41. Dijual?
41 // Dijual?
Angin sepoi-sepoi berhembus memasuki kamar Clara. Ara duduk bersila di depannya sambil menikmati teh yang disediakan Clara. Sebenarnya ada perasaan sedih dan kecewa. Ternyata selama ini Fabian menyukai Clara dan mereka sudah berpacaran. Ara menghela napas berat.
"Kenapa?" tanya Clara. Namun kabar baiknya, Ara dan Clara berhasil berbaikan. Clara juga menawarkan diri untuk membantu Ara.
Ara menggeleng. "Tidak ada apa-apa."
"Ngomong-ngomong aku senang sekali kita sudah berbaikan. Rasanya tidak menyenangkan duduk di barisan belakang. Mereka mengobrol dan membuatku tidak fokus," cerita Clara, "bagaimana denganmu?"
"Biasa saja," katanya singkat, "orang yang duduk di sebelahku sangat perhatian dan baik. Terkadang dia menyadarkanku dari lamunan."
Clara menyenggol badan Ara. "Tumben kamu bisa melamun. Siapa yang kamu pikirkan? Aku, kan." Dengan percaya dirinya, Clara duduk menyilangkan kakinya dan melipat tangannya di depan dada dengan kepala terangkat sedikit.
Ara menoyor kepala Clara. "Bukan itu."
Clara tertawa terbahak-bahak. Terdengar bunyi pintu dibuka. Karia muncul dari balik pintu dengan senyum sumringah.
"Hai, Ara," katanya sambil memeluk Ara. "Clara terlihat sedih beberapa hari ini. Sesuai desas desus yang kudengar dari mata-mataku, kalian bertengkar, kan?"
Kami menatap satu sama lain dan mengangguk bersamaan. Karia terkekeh.
"Lalu ada satu kabar lagi. Katanya Clara sudah pacaran. Pacaran sama siapa?" tanya Karia dengan senyum terukir di wajahnya. Dari balik pintu dapat terlihat Heri yang sedang menguping.
"Siapa yang pacaran." Clara melipat tangannya di depan dada sambil menunjukkan wajah tidak setuju.
"Jawab saja kakakmu yang cantik ini, Clara." Karia memohon pada Clara.
"Clara jadian sama Fabian," bongkarku. Aku tersenyum lebar melihat matanya yang kian membesar.
"Ara!"
"Clara sama Fabian?!" jerit Karia, "Heri, mana lima jutaku?!" Heri yang menguping di balik pintu kabur. Tidak disangkanya Clara akan bersama Fabian. Dikiranya akan bersama Ervin. Clara selalu menunjukkan wajah tak bersahabat di dekat Fabian. Karena itulah dia berani taruhan lima juta rupiah dengan adik perempuannya.
"Heri, mana uangku?!" Karia mengejar kakak laki-lakinya yang kebingungan. Clara dan Ara menatap kepergian kedua sosok kakak itu sambil terkikik geli.
????????????
Mata Ara mengerjap beberapa kali mencoba membiasakan diri. Di depannya ada sebuah proyeksi film yang selalu ingin ditontonnya.
"Hujan!" teriak dua orang anak sambil melompat-lompat kegirangan. "Main hujan, boleh?"
Layar demi layar berganti.
"Bella paling suka kalau hujan karena bisa main sama Kak Ara. Bella paling sayang kakak." Seorang anak bernama Bella mengutarakan perasaannya yang dia dapat saat bermain hujan-hujanan bersama kakak kembarnya, Ara.
"Janji?"
"Janji."
Ara menatap film di depannya sambil meringis memegangi kepalanya.
"Bella jangan nangis lagi, ya. Kakak nggak mau Bella nangis. Bella harus senyum," ujar Ara.
"Tapi kakak harus janji kalau besok sudah sembuh. Janji?" Bella mengangkat jari kelingkingnya.
"Janji." Ara membalas kelingking itu dengan kelingking miliknya yang masih pucat akibat sakit.
Rasa sakit apa ini? Kepala Ara serasa akan meledak.
"Tadi Bella kaget lihat kamu pingsan tiba-tiba. Lain kali jangan lakukan hal ini lagi, ya. Bella benar-benar takut." Mama menaruh handuk yang telah diberi air panas ke dahi Ara.
"Anak pintar." Mama mengacak rambut Ara pelan.
Ara benar-benar tersiksa. Proyeksi film di depannya mulai mengabur.
"Kak Ara tidak akan hilang. Kak Ara janji tidak akan membuat Bella takut lagi. Oke? Jangan menangis, Bella." Ara memeluknya.
Ara menjerit tertahan sambil memegangi kepalanya.
"Mama, mau es krim!" pinta seorang anak pada mamanya yang duduk tak jauh dari tempat Ara berada. Dilihatnya dua orang anak perempuan kembar yang tersenyum berharap mamanya membelikan es krim yang dijajakan sang tukang es krim.
Brak!
"Tolong selamatkan anak saya, dokter." Seorang wanita menangis memegangi seorang anak yang terbaring di tempat tidur.
"Saya tidak bisa melakukan apa-apa. Dia sudah meninggalkan dunia ini."
Ara melihat sebuah cahaya yang sangat terang di depannya. Sesosok laki-laki muncul di hadapannya dan tersenyum. "Lama tak berjumpa, adik kecilku."
????????????
Ara terbangun. Mimpinya kali ini benar-benar meninggalkan rasa sakit pada kepalanya. Kakinya melangkah keluar dari kamar, hendak ke dapur mengambil minum sekaligus menetralkan degup jantungnya.
Ara mengendap-ngendap melewati kamar kedua orangtuanya yang berada di dekat dapur.
"Apa kamu serius? Dia benar-benar sudah tiba di kota ini?" Suara mama terdengar jelas dari dapur.
Lengang sejenak.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Kondisi Bella semakin parah. Kita harus selalu berada di dekatnya. Dan soal Ara..."
Ara menajamkan pendengarannya. Penasaran mendengar obrolan kedua orangtuanya. Tak disangkanya kalau namanya akan dibicarakan.
"Ara kenapa?"
"Kita akan menjualnya," ucap papa.
Ara tersedak dan menahannya agar tidak menimbulkan suara. Dia bergegas ke kamarnya, merapikan barang-barangnya dan berencana kabur dari rumah itu. Entah ke mana, yang penting pergi sebelum dijual.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella