35. Jealous
35 // Jealous
Fabian tidak bisa menerima hal yang didapatnya tadi. Tidak mungkin Ara menindas Bella di rumah. Itu mustahil. Ara yang dia tahu bukan seseorang yang kasar dan menyakiti orang lain. Apakah ini benar?
"Sepertinya aku tidak terlalu percaya pada seorang Bella. Dia orang yang tidak bisa dipercayai dan penuh dengan dusta," kata Fabian dan berjalan keluar dari kelas.
Ervin menghampirinya dan berjalan di sampingnya. "Ke mana?"
"Kantin."
Ervin tertegun. "Loh, ini belum waktunya istirahat," katanya.
"Bukannya bel istirahat sudah berbunyi?" tanya Fabian. Seingatnya, sekarang sudah waktunya makan.
Ervin menggeleng. "Dasar pikun. Tadi bel pergantian pelajaran. Sekarang jam matematika yang diajar si guru killer."
Fabian menggaruk kepalanya. Ternyata dia salah dengar. Apa yang terjadi dengannya.
"Ayo, kembali. Bilang saja kita baru dari toilet." Ervin bergegas kembali menuju kelasnya. Fabian yang tertinggal masih berjalan pelan sambil melamun.
????????????
Ervin berpikir dengan serius. Saat ini adalah jam istirahat. Dia tidak mengira temannya, Fabian akan keliru dalam hal ini. Saking seriusnya, dia tidak menyadari kalau sedotan yang seharusnya berada di dalam es jeruknya berpindah tempat ke mangkuk berisi bakso.
"Ah, panas!" teriaknya. Lidahnya melepuh karena kuah bakso yang masih sangat panas. Diminumnya es jeruk itu dalam sekali teguk. Tangannya yang sebelah menyeka mulutnya.
Dia melihat Ara yang memasuki kantin. Dengan wajah berseri-seri, dia mengangkat nampan berisi bakso dan es jeruk itu. Ervin berjalan menuju kursi Ara.
Ara terkesiap dan melihat Ervin sedang tersenyum padanya. Ara membalas senyuman itu dengan canggung. "Hai, aku tidak menyangka kalau kamu bisa menyapaku dengan senyum itu."
"Memangnya kenapa?"
"Kalau teman-temanku menembak seseorang dan belum dijawab, mereka akan menjauhi orang yang ditembak karena malu," jelas Ara. Jantungnya berdebar.
"Berarti aku bukan mereka. Aku merasa harus duduk di sini bersamamu." Ervin tersenyum dan meletakkan nampan miliknya. "Kamu belum beli makanan? Sana, beli."
Ara tersenyum kecil dan mengantre di barisan batagor. Ervin mengamatinya dengan jantung yang berdetak kencang di dadanya. "Mengapa dia bisa membuatku seperti ini?"
????????????
Clara menyalin kata-kata yang terpampang di papan tulis. Tadi dia sempat tertidur karena lelah menangis. Karena itulah dia ketinggalan materi. Derap langkah kakinya bergegas menyusul Ara yang sudah berada di kantin.
"Hari ini ada batagor," sahutnya dengan gembira. Dari jauh dia melihat Ara dengan sepiring batagor yang berjalan menuju tempat duduknya. "Ara!" teriaknya. Orang yang dimaksud tidak mendengar suaranya. "Mungkin suasana kantin yang bising membuat suaraku tidak terdengar."
Didekatinya meja Ara. Betapa terkejutnya ia saat menyadari kalau Ervin juga duduk di sana sambil tersenyum pada Ara. Bila jantung bisa berhenti berdetak, maka inilah saat di mana Clara merasakannya. "Sejak kapan Ara begitu dekat dengan Ervin? Apakah Ara tahu kalau aku sudah menyukai Ervin sejak lama?"
Tanpa Clara sadari, rasa cemburu sudah menghinggapinya.
"Clara," panggil Fabian yang baru tiba di kantin. "Mengapa kamu berdiri di sini dan tidak mengantre makanan?"
"Aku tidak nafsu makan." Clara berbalik meninggalkan kantin.
Fabian meraih pergelangan tangannya. "Aku ingin bertanya. Jika kamu lihat di sini, Bella berkata Ara adalah orang yang seperti ini. Apakah itu benar?" Fabian menunjukkan percakapannya dengan Bella.
Mata Clara dihinggapi amarah serta rasa kesal yang membuatnya mengangguk. "Dia memang orang yang seperti itu." Clara melepaskan genggaman tangan Fabian dan berjalan meninggalkannya.
"Oh, jadi itu benar."
????????????
Beberapa hari telah berlalu. Clara menjauhi Ara karena api cemburunya yang belum padam. Clara meminta pertukaran tempat duduk dengan temannya yang duduk di paling belakang dan menjauhi Ara saat jam istirahat.
Beberapa kali timbul rasa bersalah pada Ara. Tapi sayangnya api kecemburuan berkobar lebih dasyat daripada rasa bersalahnya. Malam minggu dilewatinya di dalam kamar, malas melakukan sesuatu.
"Kamu kenapa?" tanya Fabian dari luar kamar. Belakangan ini, Fabian sering mengunjungi Clara di rumahnya. Perubahan dalam diri Clara dapat dirasakannya.
Tok tok tok
"Clara, buka pintu dong. Kamu tadi panggil aku kemari. Sekarang kamu mengurung diri di dalam kamar. Kamu kenapa?" tanya Fabian lembut.
Clara membuka pintunya dan keluar dari kamarnya. "Apakah cemburu itu memang menyakitkan?"
"Ya, bisa dibilang begitu." Fabian tertegun. Clara tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya.
"Sepertinya karena itu hatiku rasanya sakit sekali."
Fabian turut merasakan kepedihan hati Clara. "Clara, ada sesuatu yang harus kusampaikan."
"Apa?"
"Aku sudah memikirkan ini sepanjang waktu. Ternyata orang yang kusukai itu bukan Ara, tapi kamu," kata Fabian setelah menghela napas beberapa kali. "Kali ini, aku sangat serius."
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella