42. Melarikan Diri
42 // Melarikan Diri
Ara berlari secepat yang dia bisa. Di tengah jalan dia menyetop taksi. Tak ada yang ada di pikirannya selain melarikan diri. "Apa papa mama serius ingin menjualku? Aku tidak apa-apa disiksa mereka, asalkan jangan sampai dijual." Otak Ara memikirkan kemungkinan terburuk.
Supir taksi menatap Ara dengan bingung. Sedari tadi penumpangnya termenung menghadap jendela. "Ingin ke mana?"
"Oh." Ara tersadar dari lamunannya. "Ke alamat ini."
Mobil itu melaju dengan cepat karena jalan yang sepi, sampai di rumah Clara kurang dari setengah jam.
Ting tong
Ara memencet bel setelah membayar taksi itu. Terdengar olehnya suara orang yang berjalan menuju pintu, mengintip orang yang datang.
"Ara?!" jerit Clara yang tidak percaya Ara datang ke rumahnya di tengah malam. Dari belakangnya muncul Karia dan Heri, serta kedua orangtua mereka. "Ada apa?"
Ara terisak dan tubuhnya terkulai di lantai. Dia pingsan.
"Heri, bawa Ara ke kamar Clara," perintah mama mereka.
"Ara kenapa?" tanya Karia. Mama mengusirnya, menyuruhnya kembali tidur.
Heri menggendong Ara ke kamar Clara dengan mudah. Kedua anak Heri terbangun dan mendapati seisi rumah tidak tertidur.
"Kalian berdua tidur, ya." Mama tersenyum pada kedua cucunya.
"Iya." Mereka serempak menjawab.
????????????
Ara menengadah menatap langit. Matahari terbenam dan bulan muncul menggantikannya. "Wah, indah sekali."
Terdengar seseorang yang memanggilnya. "Kak Ara!"
"Hai, Bella."
Napas Bella masih tersengal-sengal. "Kakak cepat sekali kemari. Aku harus berlari untuk mengejar kakak." Napasnya sangat berat dan wajahnya memucat.
Menyadari hal yang terjadi, Ara langsung bergerak meraih Bella yang berjarak lima meter darinya.
"Bella!" jerit dua orang yang sangat Ara kenali. Kedua orangtuanya. Mereka mendorong Ara dengan kencang hingga terjatuh. "Astaga Bella, kamu tidak apa-apa."
Papa mengeluarkan sebuah suntikan dan menyuntikkannya pada lengan Bella. Bella yang sebelumnya sesak napas terkulai di tanah dengan napas yang kembali normal.
Mama menatap Ara dengan marah. "Kamu tidak tahu adik kembarmu memiliki sebuah penyakit?! Karena itulah dia tidak boleh berlari mengejarmu. Untuk apa kamu berjalan secepat itu?! Untuk melihatnya seperti ini dan tertawa?!" Mama membentaknya dengan sangat kencang.
Papa juga menatap Ara. "Kondisi Bella semakin parah. Kita harus selalu di dekatnya. Dan soal Ara, kita akan menjualnya."
????????????
Ara tersadar dari pingsannya dengan air mata mengalir deras dari kedua matanya. Ara menyesal menguping pembicaraan kedua orangtuanya. Kejadian itu sampai terbawa ke dalam mimpi, dengan kalimat serupa yang terucap dari mulut papanya.
Clara masuk ke dalam kamarnya dan melihat Ara yang sudah tersadar. "Akhirnya kamu sadar juga."
"Di mana aku?" tanyanya.
"Di rumahku, bego. Kamu tidak ingat kamu menekan bel dan menangis hingga pingsan?"
Ara teringat kembali yang terjadi padanya. Saking takutnya, dia bergegas menuju rumah Clara untuk mendapatkan rasa aman. Dan saat pintu itu terbuka, dia terisak dan pingsan. "Aku ingat."
Clara duduk di samping tempat tidur. "Ada apa? Apa yang terjadi padamu?"
"Bolehkah aku menginap di sini untuk seterusnya?"
????????????
Beberapa hari telah berlalu. Ara berjalan-jalan seorang diri di sebuah pusat perbelanjaan. Lusa, Clara akan berulang tahun. Sebagai teman yang baik, Ara akan memberikannya sebuah hadiah.
"Sepertinya Clara akan menyukai ini," gumamnya sambil menengok melihat ke sekitarnya mencari kasir. Tiba-tiba terlihat sosok itu. Orang yang menyeramkan itu. "Sepertinya aku akan menyebutnya psikopat. Selalu mengikutiku dan menodongkan senjata padaku."
Tanpa berpikir panjang, Ara keluar dari toko itu tanpa membeli barang dan kabur menjauhi psikopat itu. "Cepat sekali dia berjalan." Ara melihat sosok itu sudah beberapa meter dari dirinya. Dia menghampiri seorang satpam.
"Ada apa, dik?" tanya satpam itu. Ara menoleh ke belakangnya. Tidak ada lagi tanda-tanda dari si psikopat. Dia menghembuskan napas lega sambil berterima kasih pada satpam itu.
????????????
Ara sampai di rumah Clara dengan peluh di sekujur tubuhnya. Clara menatapnya bingung. "Bukannya kamu dari mall?" tanyanya.
"Panjang ceritanya."
"Sebenarnya aku ingin kamu melakukan sesuatu," kata Clara, "bisakah kamu mengambil diari dan album fotomu dari rumahmu?"
Ara menggeleng. "Seumur hidup aku tidak akan pernah kembali ke tempat itu."
"Apa yang terjadi?"
"Tidak ada. Hanya menyadari kalau kedua orangtuaku berniat menjualku," jawab Ara.
"Kamu bisa masuk melalui jendela."
"Bagaimana jika aku ketahuan. Orangtuaku akan mengurungku hingga orang yang membeliku datang. Aku tidak ingin organ-organku dijual." Ara menatap Clara dengan tatapan Jangan Paksa Aku.
????????????
"Wah, hebat sekali Clara hingga mampu memaksaku seperti ini." Ara memanjat pohon di sebelah kamarnya sambil menggerutu. Setelah perdebatan panjang dengan Clara, hasil menunjukkan kalau Clara-lah yan menang. Dengan pasrah, Ara pun melaksanakan perintah Clara.
Sret
Jendela Ara terbuka.
"Di mana aku menaruh kedua benda itu?" gumam Ara, "terakhir aku menunjukkannya pada Ervin." Ara menemukan kedua benda itu dan keluar secepat mungkin. Dilihatnya seorang laki-laki berpakaian serba hitam di depan rumahnya.
"Itu pasti orang yang akan membeliku." Wajah laki-laki itu tidak dapat terlihat karena jarak dirinya dan Ara melebihi sepuluh meter. Saat sedang menuruni pohon, dia berpikir untuk keluar lewat jalan lain. Lantas, Ara melompat menuruni halaman rumah tetangganya.
"Astaga, aku pikir kamu maling, nak." Seorang ibu yang sedang menjemur pakaian terkejut melihatku yang tiba-tiba muncul. "Kamu anak sebelah, kan?"
Ara mengangguk cepat. "Maaf," katanya sambil berlari.
Begitu melihat laki-laki dengan pakaian serba hitam, rasa takut kembali menjalar di tubuhnya. Dia berlari pergi mencari taksi, hendak kembali ke rumah Clara secepat mungkin
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella