,”Aku mempunyai semacam keyakinan jika Sultan Trenggana menganggap wilayah timur adalah negeri bawahan Demak, sementara para pemimpin wilayah timur tidak pernah menolak kekuasaan Demak. Setidaknya sampai saat ini.”
“Lalu Paman meminta agar aku datang dan bicara dengannya agar menunda penyerangan?” tanya Ki Kebo Kenanga.
Pangeran Parikesit menganggukkan kepala lalu,“ kau dapat memberi masukan tambahan agar ia rela melupakan rencana itu. Sementara aku dapat membantumu dengan mengumpulkan bukti dan bahan yang dapat diharapkan untuk mendorongnya untuk membatalkan rencananya.”
“Paman Parikesit, waktu yang kita miliki hanyalah hitungan pekan. Apabila kita berangkat besok menuju Jepara, kita akan melihat pasukan Demak telah bersiap untuk bertolak. Selain itu, bantuan dari Cirebon juga telah datang secara bertahap memasuki Demak,” sahut Ki Kebo Kenanga .
“Masih ada waktu dan harapan untuk merubah pendirian raja,” tegas Pangeran Parikesit. Lalu,”Meskipun aku tidak menyetujui rencananya namun itu tidak berarti aku gembira apabila mendengar berita kematiannya. Sekarang pasukan Demak masih berada pada garis dan batasan yang wajar sampai saat kedua pasukan akan berbenturan.”
“Apakah memang peperangan tidak mungkin terelakkan?” desah Ki Getas Pendawa.
“Aku dapat melihat kemungkinan akan terjadi, Ngger. Sejak Sultan mencetuskan rencana untuk menaklukkan Panarukan, aku merasakan sulit untuk memejamkan mata kala malam tiba,” Pangeran Parikesit berkata pelan. Lalu,”Aku tidak ingin menurunkan Sultan Trenggana dari tahta, akan tetapi keputusan yang telah ia jatuhkan seolah memberiku sebuah pandangan jika saat yang ditentukan telah dekat.”
Pangeran Parikesit menarik nafas dalam-dalam. Ia berkata lagi,”Gagak Panji akan menawarkan sebuah perdamaian pada Sultan Trenggana dan aku mendukung gagasan itu. Namun kalian juga harus mengerti…” Pangeran Parikesit berhenti sesaat. Kemudian,”..aku akan menentangnya sedemikian keras apabila ia menolak gagasan Gagak Panji.”
Ki Kebo Kenanga menatap wajah Ki Getas Pendawa penuh arti. Ia berkata perlahan-lahan,”Sebenarnya aku telah datang menemui Sultan Trenggana dan berbicara dengannya.”
“Dan kau tidak bicarakan itu denganku?” sahut Pangeran Parikesit.
Ki Kebo Kenanga menggelengkan kepala, jawabnya,” aku terhempas dalam kebimbangan, Paman. Beberapa hari setelah Angger Sultan mengumumkan rencananya, aku didatangi oleh utusan Ki Patih Matahun. Ia menyampaikan padaku tentang rencana itu dan dengan jelas menggambarkan keadaan yang terjadi di Jipang, termasuk tanggapan Ki Patih Matahun.”
nice story broh. ditunggu kelanjutannya :)
Comment on chapter Penaklukan Panarukan 1