"Jadi apa yang kau dapatkan?" ujar suara disebrang sana.
Aku mengangguk dan menjawab. "Dipinggir kota Beffir, Rumah paling kecil dan kumuh di gang Meve. Ada sekelompok orang disana."
"Bagus. Apa yang mereka lakukan?"
"Akan kupasang alat penyadap. Tapi aku arus mengendap-endap masuk."
"Lakukan. Dan ingat, jangan sampai tertangkap."
Suara disebrang sana kemudian hilang. Bukan diputus, hanya saja ia tak berbicara lagi. Mungkin menunggu laporanku yang berikutnya.
Aku berjalan perlahan ke arah rumah itu. Dari jendela luar, aku mengintip.
Satu, Tiga, Lima, Delapan. Delapan orang duduk bersila dan membuat lingkaran dilantai.
"Kean, aku ralat kembali perkataanku. Ini tidak bisa dibilang rumah. Hanya ada dua ruangan disini. Ruang utama tempat mereka berkumpul dan Kamar mandi." laporku.
"Apa yang mereka lakukan?"
"Ugh, aku tidak bisa memasang alat penyadap. Jika aku memasukannya lewat jendela, mereka akan tau keberadaanku."
"Tempel alat itu dari luar. Mungkin akan terdengar sedikit."
Aku menuruti perkataan Kean. Dan benar saja, percakapan mereka sedikit terdengar.
Racun, Perampokan, Juara nasional, Narkoba, Kemewahan, Harmonis, dan... Midnight Sky?
"Apa yang bisa kau dengar?"
Aku belum menjawab. Aku terus fokus mendengar percakapan mereka.
"Kita... jam 12... ayo... Midnight Sky... menunggu..."
Apa maksudnya? Saat aku tengah sibuk berpikir, mereka berdiri, dan berjalan keluar. Ah, sial! Kenapa mereka keluar disaat-saat seperti ini?!
"Kean! Mereka keluar, menuju hutan!" seruku lewat voyager, alat telepon di telingaku.
"Ikuti mereka! Jangan sampai kehilangan jejaknya, 15 menit lagi Jean akan kesana." ujar Kean.
Saat aku ingin mengatakan pada Kean tentang hal yang tadi mereka bicarakan, tiba-tiba saja jaringan menjadi error. Terkutuklah kau signal bodoh.
Aku bersembunyi di belakang sebuah pohon besar diantara semak-semak, tak jauh dari lokasi 'mereka' saat ini. Di dalam hutan, mereka membuat lingkaran, dan bergandeng tangan. Di tengah lingkaran mereka terdapat tulisan Midnight Sky yang ditulis dengan kapur putih. Tunggu sebentar, apakah ini sebuah ritual pemujaan kepada setan?
"Kean? Kean, kau bisa mendengarku?" seruku.
Ugh, Kean tidak menjawab! Di tengah hutan seperti ini, tidak mungkin ada sinyal!
Tidak peduli pada Kean, aku mulai mengamati gerak-gerik mereka. Salah satu diantara mereka-yang dari tadi kuperhatikan selalu berbicara-menaruh sebuah lentera tepat di atas tulisan Midnght Sky.
Sepertinya dialah ketua kelompok ini. batinku.
Tubuh tegap, rambut ikal, hidung mancung, dan bola mata besar. Ditambah kupluk putih, dan jaket tebal coklat. Sudah kucatat semua ciri-ciri pria itu dalam ingatanku. Mungkin saja dia bisa menjadi petunjuk berikutnya mengenai perkumpulan aneh ini.
"Kean, kalau kau dengar, sepertinya ini perkumpulan pemuja setan dan uh, ilmu hitam?" ujarku.
Sepertinya aku benar, mereka mulai menyanyikan berbicara aneh seperti sedang bergumam dengan bahasa asing sambil berputar. Ketika lagu selesai, mereka kembali duduk bersila.
Aku mendekat ke arah mereka, aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Pohon dan semak-semak belukar ini sangat membantuku.
Mereka mulai berbicara, sepertinya tentang kisah hidup mereka. Dari yang kudengar, hanya nomer satu, tiga, lima, tujuh dan delapan-yang kuduga sebagai ketua kelompok-yang menarik perhatianku.
Aku mengingat ulang semua yang kudengar. Nomer satu pengedar dan pengguna serta bos mafia, nomer tiga pembunuh bayaran yang handal, nomer lima si pembantai yang tak kalah hebat, nomer delapan yang hidupnya bahagia, dan nomer tujuh yang dari tadi berbicara dengan kata-kata kiasan.
Aku berpikir keras. Nomer tujuh ini sangat menarik perhatianku. Ia menggunakan masker coklat. Sorot matanya tajam, tapi damai. Aku kembali bingung. Mungkinkah sebenarnya dia yang ketua kelompok ini?
Semua orang disini terlihat sangat mencurigakan. Aku tak bisa mengingat dengan persis semua ciri-ciri dan cerita mereka.
Mereka terus berbicara sampai pukul tiga pagi. Aku tak bisa mendengar suara mereka dengan jelas, karena hewan-hewan mulai terbangun dan membuat kebisingan.
"Lynn, kau bisa mendengarku?"
Ah, bagus! aku terhubung kembali dengan Kean. "Ke, aku mencurigai beberapa orang disini."
"Tidakkah mereka semua terlihat mencurigakan?" tanya Kean.
"Ya. Tapi lima orang ini terlihat sangat mencolok. Mereka semua—ah, aku harus pergi!"
Aku bergegas pergi menjauh ketika 'mereka' bangkit dari duduknya. Sepertinya ritual mereka telah selesai. Bodohnya, aku menginjak ranting. Suaraku cukup menarik perhatian mereka. Slah seorang diantara mereka mengeluarkan pistol dari sakunya. Si nomer empat, polisi gadungan yang sebenarnya adalah anak mafia yang menyamar.
"Mungkin hewan." ujar nomer Tiga.
Si nomer empat menaruh kembali pistol di dalam sakunya. Kemudian mereka berjalan kembali ke arah rumah tempat mereka tadi berkumpul. Sementara aku masih bersembunyi di dalam semak-semak, menahan napas dan suaraku.
"Hampir saja..."
Keringat masih bercucuran di keningku. Aku takut jikalau mereka tadi berhasil mengetahui keberadaanku. Bisa-bisa, misi ini gagal dan aku hanya tinggal nama.
Aku keluar dari hutan 15 menit setelah mereka keluar. Aku tak melirik ke rumah tempat mereka bertemu tadi, takut jika mereka membaca gerak-gerikku.
"Kean, Jean dimana?" tanyaku.
"Di perempatan Jln. Vogie."
Aku segera menuju kesana. Sialnya, aku bertemu dengan si nomer empat. Kuharap dia tidak mengenaliku. Aku menunduk, menghindari kontak mata saat berpas-apsan dengannya. Dan bagusnya, ia tidak menyadari keberadaanku.
Seorang gadis yang ku kenali sebagai Jean berasandar pada tiang lampu jalan, mungkin ia menungguku.
"Jean!" panggilku.
Jean menoleh, dan melambaikan tangan padaku. Aku menghampirinya, dan kami langsung masuk kedalam mobil. Melesat menuju markas kami. Di dalam mobil, Jean bertanya padaku.
"Bagiamana? Sukses?"
Aku menghela napas kasar.
"Biarkan aku berpikir dulu, aku akan menjelaskannya nanti."
Jean berdecak pelan. "Kapan?"
"Saat kita tiba disana, dan sedang bersama Kean agar aku tidak perlu mengulangi untuk kedua kalinya."
Jean berdecak lagi. Gadis satu ini memang tidak sabaran. Mungkin karena ia benar-benar penasaran, ia menancapkan gas penuhpada mesin mobil. Beruntung jalanan sedang sepi dan tak ada tanda-tanda adanya polisi. Jika tidak, sudah pasti kami akan ditilang.
Ckiit. Pedal rem diinjak penuh paksa oleh Jean. Tubuhku dan Jean sempat maju beberapa senti karena rem dadakan yang sanagt dipaksakan itu.
"Nah, sampai!" girang Jean seperti tidak ada apa-apa.
"Je! Itu tadi sangat berbahaya, kau tahu?!" bentakku.
"Shh, sudah ayo cepat masuk. Kean pasti sudah menunggu kita dari tadi."
Aku mendengus pelan. Kubuka seat belt ku dan membuka pintu mobil. Membantingnya dengan keras, dan berjalan santai kedalam markas-maksudku rumah.
Jean mencubit lenganku."Kau tahu? Mobilku bisa saja rusak jika kau membantingnya seperti tadi!"
"Itu bayaran yang setimpal karena kau menyetir secara ugal-ugalan."
Jean yang kesal mendobrak pintu rumah yang dihadiahi jitakkan keras dari Matt.
"Harga pintu itu mahal. Kalau rusak, apa kau mau menggantinya?!" bentak Matt.
"Aw, sakit, Matt!" keluh Jean.
Jean dan Matt kemudian beradu mulut. Kupingku panas mendengarnya. Beruntungnya Kean segera datang dan mengehntikan pertengkaran Jean dan Matt.
"Kalian berdua, hentikan. Tingkah kalian seperti anak yang berebut permen, kalin tahu?" kata Kean.
"Cih." decih Matt.
Bola mata Kean beralih kepadaku. "Lynn, ayo ikut aku. Matt dan Jean, Kalau kalian ingin dengar, maka diamlah dan coba untuk akur."
Aku, Matt, dan Jean mengangguk. Kami mengikuti Kean kearah ruang tamu. Tempat kami biasanya mendiskusikan misi-misi kami. Ah, aku baru ingat. Sebelumnya Matt juga melakukan misi di kota sebelah. Waktu diskusi kami akan panjang, dan akan membosankan pastinya.
"Lynn. Mulai laporanmu." pinta Kean.
Aku menjabarkan semua yang kuingat tentang perkumpulan mereka. Keanehan dan kenjanggalan, semua kupaparkan secara perlahan dan bertahap. Aku usahakan penyampaianku tidak membuat mereka kebingungan agar aku tidak perlu mengulang lagi.
"Delapan anggota, dan lima diantaranya terlihat mencolok, hm?" kata Matt. Ia memegang dagunya. Tampaknya ia sedang berpikir.
Jean ikut menimpal. "Justru aku lebih tertarik dengan nomer dua. Si gadis cantik itu."
"Kenapa?" tanyaku.
"Yah, kupikir ia berbohong. Dari ceritamu, sepertinya ia tidak bahagia. Ia bilang kalau ia bahagia dengan uang yang melimpah dan pacarnya yang sangat perhatian padanya kan? Justru aku berpikir sebaliknya. Ditambah dengan ciri-cirimu yang mengatakan makeup nya yang pucat dan kantung mata besar. Gadis cantik bahagia mana yang berpenampilan seperti itu?"
Kean tampak mempertimbangkan perkataan Jean kembarannya. "Masuk akal. bagaimana pendapat kalian tentang nomer delapan?" tanyanya.
"Si pria lentera yang Lynn curigai ketua kelompok itu? Ah, kupikir dia tidak terlalu mencolok. Coba pikirkan nomer Tujuh, si pria kiasan." kata Matt.
Aku mengangguk setuju. "Aku lupa bilang, awalnya kupikir si nomer delapan ini adalah ketuanya, tapi saat aku melihat gerak-gerik nomer tujuh, justru aku lebih berpikir bahwa dialah ketuanya."
Kean mengagguk. "Tidakkah kalian berpikir si nomer tujuh ini sangat mencurigakan?"
Matt setuju. "Jangan lupakan si nomer satu. Dia mafia, pengedar, dan pengguna. Ugh, dia tampak menyeramkan."
"Bagaimana dengan nomer enam?" tanyaku.
"Entahlah. Tampaknya dia bahagia. Mungkin bisa kita abaikan?" tanya Jean.
Kean menggeleng. "Di dunia ini, siapapun bisa menjadi penjahat. Jebakan dunia itu ada dimana-mana. Kau ragu, kau kalah."
Dan kemudian, kami berempat menghela napas kasar. Lelah dengan kedaan dunia yang keras ini.