Aku tiba di kelas Rio sambil terengah-engah, ia terlihat sedang berbincang-bincang dengan teman kelasnya. “HOY RIO! SINI KAU SEBENTAR!” aku memanggil Rio tetapi yang menoleh hampir satu kelas. Sadar akan kehadiranku ia memberhentikan obrolan asyiknya dengan teman-teman. Lalu segera ia menghampiriku dengan berlari kecil. “Ada apa?” ucap Rio. “Tebak aku punya berita bagus!” sambarku langsung, “Apa? Kau jadian dengan Theodore Vandyke? Hahaha”. “Hei jaga mulut kau itu, ini tangan bisa meluncur kapan saja ke bibirmu” dengusku kesal.
“Ya lalu apa Dinda? Sampai kau ngos-ngosan seperti itu “
Ternyata Alin…” aku baru saja membuka mulut.
“Kenapa Alin?” tetapi dia sudah memotong pembicaraanku.
“Seperti gunting saja kau ini, aku belum selesai berbicara sudah kau potong.”
“Hehehe maaf deh, bahasa jepangnya itu exited gitu Din…”
“Bahasa jerman itu, Rio.”
“Yang benar saja kau ini Dinda, sudah 2 SMA belum pintar juga. Itu bahasa inggris.”
Bisa kalian nilai sendiri Rio itu seperti apa. Memang seperti itu otaknya mungkin kurang setengah kilo. Aku sudah hampir gila berteman dengan dia dari SD hingga sekarang. Dari dulu tidak pernah berubah. “Terserah kau sajalah Rio, ingin dengar tentang Alin tidak?” sambungku lagi “Ingin Dinda, ayo ceritakan tentang Deepa Alindra Jaya” Rio mulai bersemangat.
“Ternyata Alin menyukai lelaki yang sifatnya seperti kau, mungkin ini bisa menjadi penunjang jika kau ingin mendekati Alin. Karena kau telah memenuhi kriterianya” aku mulai menjelaskan kepada Rio.
“Yang benar Dinda? Memang lelaki yang Alin suka rupanya seperti apa? Rio mulai penasaran permirsaahh.
“Dia suka lelaki, jika sedang suka dengan perempuan ia tidak menampakkannya, ya seperti kau ini diam-diam semua. Suka diam-diam, curi-curi pandang, tak ada nyali hahaha. ”
“Sempat-sempatnya kau mengatai aku, asal kau tahu aku hanya menunggu waktu waktu yang tepat” Rio mulai membela diri. “Kalau begitu ini waktunya yang tepat! Jangan tunda lagi Rio, ayolah setidaknya kau berani menyapa Alin sekalii saja” aku mencoba membujuk temanku yang pengecut ini. “. “Belum lah Dinda, sabar sebentar” “Kau memang payah” lalu aku kembali ke kelas karena bel sudah berbunyi 3 kali.
Pelajaran pertama pagi ini adalah matematika. Pelajaran yang paling aku benci seumur hidupku. Dari SMP hingga SMA mereka hanya mencari-cari nilai x , x, dan x. Biasanya setiap pelajaran ini, aku selalu membawa novel dari rumah untuk aku baca sepanjang pelajaran finding x. Ibu guruku ini jika berbicara halus sekali, seperti sedang bernyanyi pengantar lagu tidur.
Tetapi kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan kantuk. Aku mulai mencari posisi untuk meletakkan kepala diatas tumpukan buku. Lalu, mengambil buku paket matematika sebagai benteng pelindung tidur di pagi hari. Samar-samar suara Ibu Linda tidak terdengar lagi ditelinga.
“Dinda! Ibu Linda datang!” suara itu mengejutkan ku, sontak aku terbangun dari tidur yang lelap. Ternyata benar saja, guru matematika itu datang menghampiriku yang masih setengah sadar.
“Dinda, bisa kamu ulangi apa yang sudah ibu jelaskan tadi?” Ibu Linda sepertinya tahu bahwa daritadi aku hanya tidur saja hehehe. Dengan santai aku menjawab, “maaf bu, Dinda ketiduran” alhasil aku hanya bisa cengar-cengir nggak jelas. “Sekarang juga kamu keluar . Bawa buku kamu, kerjakan tugas halaman 105 nomor 1 sampai nomor 4 sekarang!” nada bicaranya mulai tinggi bung. “Baik bu, saya keluar sekarang” seorang Adinda Anandari disuruh keluar kelas? dengan senang hati lah hahaha.
Akhirnya aku keluar membawa seperangkat buku matematika ini, ceilahh gimana mau ngerjain mengerti saja tidak. Ah yasudahlah, semoga saja ada bala bantuan turun dari langit atau darimana pun itu. Aku berjalan menuju tempat bersantai dibawah pohon, disana ada kursi dan meja yang biasanya dijadikan anak-anak tempat nongkrong menghabiskan waktu istirahat. Sekarang posisinya memang lagi sepi, karena lagi jam belajar-mengajar. Di lapangan ramai siswa-siswi yang sedang jam pelajaran olahraga. Aku hanya melongo melihat soal-soal matematika yang tidak aku mengerti sama sekali.
“Halo Dinda!” aku mengenal suara itu. “Ya?” tanpa menolah kearah suara. “Kok diluar?” dia melanjutkan pembicaraannya. “bosen aja di kelas” jawabku.
“Jangan bohong kau Dinda hahaha, kau pasti di keluarkan iyakaan?.”
“Kalau iya kenapa?” jawabku ketus. Lalu ia melirik kearah meja, melihat buku-buku berserakan.
“Sini biar babang Theo bantuin, gimana? Seakan dia paham masalah yang sedang aku hadapi. “Babang crocodile!” dengusku. “Kok babang crocodile sih. Kan selama ini aku setia ngejar-ngejar kau Din hehehe” ia mulai cengar-cengir. “Coba aja kalau bisa” tantangku kepada Theodore Vandyke, karena tak mungkin lah jenis lelaki seperti dia bisa mengerjakan soal semacam itu.
“Oke, tapi kalau aku bisa mengerjakan soal-soal ini dengan benar semua. Kau harus bersedia aku jemput malam minggu, jam 7 on time. Lalu kita makan berdua di cafe dekat rumahmu, gimana deal?” tak disangka-sangka ia mengajak ku untuk bertaruh.
“Deal!” bodohnya aku refleks menyetujuinya.
“Baiklah, mana pulpen kau biar aku kerjakan” lalu aku memberinya sebuah pulpen yang aku ambil dari dalam saku, maklum saja Adinda mana punya kotak pensil.
Jika aku lihat dari cara yang ia mengerjakan, sepertinya ia paham betul dengan soal ini. Hatiku semakin dag-dig-dug-serrrr tidak karuan. Matilah aku jika harus ngedate dengan kak Theo malam minggu ini. Ia serius sekali mengerjakan soal-soal finding x itu. Aku yang hanya sebagai penonton, pusing tujuh keliling dibuatnya. Berselang sekitar 30 menit ia selesai mengerjakan 4 soal yang ditugaskan oleh Bu Linda. Lalu ia menyerahkan tugas itu kepadaku untuk aku salin ke buku tugas.
“Udah selesai kak? Tanyaku pura-pura bego saja hahaha.
“Udah dong. Ingat ya kalo bener semua, kau harus makan bersama ku. ”
“Tenang, aku bukan tipe perempuan tidak menepati janji”
“Baguslah kalau begitu, btw kenapa kau bisa dikeluarkan dari pelajaran?”
“Aku tertidur di kelas, kakak sendiri kenapa tidak olahraga sedangkan yang lain berkumpul di tengah lapangan”
“Karena aku ingin menemanimu disini, putri tidurrrr” jawabnya dengan santai.
“Sembarangan, aku tidak sengaja tertidur”
“Aku tidak membawa sepatu olahraga, makanya tidak diperkenankan mengikuti pelajaran”
Entah kenapa hari itu tidak seperti biasanya, for the first time aku berbincang banyak dengan kak Theo. Aku akui dia lumaya asik, mungkin karena itu banyak perempuan dengan mudah masuk perangkapnya. Tidak terasa, bel jam pergantian pelajaran berbunyi. Aku pun kembali ke kelas, begitu pula dengan kak Theo. Aku akan mengumpulkan tugas ini, pada waktu jam istirahat.
“Aku ke kelas dulu ya kak, duluan” pamitku.
“Baiklah, hati-hati” jawabnya sambil tersenyum.