36. Are You Okay?
36 // Are You Okay?
Senyum Fabian merekah saat dirinya melihat Clara memasuki pagar sekolah. Tangannya melambai dan dibalas. Sebenarnya, Clara belum merespon perkataannya kemarin. Namun dia menghargai pilihan Clara untuk memikirkan hal ini.
"Berapa lama kamu berdiri di sini?" tanya Clara pada Fabian. Fabian mengangkat bahunya, tanda tidak tahu.
"Kalau cuma nunggu kamu, aku rela walaupun bertahun-tahun. Apalagi kamu meminta waktu tujuh hari untuk memikirkan tawaranku," senyum Fabian sambil mengacak rambut Clara.
Clara mendengus kesal sambil merapikan rambutnya. "Kalau kamu seperti ini terus, murid lain akan mengira kita sudah pacaran."
"Kamu ingin kita seperti itu?" cengir Fabian.
"Kan, aku sudah bilang berikan waktu satu minggu, Fabian jelek." Clara berjalan menjauhi Fabian yang masih cengar-cengir. Fabian mengikuti Clara ke kelasnya. "Ngapain kamu ikut ke sini? Kelasmu di sana, loh. Pikun, ya? Udah jelek, pikun lagi."
"Clara cerewet. Untung Fabian sayang." Fabian mendapat jitakan di kepalanya. "Aduh!"
"Aku aja belum mengiyakan. Belum tentu aku memiliki rasa yang sama denganmu," kata Clara, "pergi sana."
Fabian melambaikan tangan pada Clara dengan senyum yang sama di wajahnya. Clara membalas lambaian itu. Saat ia berbalik, dilihatnya Ara yang sedang menatapnya.
Mengingat dia masih kesal dengan Ara, Clara duduk di bangku pindahannya di deretan belakang dan tidak menyapa Ara. Ara menatap Clara dengan sedih sekaligus cemburu dalam hatinya.
Dia duduk di bangkunya dengan tatapan kosong. Tangannya tidak bergerak mencatat materi di papan tulis. Otaknya tidak bekerja menyelesaikan soal fisika yang diberikan gurunya. Helaan napas berat terus keluar dari mulutnya sampai teman sebangkunya harus menyadarkannya.
"Pak Bin menyuruh kita selesaikan halaman 172 nomor 1 sampai 10. Ditukis di selembar kertas karena akan dikumpulkan," kata teman sebangkunya. Ara sangat bersyukur Clara bertukar tempat duduk dengan orang ini.
Diselesaikannya sepuluh soal itu dengan cepat dan kembalilah ia dalam lamunannya. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan pelan. Tangannya memutar-mutar pena. Tapi otaknya sama sekali tidak bekerja.
"Apakah Fabian menyukai Clara? Kalau begitu, bagaimana denganku? Apa aku tidak punya harapan lagi? Clara adalah orang yang ceria, jenius, cantik, perhatian, dan menyenangkan. Bagaimana bisa Fabian tidak menyukainya," pikir Ara dalam hati. Ara mulai merasa rendah diri.
Pelajaran fisika sudah selesai. Pak Bin yang baik hati mengizinkan para murid untuk keluar lebih cepat daripada waktu sebenarnya. Itu berarti adanya tambahan waktu untuk istirahat. Murid kelas XI IPA 1 berbondong-bondong keluar. Tinggallah Ara sendirian di bangkunya, masih merenung.
Sepuluh menit kemudian, masih tidak ada pergerakan dari Ara. Sebuah kepala muncul dari balik pintu kelas. Saat dilihatnya Ara terduduk di kursinya, matanya berbinar kesenangan.
"Ara!" panggil Ervin, sangat bersemangat menghampiri Ara. "Kamu tidak makan? Tidak lapar?"
Ara masih termenung, tidak menyadari kehadiran Ervin.
"Ara, kamu kenapa?" tanyanya sambil menepuk bahu Ara.
Ara tersadar akan kehadiran Ervin dan tersenyum kaku. "Ada ada sampai kemari?"
"Kamu tidak ada di kantin. Karena itu aku mendatangi kelasmu. Ternyata benar kamu ada di sini. Ayo makan," ajak Ervin.
Ara menggeleng.
"Ada masalah?"
????????????
Ervin memarkirkan mobilnya di depan rumah Ara. Rasanya bingung saat Ara memintanya mengantarnya pulang. Ini tidak biasanya terjadi.
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan." Ara membuka pintu mobil Ervin. Ervin menatapnya bingung.
"Katakan saja."
"Ada yang ingin kutunjukkan juga," kata Ara, "parkir mobilmu jauh di sana. Setelah itu masuk ke rumahku."
Sekarang Ervin benar-benar kebingungan. Sepertinya ada hal yang dipikirkan Ara hingga termenung seperti tadi. Mungkin Ara sangat memerlukannya.
Ervin melakukan sesuai permintaan Ara dan masuk ke dalam rumah Ara. Di lantai atas, tepatnya di ruang keluarga, Ara sudah berada di sana dengan dua benda.
"Rumah ini kosong?" tanya Ervin.
Ara mengangguk. "Kemarin aku menemukan ini di dalam sebuah peti tua. Aku berhasil membuka diari ini namun tidak untuk album foto ini. Aku benar-benar bingung sehingga selalu melamun setiap saat," kata Ara. Tentu saja ini bohong. Dia melamun karena Fabian dan Clara, bukan dua benda ini.
"Oh, sepertinya ini menarik." Ervin meraih diari itu dan membacanya dengan saksama.
Ara sudah tahu Ervin mencemaskannya. Demi terlihat normal, dia memutuskan untuk mengarang cerita tentang keadaan pikirannya saat ini. Mungkin dengan menunjukkan Ervin dua benda ini ada sebuah jawaban lagi yang terjawab.
????????????
Clara berguling-guling di kasurnya. Diingatnya kembali kejadian seharian ini dengan Fabian. Bingung rasanya ketika menyadari jantungnya berdegup kencang untuk orang selain Ervin.
"Bagaimana bisa Fabian menjadi sangat menarik?" gumam Clara. Tiba-tiba muncul rasa bersalah dalam diri Clara pada Ara. "Ara menyukai Fabian dan aku merasa aku juga menyukainya. Ah, masa bodoh. Lagipula dia merebut perhatian Ervin.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella