Pagi.
Matahari mulai mengintip. Hangat. Bunga bermekaran indah bersamaan dengan ramainya kicauan burung. Embun perlahan menghilang digantikan suasana pagi yang sesungguhnya. Ramai oleh khayalak orang. Sedikit banyak membuatku iri melihatnya. Sepi, sunyi. Masygul untuk menahan senyum. Sepasang Kakek Nenek duduk di hadapanku. Mereka tertawa bersama. Berpegangan tangan di bawah hangatnya sinar matahari pagi. Memulai hari dengan kehangatan. Tanpa sadar air mataku menetes bersamaan dengan jatuhnya penaku. Tanganku gemetar, pandanganku rabun. Tidak! Aku tidak boleh terlelap sebelum cerita ini usai. Aku tak ingin melupakannya.
Selang beberapa menit, seseorang menghampiriku dan meraih pena yang tepat berada di sebelah kakiku, seseorang yang cukup rabun untuk ku lihat. Seseorang yang ku rasa aku mengenalnya.
“Selamat pagi, Arinzell”
***
Untuk kedua kalinya aku tiba jauh lebih awal di sekolah. Saat matahari belum sepenuhnya bersinar, kakiku sudah tepat berada di depan gerbang sekolah. Hanya ada satpam dan beberapa petugas kebersihan yang masih sibuk mengerjakan tugasnya. Aku melangkah pelan, menikmati suasana pagi di sekolah.
Adalah pukul 05.40 aku tiba di sekolah. Papa yang masih sibuk dengan pasiennya terpaksa mengantarku lebih awal. Tak mengapa, setidaknya aku tak lagi merasakan kemacetan. Meski lagi-lagi aku kembali menghela nafas berat, di ujung sana kelasku masih terlihat gelap.
“Selamat pagi, Arinzell”
“Selamat pagi, Axel”
“A-apa?” Axel yang berada di depanku segera menoleh ke arahku. Tampak gugup, aku hanya menaikan bahu. Kenapa?
Axel berlalu pergi menuju kelasnya. Memang aneh. Bagaimana bisa ia mengucapkan selamat pagi jika posisi ia saja membelakangiku. Ah, entahlah..
“Mungkin dia malu, Jel. Atau bisa jadi dia melihatmu tapi dia tidak berani menatapmu” Jenny menatapku penuh keyakinan dengan wajah berlagak mencari alasan lain. Ini memang hal sepele, ku rasa tak apalah jika aku menceritakannya ke Jenny.
“Oh iya, Jel. Kamu sudah lihat pengumuman di mading belum? Ada nama kamu lho.. Selamat Ijel, aku bangga” Lanjut Jenny, benar dugaanku tak salah aku bercerita kepada Jenny, toh Jenny mudah sekali mengganti topik pembicaraan.
“Namaku?”
“Iya, Jel. Namamu. Sepulang sekolah aku temani kamu, kamu harus melihatnya” Jenny amat semringah kali ini, aku mengangguk mengiyakan.
Jam pelajaran berlangsung seperti biasa, cukup membosankan jika selalu diratapi. Namun akan menyenangkan jika masa-masa seperti ini dijalani dengan bahagia. Layaknya Jenny yang selalu terlelap saat jam mata pelajaran bahasa berlangsung. Aku mengembuskan nafas pelan, meski terbawa suasana mengantuk, amat disayangkan jika melewati mata pelajaran ini.
“Jel, kalau sudah selesai bangunkan aku ya” Gumam Jenny pelan, aku mengangguk. Jenny kembali menutupi wajahnya dengan bukunya. Ia benar-benar terlelap kali ini.
***
“Jessica, Dewi, Ana, Rafi, vero, hmmm.. Arinzell! Namamu Jel!” Jenny berseru heboh. Suaranya membuat semua mata tertuju kepadanya. Benar apa kata Jenny, aku lolos seleksi. Namaku ada di pengumuman itu, aku lolos 3 mata pelajaran Biologi, komputer dan Geografi. Entah apa yang akan aku pilih, mataku masih menatap sebuah nama tepat 5 nama di bawahku. Axel, dia lolos.
“Jel, aku tak mengerti seleksi apa itu. Tapi aku bangga melihat namamu. Selamat, Ijel” Lanjut Jenny. Aku mengangguk tak percaya.
“Jel, aku ikut ke rumah kamu ya” Lanjut Jenny lagi. Mataku membelalak kali ini seolah bertanya, kau mau mendekati Papaku lagi?
“Tidak, Jel. Aku serius ingin main bersama kamu” aku tertawa pelan, rupanya Jenny mengerti arti tatapanku.
“Lagi pula Papaku tak ada di rumah, Jen”
“Oke, Jel. aku menginap saja di rumahmu agar bisa bertemu Papa kamu, Jel”
“JENNY!” teriakku, Jenny berlalu menjauh dengan tawa di wajahnya.
Di bawah langit sore yang indah, aku dan Jenny tertawa bersama saling mengejek dengan tawa canda kami. Di depan mading sembari mentertawakan beberapa pesan-pesan rahasia yang terpajang di mading. Ada-ada saja perilaku Jenny, setiap pesan yang ada selalu ia beri komentar yang aneh. Entah itu tak jelas, alay, lebay dan lainnya seolah hanya pesan dia yang terbaik. Oh iya sebelumnya Jenny sempat menulis “Secret Message” dan berharap akan dipajang di mading, toh sampai sekarang pesan dari Jenny masih belum terlihat di mading. Ada-ada saja tingkah laku sahabatku ini. Tak ingin berlama-lama di depan mading, aku dan Jenny berlalu untuk segera menuju rumahku. Dan di atas sana, tanpa sadar aku melihat seseorang yang sedari tadi menghadap ke belakang. Apa ia melihat tingkah aneh aku dan Jenny? Ku harap tidak, itu amat memalukan. Namun melihat namanya berada dalam daftar peserta lolos di mading, aku merasa amat bahagia. Axel, kau selalu mengagumkan!
***
Hujan. Langit sore yang indah begitu cepat tergantikan oleh langit gelap tertutup awan. Sesekali petir menyambar, menjadikan suasana malam semakin menakutkan. Jam menunjukan pukul 9. Papa masih belum pulang. Setidaknya keberadaan Jenny sedikit banyak membuatku tenang. Gadis itu benar-benar menginap di rumahku, tanpa membawa apa pun hanya seragam sekolah dan tas sekolah yang ia kenakan.
“Jel, bajumu terlalu kecil di tubuhku. Terlihat amat ketat, Jel” Ucap Jenny memecah lamunku. Ia sedang menatap dirinya di hadapan cermin. Lihatlah Jenny terlihat sedikit aneh dengan pakaian yang aku pinjamkan. Hei, baju itu adalah baju ukuran terbesar yang aku punya, bagaimana mungkin tetap tak muat di tubuhnya.
“Maafkan aku, Jen. Baju itu ukuran terbesar yang aku punya. Atau kau mau memakai baju Papaku?”
“Hah? Papamu?!” Ucap Jenny, matanya membelalak sempurna. Sejujurnya aku masih berpikir mungkin beberapa kaus Papaku cocok untuk Jenny.
“Tapi tak mengapa jika kamu tak ma-”
“Aku mau Jel! Aku mau! Baju Papamu pasti harum. Maksudku harum Papamu, amat disayangkan jika aku menolaknya” Aku menghela nafas berat. Kalau seperti ini, menyesal aku telah menawarkannya.
“Sebentar Jen, aku ambilkan” Jenny mengangguk cepat.
Jenny kembali menatap dirinya di depan cermin. Kaus Papaku tampak sedikit kebesaran di tubuh Jenny, tapi lihatlah Jenny tiada henti tersenyum di hadapan cermin. Apa benar Jenny menyukai Papaku?
“Jel, rumahmu besar sekali. Apa sering kamu sendirian di rumah sebesar ini? Oh iya Jel, aku belum pernah melihat foto Mamamu? Apa foto Mamamu tak dipajang di rumah ini? Oh, maksudku jika ada mungkin alangkah lebih baik jika dipajang di rumahmu, Jel. Untuk mengingat saja, barangkali rindumu akan sedikit berkurang” Jenny berjalan menuju kasurku, ia mulai duduk di sana sembari menatapku yang masih berdiri di depan jendela. Mendengar pertanyaan Jenny, mataku mulai tertuju ke arahnya, rasanya hatiku berat sekali untuk menjawab pertanyaannya.
“Papaku seorang dokter, Jen. Ia harus tetap ada di rumah sakit kapan pun pasien membutuhkannya. Dan soal Mamaku, jika pun aku memiliki fotonya, ingin sekali aku memasangkan bingkai terindah dan terbesar di dunia ini lalu aku pajang di seisi rumahku. Tapi-” Jawabku tertahan. Mataku mulai tak kuat menahan butiran yang siap kapan saja terjatuh.
“Ijel, maafkan ak-”
“Tak apa, Jen. Aku belum pernah melihat foto Mamaku. Papa bilang foto Mama habis terbakar di rumah lama kami. Aku memang amat merindukan Mamaku, tapi-”
“Ijel, Maafkan aku, aku tak bermaksud membuatmu menangis, Jel” Jenny berlari, ia memelukku erat. Entah sejak kapan wajahku sudah dipenuhi air mata, aku amat terisak kali ini. Aku membalas pelukan Jenny. Jika semua orang pernah merasakan rindu, apa hanya rinduku yang tak pernah terobati?
Tinnnnn!
“Sudah Jen, setidaknya aku masih memiliki Papa. Papaku sudah pulang, hapus air matamu, Jen” Aku melepas pelukan Jenny. Jenny amat terisak melebihi isakanku. Sungguh aku jadi merasa bersalah kali ini. Perlahan Jenny menghapus air matanya, begitu pun denganku meski hatiku masih tertahan untuk tak kembali sedih.
“Aku bangga padamu, Jel. Aku akan tetap menjadi teman baikmu, Jel” Aku mengangguk, Jenny tersenyum kepadaku.
“Ijel, kau belum tidur?” Ucap Papa mengetuk pintu. Papa sudah ke dalam rumah rupanya.
“Belum, Pah. Ada Jenny, Pah” Aku berjalan menuju pintu, segera membuka pintu. Papa menatapku dan Jenny, dan mungkin sedikit merasa heran.
“Je-Jenny, pinjam baju Om ya, baju Ijel kekecilan” Ucap Jenny menahan malu, wajahnya memerah. Aku benar-benar menahan tawa kali ini. Begitu pun Papa. Papa tertawa melihat wajah Jenny yang memerah dengan kaus besar yang dikenakannya.
“Kamu terlihat lebih gemuk, Jen. Kau boleh memakainya jika kamu merasa nyaman dengan kaus yang kebesaran itu” Ucap Papa, Jenny mengangguk pelan.
Malam ini, seusai makan malam aku dan Jenny segera bersiap untuk tidur. Dengan gerimis yang masih terdengar samar di luar sana, menunggu tiba hari esok pada tanggal merah. Meski pagi esok lelaki itu tak lagi berdiri di depan kelasku, namun “Selamat Pagi, Axel” aku akan mengucapkannya jika mentari kembali terbit. Meski Axel tak mendengarnya.