Loading...
Logo TinLit
Read Story - AVATAR
MENU
About Us  

“Penamu, ambilah” tuturnya. Suaranya amat lembut, ia tersenyum menatapku. Ini kali pertama aku melihatnya setelah beberapa tahun lalu ia pergi. 


Aku hanya membalas senyumnya, enggan bersuara. Tanpa izin ia segera duduk di sampingku. Aku tak tahu harus berkata apa. Setidaknya aku masih mengingatnya, wajahnya, suaranya selalu ku ingat. 


“Aku tak menyangka bisa bertemu kamu lagi, Arinzell” 


Aku mengangguk pelan, masih enggan untuk bersuara. Aku pun tak menyangka bisa bertemu dengan dia. Orang itu, dengan kenangan yang selalu aku simpan dalam memoriku, dan dengan rasa bersalah aku yang telah membiarkannya pergi saat itu. Dan di tempat ini, tempat yang amat jauh dari kenangan lama itu aku kembali bertemu dengannya. Ini mustahil, tapi ini terjadi. Ia menemukanku. 


“Kau masih menyimpan diary itu rupanya”
Aku tertegun. Segera menoleh ke arahnya. Diary yang selalu ku bawa kemana pun aku pergi, diary yang sedang ku genggam erat. Ia masih mengingatnya. 


***

“Selamat, Jel. Pokoknya aku bangga sama kamu. Tetap fokus belajar ya, Jel. Aku selalu mendukungmu. Dan lihatlah hari ini aku dan Johan akan praktek memasak cookies. Pasti akan menyenangkan jika kamu ikut aku, Jel. Hmm sayangnya aku justru harus bersama orang aneh macam Johan. Andai saja Johan bisa berubah jadi kamu, Jel” 
Aku mengembuskan nafas berat, celoteh Jenny membuat pagiku terasa sedikit berat. Bagaimana tidak? Sejak satu jam lalu ia terus saja menceritakan banyak hal, dan hal itu adalah hal yang sama. Ya, Jenny menceritakannya berulang-ulang. 


“Oh iya Jel, pagi ini aku akan memasak cookies bersama Johan. Andai aku tidak bersama orang aneh itu, Jel. Pasti-”


“Arinzell!”


Aku menoleh ke belakang, Jenny menghentikan ucapannya. Dari arah sana, Kak Zearon melambai tangan ke arahku. Ia berjalan mendekat. Wajahnya sedikit berkeringat, terlihat cukup lelah dari raut wajahnya. Organisasi sekolah memang membuatnya amat sibuk. Itulah mengapa aku enggan mengikuti banyak organisasi di sekolah. 


“Selamat pagi, Jel. Semoga harimu menyenangkan, tetap semangat belajar, Jel. Akan ada banyak hal yang menunggumu, Jel” Nafasnya terengah-engah. Ia tetap tersenyum. 


“Terima kasih, Kak. Ijel akan ikuti saran kakak” Jawabku singkat. 


“Pintar” Ucap Kak Zearon. Ia mengacak-acak rambutku pelan. Bak seorang kakak kepada adiknya. Memang seperti itu, terlebih kak Zearon amat tinggi dibanding denganku. 


“Oh iya, ini ambilah sebagai ucapan selamat dari kakak”
Kak Zearon mengulurkan tangannya, memberikan sebuah paper bag kecil kepadaku, entah isinya apa.


“Ini apa kak?”


“Ambilah, kakak harap kamu bisa menggunakannya setiap hari” Jawabnya, dengan sedikit kikuk aku menerimanya. 


“Terima kasih, kak” Ucapku sedikit kikuk. 


“Kakak pergi dulu ya, Jel. Sampai bertemu nanti” Kak Zearon berlalu, ia melambai tangan ke arahku. 


“Tuh kan, Jel. Kak Zearon suka sama kamu”


“Ish, apa sih Jen”


“Coba sini aku mau lihat” tangan Jenny lincah mengambil paper bag itu dari genggamanku. Jenny hendak membukanya dan aku segera mengambilnya. 


“Ih Ijel! Aku kan mau lihat” 


“Tak boleh!” Jenny menekuk wajahnya. 


“Oh iya Jel, hari ini aku akan memasak cookies bersama Johan, coba ada kamu, Jel pasti-”
Aku menepuk dahi, segera berjalan meninggalkan Jenny. 

***

Tidak seperti biasa, kali ini aku memulai ekstrakurikuler di ruang kelas 10 IPA 2, jika biasanya selalu di lab biologi. Ruang kelas hanya diisi kurang lebih 10 orang siswa itu pun jika masih ada yang belum datang. Aku menatap sekelilingku dengan seksama, tak ada yang ku kenal. Tapi setidaknya aku tahu bahwa mereka pasti adalah anak IPS. 15 menit lagi pelajaran akan dimulai. Oh iya setelah berpikir lama aku pun memutuskan untuk mengambil mata pelajaran geografi, mungkin memperdalam ilmu mengenai bumi akan menyenangkan dan tentu akan berguna bagiku seorang makhluk bumi. Di luar sana, aku dapat melihat seseorang berjalan terburu-buru, sepertinya kelasnya memang tak jauh dari kelasku, jika tak salah lihat kelas dia adalah 10 IPA 4. Sangat dekat dengan kelasku, dan akan menyenangkan mungkin jika dapat berpapasan dengannya. Ku rasa si Jaket merah itu sudah masuk ke dalam kelasnya. 


Tak lama, Bu Yera memasuki ruang kelas. Pintu ditutup dan ia segera memasang laptop pada kabel proyektor. Pelajaran dimulai.


Tak seperti dugaanku, bimbingan ini terasa lebih cepat dibanding KIR yang biasanya aku ikuti. Ini memang bukan KIR, tapi ini adalah program KIR, dan inilah keputusanku, berhenti bereksperimen dengan anak KIR untuk mengikuti bimbingan ini. Ketahuilah selalu ada pengorbanan di balik setiap keputusan. 


Jam menunjukan pukul 11, bimbingan sudah selesai, hanya satu jam jika dihitung menit. Masih terlalu cepat untuk pulang ke rumah. Lagi pula Papa masih berada di rumah sakit dan Jenny mungkin masih asyik membuat cookies bersama Johan. Lebih baik aku pergi ke toko buku, mencari beberapa buku referensi geografi. 
Angin berembus pelan, menerbangkan beberapa helai rambutku. Aku berjalan pelan menatap sekelilingku. Inikah hidup? Setiap deru udara yang ku hirup lalu kukeluarkan lagi. Langit seakan tahu betapa kecilnya aku jika dilihat dari atas sana. Dan Mama, aku harap Mama dapat melihatku. 


Pintu toko buku terbuka lebar, aroma harum buku tercium jelas, begitu menyejukan. Rak berjajar rapi dengan para petugas yang masih sibuk menata buku-buku jika ada buku yang sedikit berantakan. Di rak terdepan, beberapa novel best seller terpajang di sana. Begitu anggun dengan segala bentuknya yang tersusun unik. Dan di rak berikutnya, buku-buku novel tak kalah menarik turut menghiasi rak buku di sebelah kananku. 


Aku berjalan pelan menuju rak-rak buku sebelah kiri, buku pelajaran, buku yang ku cari. Semua buku tampak memanggil untuk dibaca, lihatlah semuanya amat menarik. Berbagai ilmu pengetahuan terdapat dalam jajaran buku-buku ini. Maka amat disayangkan jika orang malas membaca buku. Seolah tak tahu jendela dunia. Kau tahu kenapa aku senang membaca? Karena dengan membaca pikiranku sedikit teralihkan dari berbagai pengalaman pahit hidup ini. Aku suka buku. Mama juga suka buku. 


“Arinzell?”


“Eh?” aku menoleh ke belakang. Seorang lelaki tertawa di belakangku. 


“Kebetulan yang ajaib” Ucapnya. 


“Hmm, iyah” jawabku kikuk. 


“Cari buku apa? Bumi?” 


Aku mengangguk. Jelas ia tahu, ia melihat aku sedang memegang beberapa buku tentang bumi. 


“Kamu?” Tanyaku. Ia menggeleng tertawa. 


“Entahlah. Aku senang bermain-main di tempat ini” aku tersenyum tipis menatap wajahnya yang santai. 


Axel menemaniku berkeliling toko buku. Aku tahu ia menahan tawa ketika melihatku menggenggam 6 buku di tanganku. Aku pun tahu jika ia mengira aku sangat ambisius untuk belajar. Tapi inilah aku, bukan maksud ambisius atau bagaimana, namun aku memang sangat suka membaca buku. Membaca sedikit banyak membuatku lupa dengan kesedihanku. Hai, kau tahu, walau begitu Axel dengan rela membawakan semua buku yang akan ku beli. Kami berkeliling toko buku, tertawa bersama. Menikmati masa SMA yang masih panjang. Axel baik. Menyenangkan jika sudah mengenalnya lebih jauh. 


“Jel, kau tahu kenapa di rak sana sepi pengunjung?” tanya Axel, aku menoleh heran ke arahnya. 


“Kenapa?”


“Karna di sana tempatnya horor” bisik Axel. Aku tercengang, tak percaya. 


“Mau kesana?” tanya Axel. Aku mengangguk pelan. Jika ada Axel, sehoror dan semenakutkan apapun rak buku sana rasanya semua tak ada apa-apanya. Axel ada di sampingku. Ia melindungiku. 


“Bagaimana?” tanyanya. 


Aku menatap sekeliling rak. Aku menahan tawa. Mengingat betapa polos diriku saat Axel mengatakan bahwa tempat ini horor. Bagaimana tidak, semua buku, novel, komik membahas cerita horor. Axel tertawa melihatku yang tampak heran. Aku pun menyadari, betapa bodoh diriku di hadapannya. Axel, kau menyebalkan! 


“Oh iya, Jel. Kau tahu kenapa aku suka buku?” tanya Axel. 


“Kenapa?”


“Karena aku tahu kamu suka buku”


Deghhh
Kali ini aku benar-benar tercengang. Entah kau mau membayangkan bagaimana wajahku saat itu. Axel tertawa pelan, ia meninggalkanku yang masih menelaah setiap katanya. Aku pun segera berlari mengejarnya menuju kasir. 
Buku yang ku beli ada 8, dan Axel hanya mengambil satu buku komik. Komik? Aku pun baru tahu jika Axel suka baca komik. Ku pikir dia terlalu serius belajar, ternyata tidak. Semua di luar dugaanku. Ia menyenangkan. Bersama dengannya membuatku tersenyum sepanjang hari. 
Di tempat pembayaran, aku melihat seorang anak kecil membeli buku diary berwarna biru. Amat cantik, aku tiada henti menatap diary itu. Axel memanggil “Ayo, Jel. Kita pulang”
Aku pun segera menghampirinya setelah melakukan pembayaran. Kami akan pulang bersama. Ternyata rumah kami searah. Aku senang sekali mengetahui hal itu. 


“Kau suka es krim?” 


“Eh?” 


“Biar aku belikan untukmu”


Tanpa menjawab iya atau tidak, Axel segera meninggalkanku. Ia membeli es krim untukku. Padahal aku sama sekali tak mengharapkan es krim di hari itu. Tapi, jika itu dari Axel, tentu es krim tersebut adalah yang terenak yang pernah aku makan. 


Hari mulai gelap. Tak terasa hari ini aku banyak tertawa bersama Axel. Kami makan es krim bersama, tertawa, berbincang, bahkan Axel yang selalu mengomentari keadaan sekitar. 


“Harusnya anak itu berjalan di belakang Mamanya” Axel menunjuk seorang anak kecil berbaju biru. 


“Lho, kok? Nanti dia hilang”


“Tidak, Jel. Kalau dia berjalan di depan Mamanya, nanti kalau Mamanya diculik, dia gak tahu”


Aku tertawa mendengar ucapan Axel. Ia begitu konyol sekali. Wajahnya, rambutnya, jaket merahnya, aku senang melihatnya. 
Cukup sudah hari ini, aku dan Axel memutuskan segera pulang. Kami pulang naik taksi. Langit memaparkan senja yang begitu indah. Aku tersenyum melihat Axel yang saat ini ada di sebelahku, menatap senja dari dalam taksi. 


“Jel, kau tahu tidak kalau aku lebih suka senja dibanding pagi?” tanyanya


“Kenapa?”


“Karena senja mengantarkan aku pada malam”


“Malam?” tanyaku polos. 


“Iya, malam. Karena saat malam aku dapat mengirim pesan kepada bintang untuk seseorang yang aku kagumi”


“Wahhh, beruntung ya orang itu”


“Ku harap dia merasa begitu”


Jujur saja hatiku sedikit aneh mendengar ucapannya. Entahlah aku bingung. Ini terasa sedikit sakit. Tapi, ah entahlah aku pun bingung. 


“Sudah sampai, Jel” Ucap Axel memecah lamunku. 


“Eh iya. Hmm aku duluan ya, Axel”


Axel mengangguk. Aku melambaikan tangan ke arahnya saat taksi kembali melaju. Biarkan saja, setidaknya aku dapat mengenal Axel lebih dekat di hari ini. Axel, aku senang. 

***

Aku bertanya-tanya, kenapa Axel menyukai bintang. Kenapa bintang begitu berarti baginya. Benda langit yang tampak kecil jika dilihat dari bumi itu bagai penyampai pesan yang ajaib baginya. Di bawah sini, di bumi, aku menatap bintang yang berkerlap-kerlip di langit. Begitu indah tampak seperti pondasi cahaya yang menari dalam gelapnya langit. Dan di sana, mungkinlah pesan dari Axel tersampaikan? Bintang, jika aku boleh menitipkan pesan, tolong sampaikan pesanku kepada Axel, bahwa aku bahagia mengenalnya dan untuk seseorang yang Axel kagumi, aku berharap bisa mengenalnya. Aku harap begitu. 


Angin berembus lembut, mengibarkan beberapa helai rambutku. Serta membuat dedaunan berterbangan di sekitar jalan. Beberapa kendaraan masih berlalu lalang sedikit banyak meramaikan suasana di tengah gelapnya malam yang hanya bertabur cahaya lampu jalan. Aku mengambil tas sekolahku dan buku-buku yang tadi kubeli. Mungkin aku akan membaca beberapa buku sambil menunggu Papa pulang. Di tas sekolahku, kulihat sebuah paper bag kecil, aku ingat, itu pemberian dari Kak Zearon yang belum sempat kulihat karena Jenny memaksa untuk membukanya lebih dulu. Andai Jenny di sini, pasti dia akan merebut kembali hadiah dari Kak Zearon itu. Setidaknya Jenny tak di sini. Sebuah diary merah. Dari Kak Zearon. Cantik sekali. Dengan bergambarkan dua ekor kucing putih yang tampak menggemaskan. Mengingat diary, aku pun teringat tentang diary yang kulihat di toko buku tadi. 
Kau tahu, saat aku melihat buku-bukuku, aku kembali terkejut. Di sana, terselip sebuah diary merah muda beserta pulpen ungu di dalamnya. Di halaman pertama diary kulihat sebuah tulisan “Orang boleh membaca untuk menambah ilmu pengetahuan, tapi ia tidak akan dikenang jika ia tidak menulis. Menulislah Arinzell, buatlah orang-orang mengenalmu”.


Aku tertegun menatapnya. Diary itu sama persis seperti diary milik anak kecil yang tadi kulihat di toko buku. Hanya saja warnanya yang berbeda. Tapi darimana Axel tahu aku suka warna merah jambu? Barangkali saat ia membelinya hanya ada warna itu di sana. Dan kapan ia membelinya? Mungkinkah saat ia membeli es krim? Akan kutanyakan nanti, saat aku bertemu dengannya. Bintang, aku senang sekali hari ini, Axel, ku harap kau juga senang.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
669      455     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Persapa : Antara Cinta dan Janji
7617      1851     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Story of time
2210      876     2     
Romance
kau dan semua omong kosong tentang cinta adalah alasan untuk ku bertahan. . untuk semua hal yang pernah kita lakukan bersama, aku tidak akan melepaskan mu dengan mudah. . .
Under The Darkness
43      40     2     
Fantasy
Zivera Camellia Sapphire, mendapat sebuah pesan dari nenek moyangnya melalui sebuah mimpi. Mimpi tersebut menjelaskan sebuah kawasan gelap penuh api dan bercak darah, dan suara menjerit yang menggema di mana-mana. Mimpi tersebut selalu menggenangi pikirannya. Kadangkala, saat ia berada di tempat kuno maupun hutan, pasti selalu terlintas sebuah rekaman tentang dirinya dan seorang pria yang bah...
Arion
1078      613     1     
Romance
"Sesuai nama gue, gue ini memang memikat hati semua orang, terutama para wanita. Ketampanan dan kecerdasan gue ini murni diberi dari Tuhan. Jadi, istilah nya gue ini perfect" - Arion Delvin Gunadhya. "Gue tau dia itu gila! Tapi, pleasee!! Tolong jangan segila ini!! Jadinya gue nanti juga ikut gila" - Relva Farrel Ananda &&& Arion selalu menganggap dirinya ...
Stuck In Memories
15066      3076     16     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
Bukan kepribadian ganda
9092      1750     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
Daniel : A Ruineed Soul
547      317     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
Lost in Drama
1843      719     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...
You Are The Reason
2156      873     8     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...