Happy Reading...
.
.
Aku memutar tubuh ke kanan. Mataku sangat susah untuk terpejam, padahal kepalaku sangat pusing dan aku butuh istirahat. Tapi pikiranku tiba-tiba tertuju pada laki-laki yang tidak sengaja kutabrak atau mungkin bisa disebut kami bertabrakan. Tadi sore aku pergi ke makam ayah, aku rindu sebab sudah dua bulan beliau pergi meninggalkan kami semua. Saat aku sudah selesai berdoa untuk ayah, cuaca yang tadinya cerah, mendadak gelap dan tidak bersahabat. Hujan turun walaupun masih rintik-rintik. Kusempatkan untuk mengelus nisan ayah sebelum pergi meninggalkan area pemakaman dengan terburu-buru, aku tidak melihat jika ada orang lain yang juga berjalan. Kami tidak sengaja bertabrakan, bahuku dan bahunya saling bersenggolan. Laki-laki itu sangat sopan, dia bahkan meminta maaf walaupun aku tau dia tidak bersalah. Padahal bisa saja aku yang menabraknya.
Aku menarik selimut sampai sebatas dada. Sekadar memastikan kalau udara dingin tidak akan menembus ke tubuhku. Aku sedang tidak enak badan karena kehujanan tadi sore, apalagi aku terkena air hujan yang pertama turun. Pasalnya, air hujan yang turun pertama kali berisiko membawa racun. Penyebabnya karena air hujan yang turun pertama kali, meski rintik-rintik, membawa polusi di udara yang turun ke bumi. Sederhananya air hujan yang turun pertama kali 'membilas' udara dari polusi namun berakibat negatif untuk manusia karena memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Itu aku ketahui dari sebuah artikel yang pernah aku baca.
Dulu aku sangat menyukai hujan, tepatnya saat aku masih SD. Aku suka mandi hujan bersama teman-temanku, tidak peduli ayah atau bunda memarahiku karena takut aku sakit, apalagi saat itu Aruna—adikku—masih kecil dan dia selalu ingin ikut aku mandi hujan. Alhasil, aku mendapat bonus jeweran di telinga. Aku masih ingat sekali kejadian itu.
Itu dulu, tapi sekarang semuanya berubah. Kecintaanku terhadap hujan berubah menjadi ketidaksukaan. Ini semua karena ayahku meninggal karena hujan yang turun dengan deras pada saat itu. Walaupun aku tau bahwa ini semua sudah takdir. Tapi tetap saja, pandanganku terhadap hujan sudah berubah. Apalagi sekarang aku sedang sakit yang disebabkan oleh hujan juga.
Suara dering ponsel yang terletak di samping ranjang, membuat aku menghela nafas. Baru saja aku akan memejamkan mata, tetapi ada gangguan yang coba menghampiri.
"Assalamualaikum," sapaku begitu kujawab panggilan yang ternyata dari Aruna.
"Waalaikum salam. Mbak, gimana, udah baikan?" memang aku tadi mengabarkan kepada Aruna kalau aku sedang tidak enak badan, jadi kemungkinan besok belum bisa untuk pulang ke rumah.
"Emm.. udah lumayan sih, obatnya juga udah mbak minum kok. Kamu tenang aja."
"Gimana mau tenang mbak, mbak di sana sendiri. Aku sama bunda khawatir lho"
"Udah nggak apa-apa."
"Yaudah kalau gitu. Aku cuma mau nanya keadaan mbak aja. Mbak istirahat ya, udah malem. Aku tutup ya, assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Aku tersenyum sambil meletakkan ponsel kembali ke tempat semula. Beginilah indahnya jika memiliki saudara, selalu diperhatikan meski kami berjauhan, karena aku memilih tinggal di kost agar lebih dekat dengan kampus. Walaupun sebenarnya jarak antara rumah dengan kampus tidak terlalu jauh, kira-kira sekitar dua jam jika ditempuh dengan kendaraan umum, jika naik kendaraan pribadi mungkin bisa lebih cepat.
Aku melihat jam dinding yang diletakkan tepat di atas pintu, sekarang pukul sembilan, dan aku sudah merasa lelah. Rasanya aku ingin tidur saja tetapi tidak bisa karena hidungku tersumbat. Kupaksa memejamkan mata, tapi lagi-lagi aku belum bisa masuk ke alam mimpi. Laki-laki tadi terus saja mengusik pikiranku. Wajahnya yang bersih dan terlihat bercahaya mengingatkan aku pada perkataan ayah. Waktu aku kecil ayah pernah bilang, kalau orang yang wajahnya bercahaya pasti dia rajin shalat karena cahaya itu berasal dari wudhunya. Syukurlah kalau memang begitu, aku jadi salut.
[B E R A W A L d a r i H U J A N]
"Rumi!"
"Arumi!"
"Ya?" Aku membalikkan tubuh ke belakang. Di sana Kirana berdiri sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah.
"Kamu cepet banget sih jalannya." Kirana menggerutu, aku hanya bisa memutar bola mata sambil menggumakan kata 'lebay'.
"Rum, besok malam datang ke pengajian yuk."
"Besok malam? Dimana?" Aku baru tau kalau besok malam ada pengajian.
"Di masjid komplek. Kita datang ya, soalnya ada pak ustad ganteng yang ngisi ceramah." Kirana cengengesan. Aku sudah hapal luar kepala tabiat Kirana yang satu ini, dia akan datang ke suatu acara jika ada makhluk bernama pria yang diincarnya.
"Kamu ini mau ikut pengajian atau mau liat pengisi acaranya sih?"
"Ya pengajian dong. Tapi kalau bisa dua-duanya kenapa nggak? Sambil menyelap minum air, gitu lho..."
"Awas kembung!"
Kirana malah cengengesan tidak jelas. Temanku yang satu ini memang beda. Jika irish—temanku yang lain— dia lebih kalem dari kami bertiga. Kalau aku sih biasa-biasa saja, tapi Kirana? Jangan tanya. Dia orang yang ekspresif, dan sangat terobsesi dengan laki-laki. Huh! Mungkin aku harus segera menyadarkannya.
[B E R A W A L d a r i H U J A N]
A/N: haloooo... pendek dulu ya, kan masih awal. Hehe...
.
.
Selamat membaca...
Medan, juli 2018