Sekarang aku sedang bersantai di warung dekat sekolah. Menyeruput es jeruk segar pada jam istirahat. Di sini tidak terlalu ramai siswa-siswi lain, berbeda dengan kantin di dalam sekolah. Sebenarnya kami dilarang keluar pagar saat jam istirahat tanpa izin bos piket (guru piket). Tetapi untuk anak-anak macam aku, Rio, dan Tasya peraturan ada hanya untuk dilanggar muehehehe. Oh iya! Aku belum mengenalkan Tasya kepada teman-teman. Sahabatku yang satu ini bernama Retasya Ardani Orlin, ia adalah sepupu sekaligus sahabat dekatku. Kami seumuran, hanya saja lebih tua aku beberapa bulan.
Kami sedang menikmati semangkuk bakso yang sungguh nikmat, kuah milikku sampai-sampai memerah karena terlalu banyak menuangkan sambal. Fyi setiap makan bakso aku tidak pernah menggunakan kecap ataupun saus tomat. Kenapa? Karena rasa kuahnya tidak original lagi menjadi kurang sedap.
Hari ini ada pemandangan berbeda di warung samping sekolah, ada sekelempok kaka tingkat yang biasanya mereka tidak pernah nongkrong di warung ini. Kami bertiga sangat mengenal mereka, ya sesama anak nakal tentulah mengenal geng anak nakal lainnya. Mereka semua perempuan. Ada satu hal yang perlu kalian tahu, kami berbeda dengan mereka. Kami tidak suka mengganggu anak-anak lain, kami hanya nakal untuk diri kami sendiri. I mean yang kami lakukan hanyalah melanggar peraturan resmi sekolah, sedangkan mereka tidak segan hanya sekedar merampas uang saku anak lain misalnya.
“Minggir!” aku tersedak karena suara tadi mengejutkan ku yang sedang menyeruput kuah bakso. Saat menengok kearah belakang, ternyata perempuan-perempuan tidak jelas ini mencoba mengusik kami yang sedang menikmati hidangan makan siang. Mungkin mereka ingin menjadi pengganti hidangan ini?
Aku hanya diam tak bergeming. Rio memandangi ku seakan mengisyaratkan untuk pergi, sedangkan Tasya sudah pucat pasi tak karuan. Aku tidak suka dengan kakak tingkat yang suka mengusik, benar-benar tidak jelas.
Tiba-tiba salah satu dari mereka menarik lengan baju ku. “Hei! Punya telinga atau tidak?” aku kembali menoleh “kalau tidak kenapa?” jawabku santai dan melanjutkan menghabiskan sisa bakso yang masih ada. Mereka fikir aku akan takut dengan teriakan kata ‘minggir’. “Tak usah kau berlagak jagoan, disini kau dan teman-temanmu hanya adik tingkat” sontak aku tertawa lepas.
“Percuma berparas cantik, sopan-santun saja kalian tak mengerti” cibir ku. “Berani nya kau?!!” emosinya semakin menjadi-jadi, seakan-akan ia akan berubah menjadi singa betina. Alhasil dia menarik rambutku sampai-sampai kepala ikut tertarik ke bawah. Disini aku sudah kehabisan kesabaran, rupanya-rupanya kalian belum tahu siapa Adinda Anandari Hardinoto ucapku dalam hati.
Langsung saja tanganku mengepal dan melayang pada mulutnya yang comel itu. And thannn first bloood hahaha setitik darah mengalir dari pinggir bibirnya. Ia tersentak dan mundur satu langkah, genggaman tangannya dari rambutku langsung terlepas begitu saja. Wajahnya pucat seperti melihat hantu. Mungkin dia tidak menyangka aku akan melakukan hal mengejutkan ini kepada senior tidak tahu diri seperti dia.
“Din, udah din” Tasya mencoba menenangkanku.
“Nggak Sya, mereka udah keterlaluan. Ini udah diluar batas. Berani cari masalah, harus berani terima akibatnya! sini kau dasar pengecut!”
Mereka, kaka tingkat itu lari pontang-panting kearah sekolah. Rio tidak heran lagi melihat perlakuan ku yang seperti itu. Karena dia tahu, aku tidak akan melawan jika tidak diganggu terlebih dahulu.
“Untung saja kau Din menampar dia diluar sekolah, kalau tidak bisa s.p 2 kau sekarang” ucap Rio kepadaku. Memang aku sudah berlangganan keluar masuk ruang BK. Masalahnya? Ya macam-macam. Mulai dari terlambat, tidur dikelas, lompat pagar belakang dan masih banyak problema anak SMA lainnya. Akhirnya kami bertiga kembali ke sekolah, karena bel masuk terdengar samar-samar dari dalam sana.
Setibanya di kelas, aku langsung mengambil earphone dan memutar playlist akhir pekan di spotify. Karena Pak Ali belum saja muncul daritadi, dia guru fisika kami. By the way, aku tidak satu kelas dengan Rio dan Tasya. Kau tahu aku duduk sebangku dengan Alin. Walaupun begitu, Rio sahabatku itu tidak pernah ingin menitipkan salam rindunya kepada Alin. Harusnya ini jadi momen yang pas bukan?. Begitulah Rio terlalu pengecut hanya untuk sekedar mengungkapkan rasa. Menurutku Rio adalah laki-laki langka di zaman sekarang. Even, sejak dia menyukai Alin dia tidak pernah berpindah hati, sekalipun Rio hanya bisa memandang Alin dari kejauhan. Sebenarnya, banyak sekali cewek-cewek di sekolah ini yang mengejar-ngejar Rio mulai dari adik tingkat,teman seangkatan,kakak tingkat, bahkan alumni. Wajar saja, Rio adalah lelaki humoris yang banyak bicara. Mungkin perempuan yang mengagguminya terperagkap oleh kebaikan Rio kepada mereka. Dan lagi kata orang-orang lelaki humoris memiliki nilai lebih daripada lelaki romantis.
Mari ku ceritakan sedikit tentang Deepa Alindra Jaya. Alin adalah gadis yang sangat lemah lembut dan ‘teduh’. Dia baik kepada semua orang, berbeda tentunya dengan aku yang sudah ber-image preman di sekolah ini. Ia berwawasan luas, smart, dan humble. Wajar saja jika Rio tak bisa kelain hati, karena kriteria perempuan idaman dalam hidupnya semua sudah tersedia pada Alin. Wajah Alin agak oriental, matanya sipit kulitnya putih bersih dan senyumnya sangat manis.
Sering sekali terbesit niat nakal untuk berbicara kepada Alin “Alin! Kau tahu tidak sebenarnya Alterio Savian Athaya mencitaimu dengan sangat tauuukk” hahaha tetapi itu tidak mungkin. Aku tak mau mati dijadikan umpan anjing bulldog milik Rio. Aku berharap suatu saat Rio berani mengutarakan perasaannya kepada Alin atau Alin mengetahui begitu saja perasaan Rio sebenarnya entah itu darimana jalannya.
Setelah habis memutar dua lagu, akhirnya Pak Ali datang. Tetapi dia tidak membawa buku sebuah pun. Celaka! Ini kabar buruk bagi kami. “Anak-anak masukan segala jenis buku yang ada diatas meja ke dalam tas masing-masing dan letakkan di depan kelas sekarang, hari ini kalian ulangan harian Bab 1” DHUAR!!! Bagai petir disiang bolong suara itu memecah keributan kelas. Kami hanya bertatap-tatapan, pasrah pada keadaan.
“Permisi Pak” aku mengacungkan tangan. “Iya nak ada apa?” jawab Pak Ali. “Bukankan materi kita belum selesai ya pak? Kemarin masih ada satu bahasan sub bab lagi pak” akal bulus ku mulai mencuat kepermukaan. Teman-teman hanya berani cekakak-cekikik dibelakang melihat kelakuanku. ”Loh bukannya sudah habis ya?” Pak Ali mulai goyah. “Belum loh pak nih catatan saya belum sampai sub bab terakhir pak”. “Coba kamu maju dan bawa catatanmu” aku maju dan membawa catatanku yang memang bolong-bolong itu hehehe.
“Oh iya benar, coba yang lain bagaimana?” Pak Ali melemparkan pertanyaan pada teman-teman kelasku.
“Iya tuh pak, masih ada satu bab lagi” “benar pak benar” dan kelas menjadi riuh.
“Yasudah kita tidak jadi ulangan ya, sebentar bapak kembali ke kantor untuk mengambil buku” Akhirnya Pak Ali berjalan keluar kelas dan menuju kantor. Kelas pun bersorak-sorai karena selamat dari mimpi buruk hari ini. Kelemahan dari Pak Ali adalah dia jarang mencatat agenda pengajaran kelas, jadi dia selalu lupa sub bab mana yang terakhir ia ajarkan. Ini tentu kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.
“Wah Din bisa-bisanya kamu berpikiran seperti tadi, sedangkan aku sudah panik memikirkan nasib nilaiku yang tidak belajar semalam” ucap Alin sambil tertawa-tawa karena masih girang.
“Kau hanya perlu jam terbang tinggi untuk melakukan hal tadi, Alin. Tetapi, tidak usahlah kau begitu cukup aku saja hahaha” Alin hanya menggeleng heran.
Sekarang sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB, kami bersiap-siap kembali ke rumah. Sekolah kami memang tidak menerapkan sistem Full Day School. Jadi pulang lebih cepat daripada sekolah-sekolah lainnya. Setiap pulang sekolah biasanya aku selalu menaruh sebagian buku ku di dalam loker sekolah, sebenarnya ini dilarang pihak sekolah karena dikhawatirkan siswanya tidak belajar dirumah hahaha. Setiap aku membuka loker setidaknya ada 2 atau 3 surat cinta berisikan puisi-puisi dari laki-laki kesepian di luar sana. Aku jarang membuka surat-surat itu, karena aku tahu isinya sama saja. Mereka itu seperti tak punya ponsel saja, seperti hidup di tahun 80’an. Tiba-tiba…
“Dinda, kenapa surat dariku selalu kau acuhkah?” Suara itu mengejutkanku.