“Dia memang sangat berbeda. Perbedaan itulah yang membuatku menyukainya. Tapi ketahuilah, perbedaan itu pula yang membuatku menangis”
**
Sejak hari itu, aku dan Axel semakin dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, walau sedikit canggung namun kami cukup dekat untuk dikatakan sebagai teman. Dia teman baikku, sama seperti aku menganggap Jenny. Hanya saja, aku dan Axel lebih sering menghabiskan waktu lewat chat. Tak jarang kami hingga lupa waktu saking serunya pembahasan yang kami bicarakan lewat chat, padahal hanya hal-hal konyol yang kami bicarakan. Tak mengapa, aku anggap itu hadiah, karena setiap hal yang kami bicarakan selalu saja bisa membuatku tersenyum bahkan tertawa. Pernah suatu waktu Papa sampai mengetuk pintu kamarku karena tawaku yang menembus hingga ke kamarnya. Sungguh amat memalukan tertawa hanya karena membaca chat dari ponsel.
“Jel, kamu sehat?” Tanya Papa dari balik pintu kamarku.
“Sehat,Pah!” Jawabku sedikit teriak agar terdengar.
“Baiklah, Papa kira kamu kenapa-kenapa sampai tertawa sendiri di kamar” Lanjut Papaku. Aku tercengang. Hingga suara di balik pintu tak terdengar lagi.
Aku kembali menoleh pada layar ponselku. Axel sedang mengetik, tak sabar aku menunggunya walau tadi baru saja aku merasa tawaku telah mengganggu Papa. Tapi kali ini aku janji akan menahan tawa jika obrolan aku dan dia cukup mengundang tawa.
“Jel, tadi aku habis mencuri” ketik Axel
“Hah? Mencuri apa?” jawabku
“Jemuran tetangga, Jel”
“Lho? Kok?”
“Iya, Jel”
“Kenapa? Kok gitu?”
“Biar satu komplek bangun”
“Kenapa?”
“Kalau mereka bangun, dan tahu aku yang mencuri pasti ramai”
“Biar kamu terkenal, gitu?”
“Tidak, Jel. Kalau mereka ramai, aku bisa memberitahu mereka kalau malam ini aku sedang ngobrol dengan ARINZELL THALASSA. Hahaha”
“Hahaha. Biar apa?”
“Biar mereka iri”
“Kenapa harus iri?”
“Karena kamu lebih bersinar dari bintang malam ini”
Deghh
Aku melempar ponselku sembarang arah. Axel, pandai sekali ia membuatku tercengang.
“Sudah malam, tidurlah. Simpan tenagamu untuk besok, jaga diri baik-baik yah. Selamat tidur, Ijel”
“Selamat tidur, Axel”
Begitulah obrolan kami, selalu diakhiri dengan ucapan selamat tidur. Mungkin sederhana, namun bagiku Axel sudah cukup mengisi hariku yang tergolong monoton setiap harinya. Dengan ruang kosong kesepian yang selalu menyelimutiku. Dan beberapa hari ini, sejak aku kenal dia, rasanya hariku cukup berbeda. Ia amat berbeda.
**
Tanganku gemetar saat kuraih pena itu darinya. Matanya begitu kuat menatapku. Ia tetap sama, tak banyak yang berubah darinya. Aku tak sanggup menatapnya, mataku mulai berembun, tak terasa setetes air mata berhasil lolos dari mataku. Dan jari itu, ia menghapus lembut air mataku dengan jarinya. Ia berjongkok, menyamakan tinggi denganku yang sedang duduk di kursi taman. Ia kembali menatapku. Tak banyak bicara, ia hanya tersenyum. Senyum yang sejak lama kukira aku tak akan pernah melihat atau pun mendapatkannya lagi.
“Takdir begitu baik, Jel. Sudah lama aku mencari kabarmu hingga aku menyerah bahwa aku tak mungkin bisa menemuimu lagi”
Jemarinya kini menggenggam erat jemariku. Aku tak menyangka ia masih bisa bersikap baik atas apa yang telah aku lakukan terhadapnya.
“Kamu masih tetap sama, seperti Arinzell yang kukenal dahulu. Maafkan aku, Jel. Saat banyaknya masalah yang menimpamu, aku justru tak ada di sisimu” Ucapnya. Kali ini aku benar-benar menangis.
**
Setelah ucapan selamat tidur, aku tak bisa langsung tertidur. Aku selalu menulis apa yang aku rasakan sebelum aku tertidur pada diary yang Axel berikan, seolah sudah menjadi kebiasaan baruku untuk menulis. Tak banyak yang kutulis, namun itu berharga bagiku. Sama berharganya dengan obrolan konyol yang selalu kusimpan. Bahkan tak akan kuhapus sampai kapan pun!
Bagiku, setiap apa yang aku alami adalah sejarah hidup yang tak dapat terulang. Kenangan adalah hal yang paling berharga yang tak akan kau dapatkan kembali di lain waktu saat kau ingin mengulanginya lagi. Maka ingatan adalah hal yang amat berperan untuk dapat memutar kembali kenangan itu. Disinilah aku, berusaha keras agar ingatan senantiasa bersedia jika kuingin memintanya mengulang apa yang ingin kuulang. Walau sakit, walau pedih, setidaknya potongan ingatan dengan Axel cukup membuatku tersenyum. Axel, ketahuilah saatku mengetik ini, aku sedang menangis.
(Haii.. terima kasih sudah membaca:) mungkin cerita fiksi ini akan mengalami sedikit perubahan pada part-part awal cerita. happy reading. gomawo:))