Loading...
Logo TinLit
Read Story - Stuck In Memories
MENU
About Us  

Bus melaju kencang meninggalkan SMA Cendikia Bangsa menuju puncak pegunungan. Pepohonan tanpa buah melambai-lambai mengikuti lika-liku jalanan acapkali menggores kekaguman pada para penikmatnya. Nyanyian kemenangan, nyanyian hits masa remaja, atau melodi-melodi gitar yang tidak seluruhnya kuhapal menjadi bingkai kedamaian remaja tingkat akhir yang sebentar lagi akan merasakan perpisahan. Pahit memang, namun hidup harus terus berjalan walaupun tangga demi tangga impian tak sempat terjalin selama SMA. Seperti aku, yang dulunya bermimpi akan bertemu cinta, tapi hingga kini tak kunjung tiba. Seorang Salsabiela masih keras kepala mempertahankan satu lelaki di dalam hidupnya walaupun ditampar kenyataan pahit yang tak akan menang melawan ketulusan cintanya.

Ah, Lupakanlah.

Saat ini ada yang membuatku terbang mengitari angkasa. Aku berhasil menyelesaikan tugas dari Bu Mina tiga hari yang lalu di depan kelas bahkan mendapat tanggapan yang sangat baik hingga mereka yang menertawakanku dulunya memberikan dua jempol untuk Salsabiela yang belajar mati-matian. Sejak saat itu, aku tak henti-hentinya berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimkan guru privat yang membuatku tak perlu bolak-balik membaca buku tebal dengan milyaran kata-kata planet di dalamnya. Oh, senangnya.

            Bus mulai menanjak pertanda sebentar lagi tempat yang dituju akan menyambut kami. Pukul lima sore. Perjalanan memakan waktu lebih lama dari yang kami duga. Disampingku, ada Nina yang entah beberapa kali senyum-senyum sendiri menatap layar Handphonenya. Paling tidak, hanya berbicara padaku jika ingin buang air kecil atau mengusir kebosanan sejenak. Selebihnya Nina tenggelam dengan dunia fantasinya bersama Nazriel. Lelaki itu juga menanyakan kabarku tadi, hanya saja aku malas berinteraksi dengan Handphone bila sedang dalam perjalanan. Tuhan telah menghadirkan semesta yang indahnya menyejukkan hati dan mata. Mengapa harus berpaling pada benda persegi tak bernyawa dan membuat manusia lupa bila ada hal yang fantastis diluar sana.

“Yee... akhirnya nyampe juga”Seru Veronica diikuti pelampiasan perasaan lega anak-anak lainnya setelah enam jam dikepung dalam Bus. Berangsur-angsur turun dan melangkahkan kaki mereka di atas hamparan hijau.

“Udah nyampe, Nin” Ucapku sambil mengemaskan barang dan mengikuti langkah mereka.

            Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat ini. Suatu Mahakarya Tuhan yang tiada bandingnya. Ribuan perkebunan teh berjejer rapi dibawah bentang pegunungan hijau dan lembah landai. Di tengah-tengahnya ada para wanita setengah baya sedang menuruni lereng-lereng kebun sambil memikul keranjang penuh berisi daun teh murni yang siap dipanen.

 Luar biasa.

Siapapun yang melihat keajaiban ini pasti memohon agar mata mereka tak berkedip sedetik pun bila memungkinkan.

            Gerombolan-gerombolan siswa-siswi berlarian di perkebunan untuk berfoto ria dan beberapa lainnya hanya bertindak sebagai penonton. Ada juga dua sejoli yang mengasingkan diri mereka dari keramaian dan menikmati keindahan sekitar tempat perhentian Bus ketika guru-guru, termasuk Pak Helmy sedang mengatur schedule dan administrasi villa guna kami tempati.

“Biel, Biela! Ayookk!” Teriak seseorang di ujung sana. Aku cekikikan ketika melihat Nazriel dan Nina yang sudah berada di tepi kebun teh untuk ber selfie. Aku menggeleng. Membiarkan mereka terhanyut dengan kebersamaan yang telah dirancang sebaik mungkin. Kedua sahabatku itu tampak bahagia dan biarlah aku yang menjadi pengagum setia kemesraan mereka.

            “Ah, kamu romantis banget sih, Beb..” Kata seorang wanita kepada pria yang dicintainya di atas sepeda. Tak kalah menarik, Peter membonceng Yofanna mengelilingi lereng-lereng kebun. Romantis sekali. Tanganku tanpa sengaja mengeluarkan kamera dan...

 “KLIK!”

Aku berhasil mempotret kebersamaan mereka dari jauh. Nazriel dengan Nina. Peter dan Yofanna. Hasilnya lumayan bagus dan cocok ditempel di mading sekolah. Yah, walaupun hatiku ini ditikam dan berdarah. Hiks!

            “Anak-anak! Berkumpul semua!” Perintah Pak Helmy. Dengan langkah malas berpasang-pasang kaki saling bertemu untuk mendatangi sang empunya mendengar titah Pak Helmy. Aku bangkit dari posisiku yang dari tadi duduk bersila. Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di bahuku. Merangkul sedemikian akrabnya. Aku menoleh, dan lagi-lagi Nazriel yang melakukan itu sambil menyunggingkan senyuman mautnya. Aku menjelajahi pandangan untuk mencari keberadaan Nina agar dia tidak berpikiran macam-macam.

            “Nina lagi ke kamar kecil sama Dea. Ntar juga kesini kok”. Ungkap Nazriel mengangkat satu alisnya. Kami jalan berbarengan. Pelan-pelan aku menggerakkan bahuku agar Nazriel mengerti maksudku. Benar saja, ia melepaskan rangkulannya dari pundakku sementara aku hanya membalasnya dengan senyuman hambar.

            “Semua pembagian villa udah ditentukan. Ada enam villa. Dua villa untuk dua kelas. Pisah putra dan putri”. Pak Helmy mengelap butir-butir keringatnya karena terlalu lelah mengkoordinasi kami selama perjalanan.

            “Malam ini semuanya istirahat. Tidak ada yang keluar malam-malam tanpa melapor pada saya. Nanti ditiap-tiap villa ada guru-guru yang akan memantau kalian. Mengerti?!” Lanjutnya.

            “Mengerti, Pak” Jawab siswa serentak.

            Hari kian senja. Kutuntun langkah malas ke tempat peristirahatan kami malam ini. Melelahkan memang. Langit jingga di ufuk sana ternyata berpesan, bahwa esok akan menjadi hari paling menakjubkan dan dipenuhi dengan kemekaran daun-daun teh yang menyapa lembut setiap pagi hingga petang. Langit jingga juga berpetuah agar tidak terlalu membayangkan hal-hal buruk pada hari esok. Tak perlu mengkhawatirkan segala hal sekalipun yang berhubungan dengan orang-orang yang kau sayangi. Baik itu, Nina, Nazriel, maupun Peter. Sepertinya iya. Kita lihat saja nanti.

***

            Sejuknya pagi mulai menggerogoti tulang. Membuat siapapun yang merasakannya malas untuk berpikir dan sekedar bertanya ini sudah pukul berapa. Lebih memilih terlelap dalam buaian kerlipan malam menyaksikan berpasang-pasang bintang yang berdansa diiringi meteor langit yang terus menghujam. Bintang memang indah, menetapkan kilauan dari berbagai sudut seginya untuk membuat sang bulan terkagum habis-habisan.

            “Biel, bangun, Biel! Udah morning nih!” Kata seseorang di ujung sana. Aku membuka kelopak mata perlahan dan mendapati Nina juga beberapa teman yang lain sudah siap dengan baju kaos, celana training, dan sepatu olahraga. Ada juga yang masih berbalut handuk dengan wajah terkantuk-kantuk. Menurutku, mereka sudah agak gila dengan kostum seperti itu untuk bersaing dengan keindahan kilauan bintang-bintang.

            “Biellaaaaaa!!!” Teriakannya semakin keras hingga mengejutkanku yang langsung bangkit saking tajamnya. Aku meletakkan masing-masing dua jariku di kelopak mata untuk mengangkatnya sehingga lengkaplah kini. Mataku membesar langsung menghantarkanku pada objeknya. Nina, Keylin, Hania, Gadis, Tasya, dan Ibu Mina.  Sekawanan yang berteriak kencang itu tepat berada di dua kelopak mataku. Cepat-cepat kuambil handuk di koper dan menunggu antrian mandi.

***

            Pukul 6 pagi. Lebih dari setengah siswa sudah berada di luar villa. Ada yang dengan sepeda fixie nya. Ada  juga yang sedang mengitari kebun teh sambil sesekali menyapaku. Tiba-tiba dua sepeda melintas di depan mataku yang masih belum puas menyisir tepi demi tepi pemandangan pagi. Yang satu seorang perempuan mungil berkucir satu dengan seragam olahraga lengan panjang warna pink pudar ,dan disebelahnya lelaki berbadan atletis dengan kaos hitam dan celana hitam selutut juga sepatu olahraga yang membuatnya terlihat semakin mengagumkan.

            “Dasar pemalas! Kita udah putar-putar puncak seribu kali. Dianya mah baru siap-siap” Umpat Nazriel diikuti dengan timpalan Nina yang membuat mereka puas menertawaiku. “Yok lah, sini aku boncengin aja.” Lanjut Nazriel.

            Aku menatap Nina yang sepertinya agak berat bila hal itu harus terjadi. Tanpa meminta pertimbangannya, aku langsung menyampaikan ideku agar tidak lagi terjadi salah paham dengan hubungan kami.

            “Gue minjem sepeda Nina aja. Nah, terus loe berdua jalan-jalan deh kemana yang loe suka”. Aku buru-buru mengusir Nina dari sepedanya.

            “Eh, loe gila ya?” Kata Nina setengah berbisik dan ku respon hanya dengan kedipan mata.

            Dua sepeda berjalan beriringan. Setelah menempuh jarak seribu meter menyusuri pematang sawah dan hijaunya perkebunan, kami berpisah dengan alasan aku ingin jalan-jalan sendiri dan mereka memaklumi. Sepeda ini memang hanya diduduki oleh aku saja. Terlihat lebih baik walaupun harus melewati mereka-mereka yang berboncengan. Sesekali ada yang mengejekku “Jones” alias jomblo ngenes hanya karena kenyamananku seperti ini.

            Mengagumi karya Tuhan adalah hal magis dalam hidup manusia. Segala sesuatu ada pada dasarnya untuk disyukuri. Memandang Ibu-ibu muda dan separuh baya memetik daun teh pun merupakan kehangatan tersendiri dalam dimensi waktuku. Bila waktu dapat diputar dalam rotasi yang menemukan ujungnya, aku ingin terlahir di sini. Dimana dapat mandi air dingin setiap pagi untuk ke sekolah, mengitari pematang sawah di lereng gunung yang mendekap perkebunan teh di bentang khatulistiwa. Menyapa langit biru dan langit jingga tanpa melihat arloji berkali-kali. Semuanya begitu mengesankan, tentunya bila dikelilingi oleh orang-orang yang disayangi.

            Aku membentangkan kedua tangan di udara. Menghirup bulir-bulir udara segar yang tak pernah di dapatkan di Jakarta. Tentang waktu, aku tidak tau ini sudah pukul berapa. Aku telah berada pada keindahan baru, jauh dari sejoli-sejoli yang berboncengan mesra. Melewatkan tujuan sebenarnya berkunjung ke kebun teh pun sudah kulupakan karena aku tak ingin ada yang mengganggu surga sejenakku ini.

            Pohon – pohon cemara menyapaku berharap berteduh dibawahnya. Menyenangkan sekali. Di setiap sudutnya aku dapat menjumpai sahabat-sahabatku ini. Tapi ketika ingin berhenti, aku mendapati seseorang dibawahnya dengan wajah cemberut. Yofanna. Dia seperti melambai-lambai padaku hingga berenti tepat di depannya.

            “Eh, loe. Gue nggak tau siapa nama loe karena memang nggak penting” Ucapnya sombong yang membuat tekanan darahku naik tujuh puluh persen. “Loe anterin gue ke basecamp, gue kesel nungguin dia berjam-jam disini. Lihat deh! ini make up udah luntur, baju gue udah jorok, iihhh..”Lanjutnya sambil menumpangi tubuhnya dibelakangku.

            “Apaan sih? Pergi aja sendiri, gue mau jalan-jalan” Jawabku ketus namun Yofanna menyergapku dari depan.

            “Anterin gue, pliss. Loe pasti anak baik kan? Gue ditinggalin cowok gue ke bengkel sepeda katanya deket-deket sini karena tadi bannya kempis.” Ucapnya memelas. Aku membuang muka dan memasang wajah sombong.

            “Iya deh. Gue minta maaf udah sering ngejek loe. Janji gak bakal lagi. Ya, ya?”. Lanjut gadis berponi rapi dan dandanan serba Barbie mulai dari rambut hingga sepatunya. Diam-diam aku iba juga melihat manusia Borbie ini.

            “Yaudah, tapi kalo loe kenapa-napa. Jangan salahin gue!”. Ancamku dan dia hanya mengangguk seperti anak kecil.

            Gadis menyebalkan yang hanya mengandalkan fisik dan hartanya. Meremehkan orang culun sepertiku dan Nina. Juga yang telah merampas pangeranku kini sedang bersama orang yang sedang sangat membencinya. Salsabiela Saffarizky. Beragam ide untuk mengerjai gadis ini pun mulai terbersit namun kuurungkan saja karena Yofanna berceloteh banyak hal padaku. Tentang kekesalannya pada Peter yang membuatnya menunggu hingga masalah keluarganya. Aku bingung dengan manusia ini, padahal aku adalah orang yang sekedar lewat, tapi mengapa dia bercerita begitu banyak hingga masalah pribadinya?

            Pelan-pelan aku mulai berbagi cerita dengannya tentang persahabatanku dengan Nina yang membuat Yofanna ingin memiliki persahabatan indah seperti yang kami jalani. Dia berulang kali bercerita tentang teman-temannya yang kerap kali meninggalkannya ketika menghadapi masalah. Aku hanya berperan sebagai pendengar dan menasehatinya semampuku lalu ia mengucapkan terima kasih berulang kali. Pelan-pelan, aku merasakan ketulusan yang terpancar dari bibirnya. Satu hal yang membuatku terpukau sekaligus sedih. Ketika ia berkata bahwa ia mencintai Peter lebih dari mencintai dirinya sendiri.

“Fan! Yofanna!” Teriak seseorang dari belakang. Aku mengerem sepeda atas perintah Yofanna dan mendapati seorang laki-laki tinggi dengan jaket maroon, celana kaos sejengkal dibawah lutut dihiasi sepatu olahraga hampir mirip dengan sepatu Nazriel. Sebuah earphone  melingkari lehernya membuat ia terlihat sempurna dimata siapa saja. Itu pangeranku. Maksudku, pacarnya Yofanna.

            Melihat laki-laki itu mulai mengendarai sepedanya semakin mendekat, Yofanna buru-buru memintaku untuk melanjutkan mengemudi dan mempercepat laju agar tidak sampai disamai oleh Peter. Aku ikut saja. Karena Yofanna telah ku anggap sebagai teman dan Peter pantas mendapatkan perlakuan ini. Aku terus memacu sepedaku sekuat tenaga.

BRUKK!!.

Sebuah sepeda terpental hingga menjatuhkan pengemudinya yang membentur sebuah batu besar. Tetes demi tetes darah segar keluar dari lututku. Perih sekali. Cepat-cepat ku lihat Yofanna yang juga jatuh terduduk dan merengek.

            “Aw, sakit banget!” Rengeknya. Sikunya berdarah, namun tidak separah lututku sementara dia masih sanggup bangkit.

            Peter yang lawan balapanku itu berhasil mengalahkan kami dan buru-buru menghampiri Yofanna. Raut wajahnya tampak menyesali suatu keadaan dan mulutnya berulang kali berujar kata “maaf” untuk pacar cantiknya itu.

            “Apaan sih! Jangan dekat-dekat! Dari tadi tuh aku capek nungguin kamu. Keringetan, pegal, jatoh lagi. Sakit tau!” Omelnya. Yang diomeli malah garuk-garuk kepala seperti salah tingkah.

            “Maaf deh, Sayang. Tadi kan aku nggak sengaja. Aku antar kamu pulang, Ya,” Bujuk Peter menggenggam tangan Yofanna. Yofanna melepaskan genggaman itu dengan kasar.

Entah apa lagi percakapan selanjutnya. Sakit yang juga kuhadapi ini mungkin tidak menjadi perhatian mereka. Karena pacaran mungkin jauh lebih penting daripada seseorang yang sangat  mengharapkan sebuah pertolongan. Aku mencoba bangkit, namun berulang kali gagal. Tanpa sadar butiran-butiran bening jatuh dari sudut kedua bola mataku karena sakit yang semakin menusuk-nusuk.

“Eh, gue udah minta maaf sama loe. Nggak usah belagak sok yang paling benar, deh. Balik sama gue sekarang atau enggak?!” Peter meninggikan suaranya.

“Enggak!” Balas Yofanna sambil melipat tangannya di dada.

Si laki-laki pemilik kesempurnaan itu menggenggam tangan halus Yofanna dan mengarahkannya pada stang sepeda.

“Loe bisa pulang sendiri, kan?!” Ujarnya sambil menatap Yofanna tajam. “Cari cowok lain yang bisa loe perintah seenaknya!

Yofanna terdiam. Air mata mulai membasahi wajahnya lalu dengan penuh kebencian, ia mengemudi sepeda yang tadinya dinaiki Peter seorang diri tanpa menoleh ke arah kekasihnya itu, apalagi padaku. Aku dapat mendengar matanya yang bercerita. Mata dari seorang hawa yang yang bercerita keadaan hatinya yang lebih dari sekedar rasa sakit.

Tinggallah aku dan dia disini. Si bodoh dan Pangeran Harimau yang frustasi ditinggal kekasihnya. Lelaki itu duduk beberapa meter dari tempatku terpental dan menahan luka. Dia menatap lurus ke depan tanpa menoleh sedikitpun. Menyindir hatiku agar tetap diam di tempat ini atau mencoba bangkit sebisaku untuk berjalan semampuku dan menghindarinya. Tiga puluh menit diam seribu bahasa. Aku dan dia. Kenapa dia tidak mengejekku “bodoh” seperti yang selalu dia lakukan?

Laki-laki itu duduk memeluk lututnya, terkadang berjalan kesana kemari namun masih tertangkap dalam pandanganku. Masih di wilayah tempatku mendekap luka dalam kebimbangan. Tempat dia meregam pilu setela ditikam menit-menit pembunuh cintanya. Tempat kami menciptakan keheningan berharap datangnya suara-suara.

Tak ada gunanya aku disini. Pelan – pelan kucoba bangkit namun sakitnya semakin parah hingga tanpa sadar aku mengeluh karena terlalu sakit. Peter menoleh. Ketika kami saling bersitatap, aku mengalah dengan menundukkan wajah dari pandangannya. Langkah seseorang terasa semakin mendekat ke arahku mengisyaratkan agar menahan mataku untuk menghadap pada seseorang itu. Tapi isyarat dikalahkan oleh sebuah kenyataan. Untuk yang pertama kalinya, dia berbicara padaku.

“Kalo nggak bisa balapan sepeda, mending gak usah nantang segala” Ujarnya sambil duduk disampingku. Aku gelagapan. Tak tau harus bagaimana menjawab pernyataan dari bibir tipisnya.

“Rentangkan aja kakinya, ditekan-tekan di daerah luka biar darahnya keluar”. Lanjutnya. Dia menyandarkan badannya di batang pohon cemara. Aku mengikuti sarannya tanpa berkata-kata.

“Apa salahnya mengikatkan sapu tangannya di lututku. Seperti yang sering di film-film romantis” Batinku kesal.

Aku mematung setiap kali berhadapan dengannya. Padahal dia adalah orang yang berulang kali membuatku jengkel. Kali ini ia menutup matanya. Mulutnya menyunggingkan senyum seolah terbawa alam berwarna, entah itu menurutku saja. Tapi melihatnya seperti ini, jauh lebih baik daripada tatapan tajam dan horor hari-hari yang lalu. Melihatnya tersenyum seperti ini, aku merasakan keteduhan yang lebih dalam dibandingkan sayuman teduh Nazriel. Pelan-pelan ia membuka matanya dan kami beradu pandang. Ia seperti mengetahui ada orang bodoh yang sedang memperhatikannya dari tadi. Spontan saja aku menyodorkan tanganku padanya untuk menutupi kebodohanku ini.

“Nama gue Sal....”                                       

“Salsabiela Saffarizky” Dia memotong kata-kataku sambil tersenyum simpul.”Norak banget sih loe!”Sindirnya acuh

“Maksud loe?”

“Orang bodoh mana yang nggak kenal cewek aneh kayak loe?” Peter tertawa menyindir. Aku hanya nyengir dan memasang wajah cemberut. Kami terjebak dalam kekakuan dengan mata yang saling curi pandang.

“Kenapa gak balik?” Tanyaku sambil melihatnya sekilas. Yang ditanya hanya memandang lurus kedepan

Sesaat kemudian dia menoleh ke arahku. “Loe sendiri, kenapa gak balik?”.

“Bangkit aja nggak sanggup, gimana mau balik.” Jawabku. “Loe sendiri, kenapa nggak langsung balik?” Tanyaku lagi.

“Emang loe ikhlas kalau gue bawa sepeda ini dan ninggalin loe sama hantu kebun teh?” Kami menatap sepeda Nina yang ku kendarai dan hanya satu-satunya itu.

            “Apaan sih loe! nggak usah ngomong yang macam-macam. Ngeri tau!”. Tanpa sadar aku meninju bahunya. Peter tertawa geli melihat wajahku yang ketakutan. Aku memang paling anti disinggung dengan hal yang berhubungan dengan hantu dan semacamnya.

            Semilir angin meniup pohon cemara yang berjejer rapi dibawah kaki gunung.  Berhembus di lukaku yang kian kering karena perbincangan dingin kami. Berulang kali kucubit lenganku untuk memastikan bahwa ini bukanlah sekedar mimpi. Dia berbicara padaku. Dia membuatku kesal sekaligus tertawa tiada ujungnya. Jika ini mimpi, aku tak ingin terjaga. Sungguh.

            “Serius, loe bego banget. Ngapain muter-muter di lapangan waktu itu. Mana hujan lagi. Kalo nggak ada gue, mungkin udah jadi mayat illegal” Candanya ketika aku bertanya alasannya melemparkan sapu tangan ketika akan pingsan dulu.

            “Enak aja. Yang bantuin gue tu Nazriel, bukannya cowok kayak loe” Balasku. Tawanya mereda seketika.

            “Nazriel?” Tanya Peter. Aku mengangguk. Sesaat kemudian kami kembali terdiam bertepatan dengan angin yang juga meredakan helaiannya. Aku tak memiliki keberanian mengajaknya kembali bersuara karena membaca hal buruk dari matanya. Sesuatu yang sedang bergelut dalam pikiran yang abstrak. Aku lebih memilih berpura-pura terbawa sentuhan angin dan menutup mata seolah tertidur yang sebenarnya sedang memperhatikannya dalam samar-samar.

            Ia beranjak. Menuntun kakinya menjauh kira-kira tiga puluh meter dariku. Ia sama sekali tidak menoleh. Menerawang pada suatu objek yang entah apa. Matanya menengadah dan gerak-geriknya menandakan suatu hal yang sulit kutangkap. Cepat-cepat ia berlari menuju sepeda dan menaikinya. Tak butuh hitungan menit dia tiba di depanku.

            “Woy! Bangun loe.” Sapanya.

            Aku pura-pura tak mendengar dan menutup rapat kelopak mataku.

            “Udah, gak usah sok tidur segala. Drama banget sih ni anak” Lanjutnya. Aku membuka mata pelan-pelan dan memperhatikannya yang merogoh saku celana.

            Peter melemparkan dua lembar hansaplast. “Tuh, pake aja dua-dua. Abis itu ikut gue”.

            Aku mengikuti sarannya. Dengan telaten kutempelkan benda itu ke lututku.

            “Kenapa nggak dari tadi sih?,” Batinku kesal.

            “Naik” Perintahnya. Dia bahkan tidak peduli dengan kakiku yang masih nyeri dan sulit digerakkan.

            “Apaan sih? Kaki gue masih sakit.” Celotehku.

            “Loe mau sembuh nggak? lebay banget. Baru luka gitu aja.” Peter turun dari sepeda dan berlutut di depanku. “ Sesakit apapun itu harus dilawan. Nggak ada sakit yang sembuh kalo hanya di manja-manjain”.

            Dia menatapku. Tatapan yang begitu tulus dari dua bola mata legam yang berhasil menyihir lawan bicaranya.

            “Tapi gue harus berdiri kan, nggak ada tempat duduknya. Tambah sakit malah”. Ungkapku

            “Loe nggak dibonceng sama kupu-kupu kan?” Ucapnya sambil melingkarkan tanganku dibahu gagahnya untuk membantu berdiri. Awalnya terasa ngilu, tapi lama kelamaan aku seperti tak merasakan sakit sama sekali. Kami saling bersitatap lalu dia memancarkan senyum khasnya lagi yang membuatku jatuh cinta berkali-kali.

            “Peter, kita kemana?” Tanyaku saat kami akan siap melaju.

            “Nurut aja. Ini obat yang paling mujarab penyembuh luka yang nggak akan loe temuin sama dokter manapun.

Siap?” Dia menoleh ke arahku dan hanya mengangguk ragu.

            “Pegangan yang erat. Kalo jatoh nggak bakal ada yang bantu. Obat ini limited edition” Lanjutnya.

 Peter mulai mengendarai sepeda bagaikan pembalap yang sedang dikejar oleh lawannya yang berselisih 5 cm.  Kecepatan yang memompa darahku lebih cepat hingga benar-benar menggenggam bahunya lebih erat. Melewati tanjakan curam, jalan dari tanah liat berkelok-kelok yang nyaris membuat kami meluncur ke jurang terjal. Aku menjerit. Bukan karena takut, tapi melepaskan tekanan yang sudah lama ingin ku teriakkan. Dia membawaku ke surga hijau yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.

Pematang sawah yang padinya siap panen, perkebunan teh yang bertingkat-tingkat, hingga danau-danau kecil tempat kura-kura menjejakkan keabadiannya. Harus kusebut apa keindahan ini? Mengitari puncak  Nirwana dengan laki-laki yang sangat kucintai. Tentang sakit yang tadi. Aku berani bertaruh bahwa luka ini telah hilang. Tenggelam dalam dunia imajinasi realistiku.

“Peter......................!!! Loe sialan banget!!” Teriakku bebas di alam. Dia tertawa lepas dan mengayuh sepedanya lebih cepat.

Sesekali ia menoleh padaku sembari memamerkan gigi gingsulnya. Semesta menatap kagum perjalanan kami yang sukar ditebak. Tidak ada dua manusia yang bisa dekat begitu saja setelah berlama-lama tak pernah bertegur sapa. Siapa sangka perempuan dingin sepertiku akan tertawa lepas mengalahkan riuh angin cemara dan membawa sebongkah kebahagian. Terang saja, aku adalah perempuan paling bahagia saat ini. Hanya aku.

Tujuh jam lamanya kami menghabiskan waktu berdua. Mengitari surga dunia dan Nirwana batin dalam mimpi. Maksudku, mimpi yang menjadi nyata. Peter membelokkan stang sepeda ke sebuah liku kebun teh di petang itu ketika semburat jingga melayangkan tangannya berucap ‘selamat tinggal’ pada dua bocah nakal yang meninggalkan tujuan utamanya berkunjung disini. Entah apa yang akan dikatakan guru dan anak-anak nanti.Yang kutau akan menghadapi apapun yang terjadi hanya berdua. Bersamanya.

“Kasian, loe. Kelihatan banget manusia kurang kebahagiaan” Sindirnya ketika aku sibuk mengatakan ‘hati-hati’ saat dia membelok-belokkan stang sepeda mengikuti liku kebun.

“Lah, dari tadi yang ngebut sepeda kaya orang gila dan ketawa-ketawa gak jelas, siapa?. Itu yang namanya kurang kebahagiaan.” Balasku. Dia melambatkan sepeda.

“Itu namanya kelebihan kebahagiaan. Terus yang teriak-teriak nggak jelas tadi, siapa?. Orang stress kali, ya?”

Aku melayangkan kaki kananku ke kakinya yang sedang mengayuh sepeda hingga lukaku yang tadi kembali terasa. Yang mengayuh sepeda tertawa geli dan kembali mempercepat lajunya.

***

 “Biela................!!!” Pekik Nina begitu lantangnya hingga semua mata memandang ke arah kami setibanya di depan Villa. Kali ini diluar dugaanku. Di bawah semburat jingga gelap hampir dipenuhi kumpulan teman-teman juga guru-guru yang memandang kami geram.  Dengan langkah sigap Pak Helmy berjalan kearah kami dengan degap degup suara sepatunya yang mencekat kerongkonganku.

“Darimana saja kalian?” Bentaknya. Aku berlindung  di belakang tubuh Peter.

“Kita abis jalan-jalan, Pak.” Jawabnya tanpa rasa bersalah. Aku menelan ludah, beraninya anak ini?

Kemarahan Pak Helmy tampak semakin menjadi-jadi terlihat dari ekspresi wajahnya.

“Jalan-jalan ke mana?” Nada Pak Helmy semakin meninggi membuat semua yang hadir bungkam.

“Menikmati keindahan Indonesia, Pak. Terutama kebun teh.” Jawab Peter santai.

Emosi Pak Helmy mendekati klimaks, seketika hendak mengayunkan telapak tangannya ke wajah Peter yang segera menghalau wajahnya dengan kedua lengan. Untungnya guru-guru yang lain lekas bertindak. Aku sampai-sampai tak habis pikir dengan sikapnya yang sangat jujur dan tak gentar itu. Kucubit lengannya namun dia tak menoleh sedikitpun.

Selang beberapa menit. Emosi Pak Helmy sedikit mereda setelah membincangkan sesuatu hal pada guru-guru. Kumanfaatkan untuk turun dari sepeda dan berlari tergopoh-gopoh memeluk Nina. Aku sangat panik saat itu sementara yang menculikku hari ini hanya menjawab dengan santainya. Tak terlihat sedikitpun ketakutan dalam diri nakalnya itu.

Pak Helmy mendekati Peter yang masih duduk diatas sepeda dan berbicara lagi. Kali ini suaranya sedikit melemah.

“Kalian dihukum. Tugas kalian adalah membuat laporan kunjungan di kebun teh ini sebanyak dua lembar HVS, dilanjutkan dengan laporan praktik lapangan bertema ekologi sebanyak tiga lembar HVS, dan terakhir, tulis permintaan maaf kalian untuk semua guru dan teman-teman yang sudah pontang-panting mencari dua manusia yang tidak tau malu ini. Mengerti?”. Jelas Pak Helmy. Sedetik kemudian ia melirik wajahku yang tertunduk malu

“Mengerti, Pak!” Jawab Peter lantang lantas memandangi punggung Pak Helmy yang bergerak menjauh. Kali ini matanya beralih tepat ke arahku dan mengayuh sepeda hingga memarkirnya di depanku dan Nina. Beberapa mata melihat langsung kejadian itu dan beberapa lagi memilih cuek dan melanjutkan kesibukan mereka.

Dia turun dari sepeda mendongakkan wajahnya dekat wajahku yang berusaha menghindar. Aku paham bagaimana ekspresi wajah Nina yang berada disampingku saat itu. Wajah Peter semakin mendekat dan berbisik.

“Tugasnya. Gue titip sama loe ya” Katanya sambil tersenyum ketus dan berjalan angkuh. “Oh ya Nina, thanks sepedanya”. Lanjutnya. Perasaaan dongkol menggerogoti hampir seluruh hatiku. Laki-laki itu lagi-lagi membuatku ingin membinasakan dunia. Menyebalkan sekali.

***

Villa kecil itu disesaki remaja-remaja yang sedang membereskan peralatan mereka. Berbagai jenis pembicaraan menggema dari setiap bilik kecil persinggahan kami. Tidak sedikit yang memilih topik pembicaan tentang begitu beratnya meninggalkan tempat itu setelah melakukan penelitian dan hal manis yang mereka rasakan. Tampaknya obrolan yang menarik, karena aku juga merasakan hal yang sama. Otakku dari tadi hanya menari-nari diatas memori romantis bersama makhluk menyebalkan itu walaupun setelahnya harus bergelut dengan tugas yang sama menyebalkan. Ah, Asalkan karenanya, aku siap mengerjakan apa saja, batinku sambil tersenyum malu.

Seseorang bertubuh tinggi ramping berjalan di depanku. Matanya sembab dan berkaca-kaca namun dengan tegap menatapku yang perlahan memberi senyum padanya. Yofanna tak berkutik. Hanya memandang seolah menyalahkanku. Aku percaya maksudnya, karena wanita lugu sepertiku telah melampaui batas. Merengkuh kesenangan abadi miliknya. Mungkin ia berpikir seperti itu walaupun lebih dari seulas senyum yang kusunggingkan.

Beberapa saat kemduian, seseorang yang lain menyikut lenganku dan mengisyaratkan agar ikut dengannya. Bukan Yofanna. Tapi wanita mungil sahabatku. Kakinya  menuntunku ke depan villa menjauhi kesibukan teman-teman membereskan barang-barang mereka. Nina menggenggam kedua lenganku yang hanya memakai kaos oblong lengan pendek. Dingin sekali. Lebih dingin dibandingkan dia yang memakai kaos lengan panjang dan aku baru ingat bahwa lupa membawa jaket dan kaos lengan panjang. Sesaat kemudian Nina melipat tangannya ke dalam.

“Jelasin sama gue, ngapain aja loe sama Peter tadi pagi sampe pulang petang-petang segala” Ucapnya membelalakkan mata.

“Nggak ngapa-ngapain”. Aku juga ikut melipat tangan ke dalam. “Sepeda loe direbut sama dia, nah gue pulang naik apa, donk?”

“Itu bukan jawaban dari pertanyaan gue, Biela. Nggak mungkin dua orang nggak ngelakuin apa-apa sampe pulang petang begitu!” Tegasnya lagi. Suara Nina meninggi.

“Nah berarti loe udah tau jawaban gue” Aku menjulurkan lidah padanya. Nina tambah kesal dan buru-buru menarik lenganku ke tempat yang lebih sepi.

“Loe aneh sejak tadi, beda dengan Biela yang gue kenal. Loe ngapain aja sama si sok perfect itu? Tau nggak sih, orang-orang pada setengah mati nyariin loe berdua! Gue sama Nazriel berulang-ulang nelpon tapi nggak ada jawaban!”

Nina menarik napas panjang.

“Biel, gue bela-belain nggak makan sampe sekarang karena nggak ada loe. Gue cariin loe kesana kemari sementara anak-anak menuduh loe macam-macam dengan Peter karena lihat Yofanna pulang sendiri dan nangis-nangis histeris karena Peter. Gue belain loe, Biel. Gue bilang kalo loe nggak mungkin bersama Peter saat itu dengan seribu alasan yang bisa diterima sama otak mereka. Dan tiba-tiba dugaan mereka benar, loe pulang boncengan sama Peter. Saat itu rasanya omongan gue kayak sampah bagi mereka dan gue nggak tau harus bilang apa lagi.”

            Nina terdiam sejenak dan aku sengaja tidak menjawab karena yakin sahabatku ini belum selesai melampiasakan kekesalannya padaku.

            “Dan sekarang, loe pikir ini main-main disaat gue butuh penjelasan dari loe, Biel!” Suara Nina semakin meninggi.

            Aku menutup mata. Ku peluk Nina yang lelah seharian karena ulah bodohku. Dia juga memelukku erat. Layaknya seseorang yang merindukan pembelaan. Dalam kehangatan itu aku berbisik.

            “Nggak ada sahabat terbaik selain loe, Nina emang luar biasa. Makasih...... banget. Nggak tau deh harus gimana kalo tanpa Nina. Tadi siang, Peter membawa gue jalan-jalan ke dunianya, Nin. Ke dunia yang juga udah lama gue rindukan. Dan gue rasa, kami telah menyusun surga kami disana.”

            Nina melepaskan pelukannya.

            “Sejak kapan loe jadi romantis gini? Drama banget sih loe? mana ada cowok bego yang mau ngajak loe jalan-jalan? Mimpi kali..” Nina menepuk pipiku sebelah kanan.

            “Mimpi?” Ucapku. Selangkah kemudian seseorang tepat berada lima belas langkah di depanku. Di belakang Nina. Seseorang itu sedang menatapku tajam, lambat laun bibirnya menyunggingkan senyum meneduhkan. Lebih teduh dari milik lelaki yang ku nobatkan memiliki senyum terteduh setiap waktu. Seseorang yang barusan kuceritakan tadi menghipnotisku seketika untuk tak berpaling dari tatapannya.

            “Biela!” Panggil Nina yang mengalihkan pandanganku pada objek yang dari tadi kutatap. Secepat kilat tubuh Peter  tak terlihat lagi. Menghilang tanpa kusadari. Aku memeluk Nina.

            “Iya, gue mimpi seharian. Makasih ya udah ngebangunin, hehe...” Candaku.

            Nina yang pasrah tubuh mungilnya kupeluk hanya tertawa sambil memastikan bahwa otakku tidak bergeser beberapa senti dari semestinya. Oh Tuhan, akankah momen itu akan terulang lagi untuk kedua kalinya?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (10)
  • dear.vira

    @Ardhio_Prantoko hehe, terima kasih sudah membaca :)

    Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh
  • Ardhio_Prantoko

    Cerita remaja yang bikin aku ketawa bacanya. Pembawaan ceritanya bagus. Aku cenderung suka mode showing, tapi ini mode tellingnya enak.

    Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh
  • NinaKim

    Baper :(

    Comment on chapter Peter
  • dear.vira

    @yurriansan terima kasih :)

    Comment on chapter Peter
  • yurriansan

    bagus, baru baca bab awal udah penuh misteri ceritanya

    Comment on chapter Peter
  • dear.vira

    @MS_Wijaya terima kasih banyak 😊

    Comment on chapter Peter
  • dear.vira

    @ShiYiCha terima kasih, oke pasti di like back👍

    Comment on chapter Peter
  • MS_Wijaya

    wah keren ceritanya Kak..

    Comment on chapter Peter
  • ShiYiCha

    Wiw... Nice story. Larut bacanya. Cemungut terus, ya Kak bikin ceritanya.
    Btw, likeback ya.

    Comment on chapter Peter
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter Peter
Similar Tags
Premium
The Secret Of Bond (Complete)
6075      1366     1     
Romance
Hati kami saling terikat satu sama lain meskipun tak pernah saling mengucap cinta Kami juga tak pernah berharap bahwa hubungan ini akan berhasil Kami tak ingin menyakiti siapapun Entah itu keluarga kami ataukah orang-orang lain yang menyayangi kami Bagi kami sudah cukup untuk dapat melihat satu sama lain Sudah cukup untuk bisa saling berbagi kesedihan dan kebahagiaan Dan sudah cukup pul...
Anything For You
3150      1271     4     
Humor
Pacar boleh cantik! Tapi kalau nyebelin, suka bikin susah, terus seenaknya! Mana betah coba? Tapi, semua ini Gue lakukan demi dia. Demi gadis yang sangat manis. Gue tahu bersamanya sulit dan mengesalkan, tapi akan lebih menderita lagi jika tidak bersamanya. "Edgar!!! Beliin susu." "Susu apa?' "Susu beruang!" "Tapi, kan kamu alergi susu sayang." &...
Praha
289      179     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.
Love and your lies
5216      1289     0     
Romance
You are the best liar.. Xaveri adalah seorang kakak terbaik bagi merryna. Sedangkan merryna hanya seorang gadis polos. Dia tidak memahami dirinya sendiri dan mencoba mengencani ardion, pemain basket yang mempunyai sisi gelap. Sampai pada suatu hari sebuah rahasia terbesar terbongkar
HOME
299      222     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
The Past or The Future
430      342     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
Temu Yang Di Tunggu (up)
18472      3798     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
Yu & Way
1130      612     28     
Romance
Dalam perjalanan malamnya hendak mencari kesenangan, tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Alvin mendapatkan layangan selembaran brosur yang sama sekali tak ia ketahui akan asalnya. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Alvin pun memutuskan untuk lekas membacanya dengan seksama. Setelah membaca selembaran brosur itu secara keseluruhan, Alvin merasa, bahwa sebuah tempat yang tengah dipromosikan di da...
Lentera
824      575     0     
Romance
Renata mengenal Dimas karena ketidaksengajaan. Kesepian yang dirasakan Renata akibat perceraian kedua orang tuanya membuat ia merasa nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Dimas memberikan sebuah perasaan hangat dan mengisi tempat kosong dihatinya yang telah hilang akibat permasalahan kedua orang tuanya. Kedekatan yang terjalin diantara mereka lambat laun tanpa disadari telah membawa perasaan me...
Hello, Troublemaker!
1178      537     6     
Romance
Tentang Rega, seorang bandar kunci jawaban dari setiap ujian apapun di sekolah. Butuh bantuan Rega? mudah, siapkan saja uang maka kamu akan mendapatkan selembar kertas—sesuai dengan ujian apa yang diinginkan—lengkap dengan jawaban dari nomor satu hingga terakhir. Ini juga tentang Anya, gadis mungil dengan tingkahnya yang luar biasa. Memiliki ambisi seluas samudera, juga impian yang begitu...