Chapter 2
Terimakasih Arkan
“Keadaannya memburuk dengan cepat. Mama sama Papa mana sih?!” Umpat Vero, selaku dokter pribadi keluarga Arkan dan Nazla. Arkan berkutik dengan ponselnya, berusaha menghubungi Tante Dera dan Om Andra. Tak lama, dia mendesah keras keras, membuat Vero seketika mengambil ponsel Arkan secepat kilat.
Hanya segaris kalimat yang tertera disana, tapi cukup membuat Vero mendelik kesal. Nyaris saja dibantingnya ponsel pintar keluaran terbaru yang harganya bisa menyentuh 20 juta itu.
Mama: Ar, Mama sama Papa baru turun pesawat, lagi di Singapore.
Arkan merebut kembali ponselnya dan langsung menelpon Om Andra.
“Halo Ar? Kamu spam telfon ngapain sih?! Papa sama Mama di Singapore, ada urusan. Nazla sama...”
“Nazla kambuh. Sekarang Arkan lagi di rumah sakit biasa. Kondisi Nazla memburuk.” Potong Arkan tanpa pikir panjang. Tidak memedulikan bahwa lawan bicaranya disebrang sana berusia nyaris 30 tahun lebih tua darinya.
“Apa?! Kok bisa?! Papa balik indo sekarang!”
“Nggak usah Pa, biar Bunda sama Ayah aja yang kesini. Papa sama Mama lanjutin aja urusan kalian disana, nggak usah khawatir. Nazla biar Arkan yang urus. Udah ya Pa, Arkan mau telpon ayah dulu. Dah Pa!”
Arkan menutup sambungan telpon secara sepihak. Ia kembali berkutat dengan ponselnya dan menghubungi nomor ayahnya.
“Arkan kamu ngapain nelpon jam segini?! Kamu bolos?!”
“Ck, Ayah fitnah. Nazla kambuh, Papa sama Mama lagi di Singapore. Cepetan kesini, Arkan sama Nazla di rumah sakit biasa. Bang Vero bilang keadaannya memburuk.”
“Ayah otw.”
Sambungan telpon dimatikan. Vero dan Arkan pun saling bertatap. Keduanya menghembuskan nafas berat nyaris di detik yang sama. Tak lama, Gilang dan Ratih—Ayah dan Bunda Arkan—datang dengan terengah. Vero pun mempersilakan keduanya duduk sejenak sebelum akhirnya menjelaskan keadaan Nazla.
“Arkan, ini sebenernya kenapa sih?! Kok Nazla bisa sampe kambuh segala?!” Tanya Gilang kepada Arkan. Akan tetapi, yang diajak bicara sudah tak nampak batang hidungnya.
“Loh? Arkan kemana??” Sahut Ratih bingung.
-----
Akan menyusuri lorong sekolah dengan sedikit tergesa. Dibukanya pintu kelas 11 MIPA 1. Suasana kelas masih tampak canggung dengan guru Bahasa Indonesia yang sedang mengajar di dalamnya.
“Arkan? Kamu kok baru...”
“Keluar!” ucapan sang guru terpotong begitu saja. Tak ada nada bersahabat didalamnya. terdengar sangat dingin, tanpa bantahan. Sejenak, Pak Angga—selaku guru bahasa indonesia—terpaku atas bentakan sang murid.
Belum sempat membuka suaranya, Arkan kembali berujar. “Selagi saya masih punya kesabaran dan saya masih berlaku sopan kepada anda, keluar sekarang!!”
Pak Angga dengan segera, merapihkan barang barangnya dan keluar kelas. Arkan menutup pintu dan berdiri dibalik meja guru. Kedua tanggannya menumpu pada meja guru itu sendiri. Semua orang menoleh ke arah lain, seakan wajah tampan yang terpampang di depan kelas mereka tidak menarik Sama sekali. Oh, tentu tidak, Arkan lebih baik tidak dipandang saat mode marah. Tapi kalau kalian penasaran dan ingin mencoba, maka silakan. Maka matilah kalian saat melihat tatapan tajam tak bersahabatnya itu.
“Oke, pertama-tama, let’s clarify this. Siapa yang punya ide buat nyetel musik?”
Semuanya terdiam. Hingga salah satu siswa menyahut, “Nggak ada yang kasih ide. Semuanya sepakat. Semuanya salah. Kita minta maaf.”
Tak lama, beberapa suara pun mulai terdengar, menyetujui apa yang dikatakan teman sekelasnya tersebut. “Kita semua ngaku kalo kita salah Ar. Kita tau kalo itu nggak boleh dilakuin, tapi kita tetep nglakuin itu.”
Arkan tersenyum. Bukan tipe senyum bersahabat, tapi tidak sampai ke smirk jahat. Dalam hati, ia berdecak kagum atas kelakuan teman sekelasnya yang sangat solid tersebut. Tak sia sia ia menjadi ketua kelas mereka selama ini.
“Gue seneng kalian ngaku. Kita semua udah sepakat semenjak kelas 10, apa aja hal hal yang nggak boleh dilakuin, apa aja hal hal yang mengganggu, si A takut ini, si B gini, semua udah saling tau satu sama lain. Kita semua keluarga, gue seneng kalian masih menjunjung tinggi itu.”
Teman sekelasnya menoreh senyum. Mereka tau bahwa kalau mereka salah, ya tinggal ngaku, nggak usah saling nyalahin satu sama lain. Mau dihukum pun terima saja, sudah resiko. Suruh siapa berbuat salah? Great thanks to Arkan yang udah jadi ketua kelas yang bener satu setengah tahun belakangan dan mendidik mereka dengan baik. Yup, semua itu ulah Arkan yang mengajarkan mereka untuk selalu solid dan gentle. Berani salah, berani tanggung.
“Gue kasih kesempatan kalian satu kali lagi.” Ucap Arkan dengan mengangkat satu jari telunjuknya. “Kalian bilang ke gue siapa yang mulai ide ini dan kalian akan selamat, alias kalian nggak harus panas panasan jam segini keliling lapangan upacara duapuluh kali.”
“Atau kalian semua lari keliling lapangan duapuluh kali, tanpa berhenti.”
Radith mengacungkan lengannya, hendak mengakui bahwa ialah yang memulai semua ini. “Gue yang...”
“Ayo guys, berdiri, semuanya lari lapangan. Duapuluh kali doang, enteng itumah, kita pernah kok lari sekelas 30 kali. Kuyy cabut.” Potong Verga, selaku sie olahraga, sembari berdiri dari kusinya dan mulai melangkah keluar kelas. Satu, dua, lima, sepuluh, semua orang menyusul tanpa ada rasa terpaksa. Beberapa dari mereka justru meneriakkan kaya kata seperti: Kuy lahh, Cuss semangaaatt, Halah, kecil 20 doang mah, dan banyak lagi. Radith menyinggungkan senyumnya. Teman temannya rela lari keliling lapangan yang panas, dua puluh kali, hanya agar ia tak dihukum sendirian. Kelas ini benar benar kelas idaman terbaik yang bisa kau dapatkan, batin Radith.
Arkan tersenyum senang melihat kelasnya yang kosong. Ia menolehkan kepala ke sebelah kanannya, dimana 34 orang sedang berlari sambil sesekali melempar tawa. Entah apa yang sedang dibercandakan. Memorinya berkelana jauh ke masa lalu. Saat dimana ia dan 35 murid lain lari keliling lapangan karna menentang kakak kelas yang menurut mereka salah. Awal dimulainya sebuah keluarga harmonis bernama 11 MIPA 1.
-----
“NGGAK! Apa-apaan ini?! Atas dasar apa dia dihukum lari keliling lapangan sepuluh kali di jam sebelas siang?!” Arkan menunjuk Radith yang tampak menundukkan kepalanya. Semua murid terkesima. Seorang siswa orientasi yang bahkan belum empat hari menginnjakkan kakinya disekolah ini dengan berani melawan kakak kelas yang berada dua tingkat diatasnya.
Arkan tidak peduli kalau dia akan ditegur kepala sekolah, atau menjalani hukuman, atau yang lebih parah lagi, harus skorsing karna berlaku tidak sopan pada osis yang kala itu bertugas. Bagaimana tidak, teman satu kelompoknya, Radith, tanpa melakukan kesalahan apapun, disuruh maju kedepan dan lari lapangan sepuluh putaran. Radit pun dengan segenap keberanian yang tersisa, mencoba melawan. Namun, kata skorsing yang muncul dari mulut kakak osisnya sedikit banyak menakutinya.
Sampai seorang Arkan Tanara Pratama maju tanpa rasa takut dan menentang osis itu habis habisan. Osis itu memandang Arkan dengan senyum miringnya. “Oh! Berlagak pahlawan ya? Ck, gausah sok sokan. Kembali ke tempat kamu sebelum saya menghukum kamu juga!” Bentaknya. Arkan tidak mau kalah. Ia menyinggungkan senyum sinisnya.
“Silakan! Anda pikir saya takut?! Cuihh, jangan bercanda! Gak ada orang yang nggak bersalah yang bisa dihukum seenaknya?! Anda pikir anda siapa dia?! Orangtua dia?! Tuhan dia?! Bukan kan?! Osis aja kok belagu?!”
Sahutan dari kelompok satu pun terdengar. Kelompok satu beranggotakan 36 murid termasuk Arkan dan Radith. Semuanya menyetujui. Arkan pun mengulas senyum kemenangannya. “Saya tidak pernah takut dihukum jika saya salah. Tapi jika saya tidak salah, bersujud sampai dimaafkan pun saya tidak sudi!” Lanjut Arkan lagi.
Kakak osis tersebut pun mengangkat suaranya. “Kalau begitu kenapa kamu nggak lari tigapuluh kali buat ngegantiin dia?! Kamu mau ngebela dia kan? Sepuluh putaran untuk hukuman dia dan duapuluh atas bentakan kamu pada osis yang notabennya dua tingkat diatas kamu. Dan siapapun yang mau membela dia, bisa ikut lari bersamanya.”
Ia merasa menang. Tapi bukan Arkan namanya kalau berhenti ditengah jalan. Dilemparnya topi dan dasi yang baru ia lepas dan dibantingya ke tanah. Arkan menunjukkan wajah menantangnya. “Baik, tigapuluh kali kan? Saya harap anda menyaksikan saya disini dan tidak berteduh di cuaca terik ini.” Sahutnya meledek dan mulai berlari mengitari lapangan.
Radith yang merasa tak terima dengan ucapan-ucapan kakak osisnya itupun mulai bergabung dengan Arkan dan berlari disisinya. Tak lama, semua anggota kelompok satu pun ikut berlari, membuat nyaris semua murid orientasi dan osis yang bertugas menganga lebar.
Mereka tak tampak terbebani. Justru, mereka sesekali melemparkan canda tawa dan akhirnya tertawa bersama. Tanpa disadari, seorang anggota mereka sudah kabur ke kantin dan membeli dua buah mineral. Sekembalinya ia ke lapangan, ia meneruskan lari dan mulai mengoper minuman. Nazla, selaku donatur, memimunya pertama dan kemudian mengopernya pada teman disebelah kirinya. Sedangkan mineral yang satunya ia lempar ke arah depan yang—dengan ajaibnya—ditangkap oleh Arkan.
“Woyy, minumnya gausah banyak banyak! Banyak yang belum kebagian!”
“Oper sini, oper sini, gue belom!”
“Elahh, Nazlaa, belinya kenapa Cuma dua dahh??”
“Uang gue di rok adanya segitu njir, lo kalo protes gausah minum!”
“Udah semua minum belom?? Gue abisin yee?”
“Eh, gue lupa ngitung anjir, ini udah berapa kali?”
“14 woyy, ini yang ke 15!!”
“Lanjuuutt!! Semangat kawann!!”
Begitulah akhirnya. Mereka merengek pada kepala sekolah agar dijadikan satu kelas selama tiga tahun dan akhirnya kepala sekolah pun—dengan terpaksa—menyetujui. Arkan tersenyum. Teman temannya tidak berubah. Dan ia senang oleh fakta yang baru disadarinya itu.
Arkan melangkahkan kakinya ke kantin sekolah dan membeli dua buah mineral. Sekedar menguji, reaksi apa yang akan diberikan teman sekelasnya. Ia berjalan menyusuri lorong menuju lapangan. Saat teman temannya hampir melewatinya, ia melempar sebuah mineral kepada Radith dan yang lainnya kepada Verga. Dan dengan hal kecil semacam itu, mereka serempak tertawa.
“Arkan bego! Lo napa cuman beli dua njir?! Udah tau penduduk kelas ada 34!” pekik salah seorang siswi yang masih berlari setelah menegak sedikit minuman yang barusan diberikan Arkan dan mengopernya pada yang lain.
Arkan terkekeh pelan. “Halah, waktu itu kan mineral dua cukup buat 36, masa sekarang gacukup sih?” balasnya menggoda teman sekelasnya. Siswi lainnya mendegus kesal dan membalas. “Itukan gara-gara si Nazla uangnya emang Cuma segitu di kantong!”
“Gue juga di kantong adanya segitu.” Balas Arkan tak mau kalah. Semuanya bersorak, bohong tuh, Arkan bohong, dompet tebel gitu, dan masih banyak umpatan lain yang keluar. Arkan hanya terkekeh. Ia tidak meneduh dibawah phohon atau gedung, ia hanya berdiri ditengah lapangan. Baginya, tidak adil kalau ia juga tak ikut kepanasan, jadi, disinilah dia.
Dua puluh putaran telah selesai. Tigapuluh empat murid pun terkapar di pinggir lapangan. Tak ada yang marah atau kesal, semuanya menikmati lari siang mereka. Arkan pun menghampiri mereka. “Makan sono di kantin, bilang aja, nanti Arkan yang bayar. Gue balik rumah sakit dulu. Lo abis ini jan pada mabal, kalo mau jenguk Nazla, pas balik aja. Oke?”
“Yess!! Ginimah gue rela dah lari lapangan tiap hari!” sahut salah seorang siswa. Semuanya terkekeh. Beberapa mulai menyahuti. Detik berikutnya, mereka bangkit dan mulai melenggang menuju kantin dengan semangat.
“Titip salam buat Nazla yaa, sori gitu.” Ujar seorang siswi sambil berlari menuju kantin, diikuti oleh sahutan teman temannya yang mengatakan hal serupa. Arkan menggeleng pelan kemudian mulai berjalan menuju parkiran.
-----
Arkan dengan santai berjalan menuju kamar rawat Nazla. Tidak perlu repot bertanya dimana kepada resepsionis. Arkan sudah hafal diluar kepala. Nazla pasti akan dirawat di kamar 608. Semenjak Nazla punya traumatik tinggi terhadap musik, dan Nazla sendiri sangat sering kambuh, jadi kamar rawat Nazla disiapkan dengan khusus. Begitu juga dengan Vero. Dokter tampan satu itulah yang secara khusus menangani Nazla.
Meskipun Vero adalah orang asing, Nazla dan Arkan sekeluarga sudah menganggapnya keluarga. Tak heran, nyaris di setiap foto keluarga atau foto liburan, Vero pasti muncul. Vero sendiri tak keberatan. Ia malah senang; akhirnya ia tau rasanya memiliki keluarga.
Hidup dan tumbuh besar sebagai seorang yatim piatu, Vero sangat bersyukur saat ditemukan oleh Gilang dan Andra. Mereka memberikan Vero tempat tinggal, makan, bahkan pendidikan, lengkap sampai Sarjana 2 Psikologi.
Meski secara huhum mereka tidak pernah mengangkat Vero sebagai anak mereka, Vero tak masalah. Baginya, semua ini sudah jauh lebih dari cukup. Dulu, jangankan terbayang, mimpi bisa se-beruntung ini saja, Vero tak berani.
Kembali ke Arkan yang sedang menyusuri lorong dengan headphone abu-abunya, ia berpikir bahwa Nazla belum sadar. Toh, ia sudah sangat rindu dengan melodi melodi yang bermain dengan kata. Semenjak Nazla menderita traumatik terhadap musik, Arkan nyaris tidak punya waktu untuk sekedar melirik lagu pop keluaran baru oleh artis kesayangannya, atau sekedar mendengar instrumental klasik yang membuatnya tenang.
Hanya demi Nazla-nya.
Arkan melirik kaca kecil yang terpampang di pintu kamar rawat Nazla. Sahabatnya itu sudah siuman dan sedang berbincang dengan Vero. Dengan segera, Arkan memundurkan langkahnya dan menaruh headsetnya di tas. Akan sangat gawat jika Nazla yang baru siuman melihatnya mengenakan itu.
Setelah dirasa cukup, ia pun masuk. Nazla yang melihatnya pun cemberut lucu. Menggemaskan, batin Arkan. Vero pun pamit keluar setelah sebelumnya protes keras pada Arkan karna harus menemani Nazla, dikarenakan bocah satu itu tidak mau sendirian; ia tak suka sendirian.
“Arkan, Nazla ngerepotin Arkan lagi ya?” Nazla membuka suaranya pelan. Kepalanya tertunduk merasa bersalah. Arkan pun mengelus surai hitam itu dengan lembut. “Kamu ngomong apasih? Kok ngelantur? Mana ada kamu ngerepotin, jangan mikir aneh aneh ah,” jawab Arkan.
Nazla menangis sesenggukan. “Arkan bohong. Selama ini Arkan nggak pernar bebas dengerin musik lagi. Arkan selalu dengerin musik diem diem biar Nazla nggak tau. Padahal Arkan nggak bisa hidup tanpa musik.”
Arkan bertanya tanya, darimana Nazla bisa mendapat pikiran semacam itu. Diliriknya kabel yang keluar dari tasnya. Shit! Arkan bego! Gimana dia ngga mikir aneh aneh coba?!, batin Arkan. Otaknya bekerja dua kali lebih cepat agar bisa menemukan alasan. Semakin lama, tangisan Nazla semakin kuat, membuat Arkan mendesah frustasi.
“Nazlaa, dengerin Arkan ya?” Ujar Arkan sembari mengangkat wajah Nazla dengan sebelah tangannya. “Musik dan Nazla, dua duanya sama sama penting di hidup Arkan. Meskipun kalian nggak bisa disatuin, bukan berarti Arkan harus ngelepas salah satu dari kalian. Arkan bisa kok, membagi kedua dunia Arkan dengan baik, jadi Nazla nggak perlu khawatir dengan itu lagi. Paham?”
Nazla menatap manik hazel Arkan, mencoba mencari keraguan didalam sana. Tapi nihil, Arkan kelewat serius dengan kata-katanya. Nazla tersenyum. Tangisnya mereda dan akhirnya berhenti. Namun, itu tak lama.
“Arkan darimana aja sih?! Nazla bangun nggak ada orang, kan Nazla takut!” ocehnya seperti anak kecil. Bibirnya kembali cemberut dengan tangan terlipat di depan dada. Arkan menggaruk tengkuknya pelan, waduh, mode bocahnya kambuh lagi. Gue nggak bawa cokelat apa-apa lagi.
Nazla paling suka yang namanya cokelat. Se-ngambek apapun, dikasih cokelat pasti langsung meleleh deh. Makanya Arkan selalu nyetok cokelat. Di rumah, di kamarnya, di kamar Nazla, di mobil, bahkan di tas nya.
Sementara Arkan sibuk dengan pikirannya, Nazla kembali membuka suaranya. “Arkan, Nazla boleh nanya nggak?” Arkan berdehem meng-iya-kan. “Headphone abu-abu itu,” Nazla menggantungkan ucapannya.
“Kok masih Arkan pake?” Lanjutnya lagi.
Arkan tersenyum. Ia sudah menduga kalau suatu saat, pertanyaan ini akan keluar. Ia duduk disamping ranjang Nazla dan meraih pergelangan tangannya. “Arkan tau, suatu saat Nazla bakal nanya gitu.” Sahutnya sambil mengelus tangan Nazla.
“Meskipun banyak headphone yang lebih bagus, lebih canggih, Arkan paling suka sama headphone ini. Nazla tau nggak kenapa?” lanjut Arkan kemudian menatap Nazla. Nazla tampak berpikir sebelum akhirnya menjawab dengan ragu. “Karna itu punya Abang?”
Arkan kembali mengulas senyumnya. “Lebih tepatnya, karna ini adalah kado terakhir Abang untuk Arkan.” Nazla mengangguk-angguk.
“Daridulu, Arkan kepingin punya headphone abu-abu kayak punya Abang, tapi nggak nemu. Eh, pada akhirnya headphonenya Abang malah untuk Arkan. Haha.” Arkan tertawa hambar. “Headphone ini udah kuno banget. Bahkan masih ada kabelnya, diluar sana, banyak yang udak pake bluetooth. Tapi Arkan tetep masih paling suka yang ini.”
“Kadang, setiap Arkan ngedengerin lagu pake ini, bakalan ada suaranya Abang yang tiba tiba kedengeran. Serem ya?” Nazla tersenyum pahit. Arkan melanjutkan omongannya. “Tapi karna itu Arkan jadi seneng. Jadi Arkan nggak akan pernah lupain suaranya Abang.”
Arkan memeluk Nazla yang sudah terisak. Meski dirinya sendiri sudah meneteskan air mata, Arkan tidak peduli. Mereka berdua sama; merindukan seseorang yang tak akan pernah bisa ditemui secara nyata lagi.
“Selain ngasih kado, Abang juga nitipin sesuatu ke Arkan.” Ujarnya sembari menaruh dagu di puncak kepala Nazla. Nazla terdiam, membuat Arkan melanjutkan perkatannya. “Abang nitipin Nazla ke Arkan.”
“Jadi nggak peduli apapun yang akan terjadi di masa depan, Arkan bakal selalu ada disisi Nazla. Bukan hanya karna Nazla adalah sahabat Arkan, adik Arkan, tapi karna Nazla adalah titipan terakhir Abang yang harus Arkan jaga baik baik.”
“Suatu saat nanti, Arkan bakal balikin Nazla ke Abang lagi. Tapi, sampe saat itu tiba, Arkan akan ngejaga Nazla baik-baik.” Arkan mensejajarkan wajahnya dan wajah Nazla, menangkupnya dengan kedua tangan dan mengusap lembut airmata yang turun dengan ibu jarinya.
“Bahkan jika nyawa Arkan sendiri taruhannya.”
Dengan segera, Nazla memeluk Arkan. Menangis dengan puas di dada bidang sang sahabat. Arkan mengelus kepala Nazla. Membiarkan air matanya jatuh semakin banyak. Ketiga orang dewasa yang menyaksikan dari balik pintu pun hanya bisa tersenyum.
“Terimakasih Arkan.”