Chapter 1
Turn That Thing Off!!
“Astaga Nazlaaa!! Lo jam segini masih molor?? Bangun woyy!!”
Sebuah teriakan seorang lelaki yang baru saja memasuki kamar gadis yang dipanggilnya Nazla itu terdengar menggelegar seantero rumah. Sang empu kamar pun menggeram tidak jelas sebelum akhirnya mulai membuka matanya dan menyesuaikan cahaya yang masuk.
“Arkan? Kamu ngapain disini? Masih pagi taukk,” ujarnya seraya bangkit dari kasur dan meregangkan tubuhnya yang kaku. Arkanpun memutar bola matanya malas sebelum akhirnya melempar mini weker yang ada diatas nakas. “Pagi, pagi, mimpimu pagi. Mandi, pake baju, siapin buku, limabelas menit. Lebih, gue tinggal.” Sahut Arkan sambil berjalan keluar dari kamar Nazla.
Nazla dengan setengah kesadarannya berusaha mencerna ucapan Arkan. Diliriknya weker yang tadi Arkan lempar padanya. “ARKAN BEGO KENAPA NGGAK NGOMONG UDAH SETENGAH TUJUH!!”
-----
Arkan dengan santainya menuruni tangga dan berjalan menuju dapur. Dilihatnya Tante Dera dan Om Andra—mama dan papa Nazla— sedang duduk manis di meja makan.
“Nazla udah bangun Ar?” tanya Om Andra. Arkan menarik kursi seraya duduk dan mencomot roti yang sudah dilapisi selai kacang oleh Tante Dera. “Udah Pa,” jawabnya.
“Arkan ih, main comot aja, itu buat papa, punyamu yang selai blueberry itu.” Tante Dera menggeplak tangan Arkan dengan sendok spatula yang sedang ia pegang. Arkan pun mendengus dan meletakkan kembali roti yang baru ia comot. “Aww! Iyaiya, mama bawel, persis si Nazla.”
Arkan POV
“Aww! Iyaiya, mama bawel, persis si Nazla.” Aku mengambil roti yang sudah dilapisi selai blueberry kesukaanku dan mulai menyantapnya. “Makasih lohh Ma, sarapannya, jadi ngerepotin.” Sahutku sambil menegak susu coklat yang sudah disiapkan Tante Dera.
Ahh, aku dan Nazla bukan saudara. Kami hanya sahabat sejak kecil. Aku juga sudar terlanjur dekat dengan kedua orangtuanya, jadi manggilnya Papa sama Mama. Kalau Nazla manggil orangtuaku dengan panggilan Bunda dan Ayah. Ya, kami memang sedekat itu. Sudah nggak aneh kalo aku tiba tiba nyelonong ke rumahnya lalu masuk kamarnya, atau tiba tiba ngubrak-abrik kulkasnya yang penuh cemilan iu.
“Ck, sok sokan sopan. Biasanya aja tinggal ambil di kulkas.”
Aku terkekeh pelan. Kulihat Nazla berlari menuruni tangga dengan seragamnyayang rapi dan rambut yang acak acakan. Papa dan Mama hanya geleng geleng kepala melihat anak gadisnya yang urakan itu.
“Arkaaann! Ayo cepetaann! Ini udah telat tauu!” pekiknya sambil meminum susu yang ada disamping Papa. Tanpa tengok lagi, dia langsung ngacir keluar dan memakai sepatunya.
“Nazlaa!! Yaampun, itu susu kacang sayang!! Alergi kamu nanti kambuh lagi!!” teriak Mama yang sudah kupastikan tidak didengar si bebal satu itu. Aku mengambil hoodie yang kusampirkan di kursi dan segera bangkit.
“Mama tenang aja, nanti biar Arkan yang urus. Arkan berangkat ya Ma,” sahutku sambil mencium tangan Mama. Dengan berat hati, Mama mengangguk. Aku berlari pelan menyusul Nazla yang sudah ngomel nggak jelas didepan mobilku.
-----
Aku merogoh kotak P3K yang selalu kusiapkan di jok belakang mobilku. Kukeluarkan obat anti-alergi dan menyodorkannya pada Nazla. Dia menerimanya dengan bingung. Aku mengabaikannya dan mengambil mineral dibawah handle pintu.
“Minum cepet, keburu alergi lo kambuh.”
Ia menatapku dan obat itu bergantian. Kemudian menatapku seolah meminta penjelasan. Aku berdecak kesal. “Susu Papa yang tadi lo minum ada kacangnya, masa nggak kerasa sih?”
Dia menjawabku dengan gelengan polos. Selanjutnya, ia mulai membuka obatnya dan meinumnya dengan bantuan mineral. Kulihat dia bersandar di jok mobil dengan sedikit helaan nafas. Aku yang mengerti kalau kepalanya mulai pusing pun menurunkan joknya. Dia menatapku sayu sebelum akhirnya mengulas senyumnya. Aku merapikan rambutnya yang agak acak acakan.
“Tidur aja dulu, nanti kalo udah sampe sekolah aku bangunin.” Ujarku seraya mengecup dahinya. Dia mengangguk pelan kemudian mulai menutup matanya. Aku mengelus kepalanya perlahan untuk membantunya tertidur. Setelah dirasa sudah cukup lelap, aku memakaikan sabuk pengaman dan akhirnya mulai menyetir dengan kecepatan pelan menuju sekolah.
Kami memang biasa menggunakan gue-elo saat bercakap, namun ada saat saat tertentu dimana kami tiba-tiba menggunakan aku-kamu. Contohnya ya saat saat seperti tadi. Dan bagi kami, hal hal seperti berpelukan atau mencium kening adalah hal hal kecil yang sangat menenangkan, jadi kami biasa melakukannya pada satu sama lain. Dan aku menyukainya.
----
“Naz, bangun Naz,” ujarku sambil menepuk pelan pipinya. Dia melenguh sebentar kemudian mulai mengumpulkan kesadarannya. “Masih pusing nggak? Mau ke ruang kesehatan?” tanyaku sambil menempelkan dahiku pada dahinya, jaga jaga kalau dia demam.
“Masih agak pusing, tapi udah baikan. Aku mau masuk kelas aja.” Sahutnya parau. Karna dirasa dia nggak demam, akhirnya ku iyakan saja. Toh kalau kusuruh istirahat, dia bakal tetep ngeyel kok.
Author POV
Arkan keluar dari mobilnya dan membukakan pintu untuk Nazla. Belum sempat berucap apa apa, Arkan sudah berjongkok tepat di depan pintu penumpang. Nazla meraih tas Arkan dan tasnya lalu mulai naik ke punggung Arkan. Diulasnya senyum tipis saat merasakan hangatnya punggung sang sahabat.
“Punggung kamu hangat Ar, nyaman banget.” Bisik Nazla pada Arkan. Arkan tersenyum simpul. “Aku tau. Kamu selalu bilang gitu kalo aku gendong.” Balasnya. Nazla terkikik dibalik punggung Arkan. Tanpa saling tau, mereka mengenang masa lalu. Saat dimana keduanya berumur delapan tahun.
-----
“Arkan, gendong! Gendong!” rengek Nazla pada Arkan. Yang diminta hanya menggeleng ogah. “Nggak mau! Nazla berat, nanti Arkan capek.” Balasnya sengit. Ditinggalkannya Nazla sendirian di tepi pantai, sedangkan ia sendiri mulai berjalan ke rumah tepi pantai milik keluarganya. Ralat, keluarganya beserta keluarga Nazla. Yup, keluarga mereka membangun rumah bersama untuk tempat bermain si kecil.
Kembali ke tepi pantai tempat Nazla ditinggal, Nazla mulai menangis. Matanya berkaca kaca menandakan bahwa sebentar lagi akan mengeluarkan cairan bening. Memang sih, jarak antara tepi pantai dengan rumah itu cukup jauh. Jadi wajar bagi seorang gadis kecil seperti Nazla untuk merengek minta digendong.
Baru mau mulai menangis, dilihatnya sang sahabat tau-tau berjongkok di hadapannya. Dengan senyum lebar dan semangat empat-lima, Nazla pun naik ke punggung Arkan. “Arkan, Arkan, Nazla berat ya?” tanya Nazla dibalik punggung Arkan. Arkan menggeleng. “Nggak, Nazla nggak berat.” Sahutnya.
Nazla menyenderkan kepalanya pada punggung Arkan. Punggung sahabatnya itu sangat hangat, sungguh. Nazla betah bila disuruh berlama lama menyender disana. “Punggung kamu hangat Ar, nyaman banget.” Sahut Nazla lagi. Arkan menengokkan sedikit kepalanya kebelakang. “Oh ya? Punggung Arkan nyaman?” balasnya.
Nazla mengangguk dengan semangat. “Iya, nyaman banget! Pokoknya Arkan harus sering sering gendong Nazla nanti.” Arkan terkekeh mendengarnya. Detik selanjutnya, ia mengangguk. Nazla yang melihat itupun memekik senang.
“Janji ya?”
“Iya, janji.”
Arkan menggendong Nazla tanpa peduli tatapan dan ujaran yang dilontarkan oleh siswa siswa sekolahnya. Toh semua penghuni sekolah sudah tau tentang hubungannya dengan Nazla. Semua orang sudah termasuk guru, ob, bahkan kepala sekolah.
“Liat deh itu Arkan sama si Nazla, sweet banget ya?” sahut seorang siswi.
“Iya, sweet banget gila. Gue iri deh!” Balas siswi lainnya
“Mereka sampe sekarang belum jadian ya?”
“Katanya sih, belum. Berani taruhan bentar lagi.”
“Arkan ganteng parah, Nazla cantik minta ampun, cocok deh.”
“Dih, najis! Sok cantik banget dia, pake acara sender senderan di punggungnya Arkan lagi, hello, sadar diri sih kalo dia nggak cocok sama Arkan.”
“Duhh, gue doain cepet jadi deh kalian.”
Dan masih banyak lagi sahutan sahutan yang terdengar. Arkan dan Nazla menulikan telinga mereka. Masa bodo mereka ngomong apa, gue yang jalanin hidup, kok mereka yang repot? Heran deh., batin Arkan acuh.
Kelas 11 MIPA-1 sudah terlihat dari kejauhan. Begitu membuka pintu kelas, suara musik terdengar seantero kelas. Nazla yang mendengar itu, langsung turun, menutup kedua telinganya dengan rapat, dan berteriak histeris.
“MATIKAN!! PLEASE, PLEASE, TURN THAT THING OFF!!” Racaunya. Arkan dengan sigap merengkuh sosok yang sangat disayanginya itu. “Woy bego! Lo pada jangan diem aja!! Cepet matiin!!” Umpatnya pada teman sekelasnya. Radith, selaku wakil ketua kelas, bergerak cepat mencabut sumber listrik speaker tersebut. Dalam sekejap, kelas pun hening.
Yang terdengar hanyalah isakan Nazla yang terdengar pilu. Mulutnya masih meracau tidak jelas. Tubuhnya tampak bergetar dibalik pelukan Arkan. Bahkan tangannya meremat kuat seragam Arkan. Arkan sendiri masih setia dengan posisinya memeluk Nazla. Sebelah tangannya digunakan untuk merengkuh punggungnya dan sebelahnya lagi sibuk mengelus kepala Nazla yang bersandar papa dadanya. Sesekali, mulutnya menggumamkan kata kata penenang.
Beberapa menit berlalu, keheningan masih jelas terdengar. Tidak ada satupun yang bergerak atau bersuara. Bahkan sekedar menolehkan kepala saja enggan. Arkan sedikit menjauhkan tubuh Nazla darinya. Dilihatnya sahabat tersayangnya tersebut sudah tak sadarkan diri. Perlahan, disandarkannya tubuh sang sahabat pada dinding dibelakangnya.
Arkan bangkit dan membalikkan tubuhnya. Menatap tajam pada teman sekelasnya. Tak ada yang tahan pada tatapan maut itu, semua menundukkan kepalanya.
“Lo semua tau kalo dia punya trauma parah sama musik.” Tegasnya dengan nada dingin. Tak ada yang menyahut. Semuanya takut. Arkan mode marah hampir tak pernah keluar setahun terakhir. Dan memang lebih baik kalau tidak pernah keluar. Karna percayalah, tidak akan ada yang berani menghadapinya.
“Lo semua tau kalo dia denger musik, dia bakal kambuh kayak gini.” Imbuhnya.
Masih tetap hening.
“DAN LO SEMUA TAU SEBERAPA MARAHNYA GUE KALO ITU SAMPE TERJADI!!” bentaknya lagi.
Sungguh, menarik nafas pun rasanya sulit di saat Arkan sedang seperti ini.
“JAWAB GUE!! PUNYA MULUT KAN LO PADA?!”
Radith membuka suaranya. Pelan, tapi karna suasana kelas yang luar biasa sepi, suaranya terdengar jelas. “Kita kira kalian nggak masuk, jadi...”
“JADI LO PIKIR LO BISA SEENAKNYA MUTER MUSIK SEKENCENG GITU!?”
Arkan mencengkram kerah Radith dan menghempaskannya hinga terbentur dinding. “Radith, wakil ketua kelas gue yang tercinta, pernah nggak selama satu setengah tahun kita sekelas, gue absen tanpa ngabarin kalian dulu?” ujarnya tenang namun penuh penekanan. Radith menelan ludahnya gugup.
“Nggak pernah kan?” sambungnya lagi.
“Denger ya! Kelas ini punya aturannya sendiri! Dan tujuan aturan itu dibuat adalah mencegah hal kayak gini terjadi! Kalian ngerti kan?!”
“Disini posisi gue bukan sebagai ketua kelas kalian, tapi sebagai sahabatnya Nazla! Mikir nggak lo kalo sahabat yang lo kenal dari lahir kayak gitu!” sahutnya sambil menujuk Nazla yang masih tak sadarkan diri.
Tidak ada yang membuka suaranya. Semua orang tau bagaimana emosinya Arkan sekarang.
“Sampenya Nazla kenapa napa, gue bersumpah lo bakal ngerasain apa yang dia rasain tadi. Semuanya. Tanpa terkecuali.” Semua orang diam. Menerima kemarahan Arkan dengan pikiran berkecamuk. Apalagi ancamannya barusan. Matilah, batin Radith.
Dilepasnya hoodie maroon dan disampirkan pada Nazla. Dengan mudah, dia menggendong Nazla ala bridal style. Ia pun bergegas membawa Nazla ke rumah sakit langganan Nazla jika sedang kambuh seperti ini. Bahkan saat di mobil sekalipun, ia hanya menyetir dengan satu tangan, sedangkan sebelah tangannya digunakan untuk menggenggam erat jemari Nazla yang berkeringat.
Arkan menekan nomor 6 pada speed dial di ponselnya. Terdengar bunyi sambung sebelum suara sang dokter terdengar.
“Halo Ar, ada apa pagi pagi gini nelfon?”
“Aku ke rumah sakit sekarang. Nazla kambuh.”
“Kutunggu,”
Tuut... tuut... tuut..