Prolog
Happy reading....
.
.
Suara gemercik air yang jatuh membasahi bumi, seolah ikut mengiringi acara pemakaman Alm. Bapak Endaru Kamajaya. Kepergiannya memberikan duka yang mendalam bagi keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Terutama untuk istri dan kedua anaknya.
Hujan yang tak kunjung reda, seakan ikut bersedih atas kepergiannya. Air mata yang tadi membanjiri pipi seorang gadis manis yang tengah berjongkok itu bahkan kini sudah mengering.
Arumi Paradista, anak sulung dari Alm. Bapak Endaru Kamajaya dan ibu Rahayu itu, menatap nanar makam yang masih basah di depannya. Pahlawannya serta cinta pertamanya itu kini telah pergi untuk selamanya. Pergi yang tidak akan mungkin kembali.
Ia mengelap sisa air mata yang masih menuruni pipinya, ia tengadahkan kepalanya ke atas melihat awan yang masih gelap walaupun hujan sudah reda. Ia benci ini semua. Ia benci hujan. Bukan maksudnya untuk tidak manghargai sang pencipta atau pun tidak mensyukuri rezeki yang diberikan, namun ia benci karena keadaan ini.
"Sudah mbak, ikhlaskan. Ayah sudah pergi, sudah tenang. Jangan seperti ini, kasihan ayah nanti mbak..." Ucap seorang gadis yang lebih muda darinya. Dia adalah Aruna, adik bungsunya. Aruna memang bersedih atas kepergian ayahnya, tapi dia tidak sekacau Arumi. Setelah pulang dari pemakaman, Rumi—begitu sapaannya—selalu murung dan tidak bersemangat, dia bahkan tidak mau makan dan mengurung diri di kamar. Arumi sangat kehilangan ayahnya, wajar karena dia lebih dekat dengan ayahnya dibanding ibunya.
Rumi berulang kali mengucap kalimat istighfar, dia menggumamkan kata maaf berulang kali entah untuk apa. Setelah sadar jika dia terlalu larut dengan kesedihan, Rumi beranjak ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya dan mengambil air wudhu. Waktu maghrib sudah tiba, segera ia akan menunaikan kewajibannya sebagai muslimah. Mendekatkan diri pada sang pencipta, meminta padanya untuk memberikan tempat terindah untuk ayahnya.
*****
Juli 2018
Vinna