Aku berdiri dibalik jendela kamar, memandangi jalanan komplek yang sunyi senyap. Udara malam cukup kuat menusuk raga ini. Tak jauh berbeda dengan malam-malam sebelumnya, malamku hampa ‘tak ber-udara’. Sesak selalu setia menemani, bayangaan masa lalu selalu menghampiri. Kerinduanku pada ayah tidak pernah terobati. Menunggu kabar yang tidak mungkin datang. Ah sudahlah ini tak berguna, berakhir menjadi harapan yang sia-sia.
Sekarang aku sudah tergeletak di atas ranjang yang tidak seberapa besar, mataku tertuju pada langit-langit kamar. Aku mencoba untuk tidur, tetapi gagal. Balik kanan, balik kiri, serong kanan, serong kiri tidak ada yang berhasil hmm. Akhirnya aku beranjak dari tempat tidur dan menuju meja belajar.
Rembulan Malam
Hei rembulan malam
Apa kau sudah tidur? Aku belum
Apakah di atas sana bahagia?
Kau bersinar di atas sana, sedangkan aku redup kehilangan cahaya
Apa kau pernah kesepian? Aku selalu
Ah sudahlah rembulan, selamat malam
Aku ingin tidur
Jika berkenan silahkan berkunjung kedalam mimpi indahku
***
“Adinda bangun, sudah jam berapa ini?” sayup-sayup suara itu mencoba membangunkanku.
“5 menit lagi bun, Adinda masih mengantuk” aku merengek meminta keringanan sembari kembali menarik selimut.
“3 menit saja tidak bunda beri. Cepat bangun ini sudah jam 7.”
Aku terbelalak , mendengar perkataan bunda. Tanpa aba-aba 1 2 3 aku berlari sekencang-kencangnya kearah kamar mandi. Berharap masih ada tersisa sedikit waktu, walaupun tidak ada hahaha. Yang penting aku sudah berusaha cepat pagi ini, ternyata khilaf kesiangan lagi. Ah yasudahlah, apa mau dikata. Simsalabim dalam 2 menit aku sudah selesai mandi, tak tahulah masih ada tersisa sabun apa tidak. Setelah memakai baju aku bergegas turun kebawah menuju ruang makan.
“Bunda, sarapan Adinda mana?” tanyaku kepada bunda yang sedang membuat teh.
“Lauknya belum selesai, itu lagi digoreng” jawab bunda santai.
“Adinda langsung berangkat ya, udah telat”
“Baru jam 6, telat darimana?” mataku langsung mencari-cari jam dinding disekitar ruang makan. Ternyata benar, ini masih jam 6 pagi huffttt. Dikibulin lagi dah. “Bunda yaa cari gara-gara mulu nih” dengus ku. “Ya habis kalo gak begitu, kamu gak bakal bangun tuh”. Setelah menghabiskan sarapan, aku bergegas pergi sekolah.
Saat berjalan di koridor sekolah, “Dinda?” aku berbalik belakang. “Ya?” lagi-lagi lelaki ini gumamku. “Kenapa kemarin pergi begitu saja?” Tanyanya dengan enteng. Dia adalah Theodore Vandyke, playboy kelas kakap di sekolah ini. Entah kenapa sebulan terakhir ini aku merasa dia mulai mendekati. Mungkin aku akan menjadi sasarannya selanjutnya. “Aku kemarin buru-buru kak” jawabku acuh. Dia adalah kakak tingkatku, anak ips 2. Memang dia lumayan tampan, mungkin karena dia blasteran Indo-Belanda. He’s a popular man.
“Loh kok buru-buru? Padahal aku belum selesai bicara” sambungnya lagi. “Bisa bicara sekarang kak, aku dengarkan”.”Bagaimana jika sore ini saja, cafe dekat rumahmu?” dia mulai menjalankan aksi. “Maaf tidak bisa, saya permisi” aku berlalu meninggalkannya. Dasar kakak tingkat gila, baru sekali bicara sudah ngajak jalan.
“Din, tungguin dong. Kok pergi lagi? Hobi yaa pergi-pergi begitu” ia kembali menghampiriku.
“Kok nyusul lagi?” cibirku.
“Dih jangan galak-galak dong jadi cewek, nanti nggak ada yang suka loh.”
“Bukan urusan kakak.”
“Tapi kamu galak kok aku tambah suka ya Din” dia mengedipkan mata sebelah dan membuatku bulu kudukku berdiri. Aku hanya diam mematung tak menggubris sama sekali. “Din kok surat kakak nggak pernah dibaca?” pertanyaan yang sebenarnya dia sudah tahu jawabannya.
“Kata siapa?”
“Kakak lihat sendiri”
“Ha? Maksudnya”
“Kakak tahu tiap pulang sekolah kamu pasti ke loker kan? Kakak lihat kok kamu Cuma lihat sebentar surat itu lalu langsung dimasukin ke dalam loker”
“Seniat itu ya tiap pulang sekolah ngikutin aku ke loker?”
“Hehehe, ya nggak sih kakak cuma pingin tahu kamu baca surat kakak apa enggak”
“Bentar lagi bel kak, aku duluan ya” aku kembali meninggalkannya dan kali ini dia enggan menyusul.
Aku tidak habis fikir, ternyata buaya mengincar mangsa sebegitu niatnya. Memang, aku sedikit tertutup dengan laki-laki terkecuali Rio. Tidak juga sih, tepatnya laki-laki yang mencoba mendekatiku agar mereka bisa menjadi lebih dari seorang teman. Sebenarnya bukan menutup diri, aku hanya membatasi diri agar tidak terlalu dekat dengan mereka. Karena yang aku tahu, laki-laki lumayan berbahaya bukan?
Tidak jarang teman perempuanku menangis-nangis setelah putus cinta. Yang menyakitinya siapa? Siapa lagi jika bukan laki-laki. Dulu sewaktu pdkt setengah mati mereka mengejar-ngejar cinta sang perempuan, lalu setelah mereka dapatkan dengan mudahnya menghempas cinta yang sudah mereka genggam. Aku hanya tidak ingin seperti itu. Dulu, ayahku saja bisa meninggalkan aku. Apalagi hanya lelaki antah-berantah seperti mereka.
Tidak mudah memang mebentengi diri sendiri, apalagi diumurku sekarang. Masa-masa remaja dimabuk cinta. Tetapi, jujur saja sampai saat ini belum ada laki-laki yang bisa menarik perhatianku. Bukan berarti aku tidak normal ya hehehe. Hanya saja mereka belum menemukan jalan menuju diriku asek-asek jossss.
Setibanya di kelas, aku disambut dengan senyuman manis Alin my beautiful seatmate.
“Kok kesel gitu Din mukanya?” mungkin dia heran melihatku masih pagi sudah berwajah kusut. “Tahu tuh, Theodore Vandyke playboy itu pagi-pagi udah gangguin aja” jawabku cepat dengan nada kesal. “Ohh kak Theo? Hahaha kan emang begitu nafasnya itu godain cewek di sekolah ini”.”Gitu ya buaya bernafas nggak perlu oksigen hahaha” kami tertawa bersama.
“Btw Lin, kau pernah dikejar-kejar cowok?” entah kenapa aku tiba-tiba bertanya seperti itu. “Aku? Pernah beberapa kali, tetapi aku tidak suka cara mereka terlalu agresif . Kenapa bertanya begitu?” Alin bertanya balik. “Oh nggak papa sih.. jadi kau suka cowok seperti apa?”
“Yang gimana ya, aku bingung jika harus mendeskripsikannya. Mungkin yang jika suka denganku mereka terlihat biasa-biasa saja. Semacam suka diam-diam gitu Din hahaha. Tetapi aku tidak mungkin menemukan lelaki seperti itu karena mereka saja tidak menampakkan jika dia suka padaku bagaimana bisa aku tau. Yang penting tidak agresif sudah cukup”
“RIO!” sigap aku menutup mulut.
“Loh Rio kenapa din?” Alin terlihat bingung.
“Ohhh anuu nganuu anu din itu si Rio minjem duit aku belum dibalikin, bentar ya aku mau nyamperin dia dulu. Byee”
“Bye Din hati-hati. Jangan lama loh 10 menit lagi masuk” Alin kebingungan melihat aku yang pergi begitu saja.
Fyuhhh hampir saja.