Locker kayu bersusun lima itu menawarkan beragam kemudahan bagi siswa-siswi SMA. Tempat mereka menyimpan barang-barang, atau sekedar pelengkap atribut sekolah saja karena sekitar seperempatnya malah kosong. Pemiliknya malas menaruh barang simpanan karena memang tidak ada yang perlu disimpan. Menurutku, mereka terlalu bodoh membiarkan locker yang setiap harinya terkunci. Mereka perlu dibuka agar tidak pengap dan butuh udara segar layaknya manusia.
Dua meter dari locker milikku, Nazriel sedang mengobrak-abrik locker miliknya yang berada pada deretan dua dari bawah dan membuatnya harus berjongkok. Tiba-tiba aku baru ingat sudah beberapa hari sejak pulang dari puncak aku tidak melihatnya, membicarakannya dengan Nina pun tidak lagi, entah karena lupa dan Nina juga tak menyingung. Harusnya aku yang bertanya bagaimana hari-harinya selama di puncak dengan pangeran romantisnya itu.
“Eh, lama nggak ketemu! Ngapain loe?” Sapaku sekedar basa-basi.
Nazriel menoleh dan tersenyum. Sejenak kemudian dia kembali acuh.
“Kemana aja sih?” Tak ada respon dari lelaki itu.
“Ntar kita punya jadwal ke panti asuhan lagi?” Lanjutku sambil membungkukkan badan hampir sejajar dengan punggungnya kemudian kembali tegak.
Kali ini Nazriel berdiri hingga kepalaku sejajar hidungnya. Tak jauh beda karena tinggiku nyaris 173 cm dan dia mungkin 183.
Dia meletakkan telapak tangannya diatas kepalaku. “Pasti. Kamu sama Nina duluan aja, aku ada keperluan”
“Keperluan? Nulis puisi lagi?” Aku melipat tangan ke dalam sambil menyandarkan tubuh di susunan locker.
Nazriel menaikkan alisnya lantas melayangkan tangannya melewati kepalaku seperti mengambil sesuatu tepat dibelakangku. Oh, ia memiliki seragam Basket persis seperti yang sering dipakai Peter. Itu seragam basket sekolah kami. Sejak kapan Nazriel jadi anggota tim basket?. Nazriel mengerdipkan sebelah matanya padaku kemudian berlalu hingga mataku tak berkedip. Aku buru-buru mengejarnya walaupun tak paham mengapa lelaki itu jadi aneh dan terlihat asing.
“Zriel, bantuin gue dong” Kataku ketika menyamai jalannya
“Ada apa?”
“Gue disuruh buat laporan sama Pak Helmy gara-gara menghilang sama si Peter. Nggak cuma itu, kita tuh disuruh buat permintaan maaf dan laporan-laporan nyebelin yang lain.”
“Trus?”
“Bantuin gue ya, Zriel?”
Nazriel menghentikan langkahnya dan aku pun mengikuti apa yang dia lakukan. Sejenak kemudian dia memandangku.
“Cemila, Sekarang bukan zaman purbakala lagi, kamu bisa cari referensi di internet trus kerjain deh bareng Peter. Itu kan tugas berdua.”
Aku menunduk memperlihatkan wajah sedih padanya.
“Salsabiela, kamu bukan anak kelas sepuluh atau sebelas lagi. Bentar lagi juga mau tamat. So, kamu harus belajar sebaik mungkin. Jangan sia-sia kan cowok pintar seperti Peter. Kecerdasannya juga nggak diragukan”
Nazriel memegang kedua sisi bahuku “Kalian udah berbuat, harus berani bertanggung jawab”.
Dia meninggalkanku yang terdiam kaku. Aku kehabisan kata-kata untuk membuatnya menoleh kembali. Yang bisa ku lakukan hanyalah memandang punggungnya yang semakin menjauh dan tergesa-gesa dibanding gaya berjalannya terkesan santai sehari-hari. Dari jauh aku juga dapat melihat dia hanya melayani panggilan adik-adik kelas seadanya, tidak ada basa-basi. Samar-samar terlihat wajah mereka mengisyaratkan kekecewaan. Dia mulai berbeda, atau mungkin ini hanya perasaanku saja?
Ku ayunkan kaki menuju lockerku untuk mengambil buku-buku yang kupinjam dari pustaka sehari yang lalu. Dua buku biologi yang tebalnya sekitar 300 lembar untuk mengkaji bab ekosistem dan santapan Ujian Nasional juga sebuah buku motivasi berjudul “Tips jitu Ujian Nasional dan lulus Perguruan Tinggi” keluaran tahun lalu yang tebalnya sekitar 150 lembar. Akan kubayangkan betapa dalam minggu ini hal baru harus ku dapat dan hal buruk harus kutinggalkan. Aku ingin cerdas seperti Nazriel agar tidak selalu bermanis-manis di depannya untuk diajarkan. Aku bahkan bisa lebih dari makhluk intelektual itu.
Mataku menjurus pada amplop-amplop pink bersusun di disamping buku-buku itu. Sepuluh amplop yang tercantum kata : Dari seseorang yang terpikat oleh teduhnya angin cemara. Pasti surat-surat cinta menjengkelkan itu. Dua jam sebelum ini aku tak mendapati kertas-kertas ini, namun sekarang sudah tertata rapi disamping buku-buku. Dengan perasaan kesal kupungut semua amplop itu tanpa ampun dan menjebloskannya ke tong sampah. Goal.
“Sungguh, aku tak ingin melihatmu lagi! Jangan muncul lagi! Dan bilang pada pemilikmu agar menghilang dari bumi ini!” Batinku pada surat-surat itu saking geramnya.
Kuayunkan kaki meninggalkan laci-laci itu dan berencana menemui Nina untuk menceritakan bahwa Nazriel telah memiliki hobi selain membuat puisi atau mengajar anak-anak Panti Asuhan. Adalah bermain basket. Tapi, bukankah itu yang dari dulu ia impikan?. Dan ia menguburnya dalam-dalam karena tak memiliki keberanian tinggi terdaftar dalam klub basket SMA kami . Pasti inilah waktu yang tepat.
Seketika aku baru menyadari Peter berdiri beberapa meter di depanku. Diantara kerumunan siswa yang memakai seragam putih abu-abu, dia dengan bangganya memakai baju basket kesayangannya dan bola yang ia tumpangkan di antara tangan kiri dan badannya hingga membentuk sudut 90 derajat. Dia menatapku tetap dengan caranya yang buas. Ketika hampir mendekatinya, kulihat Yofanna berdiri beberapa meter di belakang Peter dan dia juga menatapku tajam. Aku memilih membalikkan arah agar tidak terjadi kesalah pahaman. Namun tiba-tiba suara berat itu memanggil nama lengkapku. Aku berhenti dan terdengar suara sepatunya berdecit di lantai seperti mengejarku. Ketika ku berbalik, seseorang yang dari tadi belakangnya tak nampak lagi. Sepertinya Peter tak menyadari kehadiran pacarnya itu sejak tadi. Aku menelan ludah. Terlalu kaku untuk dikatakan sebagai seorang teman baginya.
“Eh, sok penting banget sih loe, pura-pura nggak lihat biar dipanggil!” Tegurnya.
Aku berbalik. Memasang wajah sombong. “Oh ya?”
“Tadi gue ketemu sama Pak Helmy. Katanya besok sore tugas itu harus dikumpulin. Loe udah siap sampe mana?” Tanyanya lagi sambil mengelap keringat yang menyulapnya menjadi lebih tampan. Ah, aku suka rambutnya yang basah dan berantakan karena keringat itu.
“Enggak. Gue... gue belum ngapa-ngapain” Jawabku.
“Apa? Loe yang bener aja. Males banget sih! itu aja sampe lama gila!”
“Males? Enak banget loe suruh-suruh gue? loe sendiri nggak ngapa-ngapain? Loe pikir gue....”
“Eh, jadi loe suruh gue yang buat? Trus yang di kebun boncengin cewek cengeng kayak loe, siapa? Badan gue abis pegal-pegal semua, dan sekarang loe suruh gue yang buat?” Mukanya memerah dan aku jadi ingat kejadian kemarin. Aku merasa bersalah padanya hingga gelagapan.
“Itu.....kan..itu....”
“Yaudah deh. Gue nggak mau tau. Tugas itu harus siap besok sore. Jangan pakek bantah segala!” Peter menatapku tajam kemudian berlalu.
Setelah lima langkah dia berhenti dan berbalik untuk mengancam.
“Kalau besok belom siap, loe mati di depan gue!” Lanjutnya yang membuatku tersentak.
Tugas sebanyak itu harus disiapkan malam ini saja bagaikan ribuan peluru menyerang tubuhku satu per satu. Sedangkan ancaman tak menyiapkannya, dihadang dengan harimau buas kelaparan. Kedua pilihan itu tidak menyenangkan sama sekali. Dia begitu egois, padahal yang mengajakku jalan-jalan hingga larut petang kan dia. Yang merampas sepeda Nina hingga aku terpenjara dalam kebisuan kan dia juga. Sebenarnya mau dia apa?. Seharusnya dia yang bertanggung jawab dengan semua ini.
Huh!
Lama-lama memikirkan dia kepalaku seperti digores-gores hingga ku putuskan kembali ke kelas menemui Nina untuk menumpahkan kekesalanku pada Peter di pundak Nina.
***
Buku berjudul “Menulis Laporan Ilmiah” itu tebalnya sekitar 300 lembar. Menurut kemampuan orang biasa sepertiku buku itu akan habis dibaca dalam waktu seminggu. Sedangkan hingga sekarang saja aku sama sekali belum menyentuhnya. Batinku bergejolak antara membaca atau tidak dengan di sambut oleh buku-buku tebal yang lain setelah itu. Aku mendesah. Pukul 20.00 WIB, dan besok sore tugas itu harus siap. Yang benar saja, orang malas sepertiku harus benar-benar paham sistematika karya ilmiah atau laporan, dan sejenisnya yang menarik bola mata untuk tetap melotot bergerak gerik membaca huruf demi huruf tanggung yang ditulis pengarangnya. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.
Semenit kemudian.
“Biel! Kamu ngapain aja, sih? Dari tadi ditungguin makan malam, enggak juga muncul” Omel Ibu sambil membawa satu nampan penuh berisi sepiring nasi goreng telur kesukaanku, segelas susu, dan air mineral.
“Eh, itu Bu...”
“Waaah, Biela! Kamu jadi rajin banget!” Ibu geleng-geleng kepala sembari melihat buku-buku bertaburan di atas tempat tidurku tanpa kubuka.
“Raaajin.........?” Tanyaku heran.
“Ya udah, kamu lanjutin aja gih belajarnya. Ibu seneng banget lihat Biela rajin begini, tapi jangan lupa makan. Ibu tinggal ya”
Ibu melenggang pergi. Ketika akan menutup pintu kamarku terdengar teriakan dari mbok Suci, pembantu Rumah.
“Nyonya... ini dapat kiriman parsel buat Nyonya” Seru Mbok Suci.
“Parsel dari siapa, Buk?” tanyaku.
Ibu tersipu malu.
“Ah, itu pasti dari temen ibu yang suka kirimin bunga itu, loh? Kamu ingat, kan?”
“Ehmm, asal Ibu nggak selingkuhin Ayah aja,” celotehku.
“Ayah kamu juga tau, kok” Kata Ibu sambil tergelak dan langsung meninggalkan kamarku.
Sebut saja aku yang terlalu banyak berpikir tentang ini. Apa maksudnya Ibu mendapat hadiah spesial dari laki-laki lain dan Ayah sama sekali tidak marah?. Yang benar saja.
Entahlah.
Aku meraih segelas susu dan meminumnya sampai habis tak tersisa. Selanjutnya membuka laptop untuk memulai mengerjakan tugas itu. Kuikat rambutku yang sepinggang dan menyanggulnya setinggi-tingginya. Ini saatnya memulai. Kubaca demikian banyak referensi dari buku-buku yang hari ini kupinjam. Sebenarnya, bisa saja kucari referensi di internet dan meng copas bahan yang hampir mirip dengan tugas ini. Namun menurutku, ini bukan hanya sebuah kewajiban. Ini adalah sesuatu yang menuntut profesionalitas dan kejujuran dengan kemampuan. Lebih lanjut, akan kubuktikan pada manusia sok sempurna itu bahwa aku mampu melakukan lebih. Lebih dari apa yang dia pikir tentang keterbatasan kemampuanku.
Waktu menunjukkan pukul 12.35 WIB. Itu artinya sudah muncul hari yang baru. Rasa kantuk mulai menyerang semakin garang. Memaksaku berhenti dan mengikuti wewenang tubuh beristirahat. Kupaksa membuka mataku lebar-lebar sebagai perlawanan. Mirisnya, aku menghempaskan tubuh diatas kasur dan terpejam beberapa menit. Otakku memutar kejadian kemarin siang. Saat aku dan Nina sibuk mendongeng pada anak-anak panti, Nazriel datang menyapa yang berada disana. Tak banyak bicara. Sekedar tertawa mendengar celutukan-celutukan konyolku sejurus kemudian terdiam lagi. Mungkin menurutnya lebih baik seperti itu, daripada berulang kali tak pernah nyambung dengan pembicaraan kami. Dia berbeda kemarin. Persis seperti firasatku. Wajahnya lebih dari sekedar murung, senyumnya tak seteduh dulu lagi, dan kemarin, dia tidak memanggilku dengan panggilan yang lembut lagi.
Bukan hanya aku, Nina juga mengatakan hal yang sama. Nazriel pamit pulang lebih awal dari kami dengan alasan sakit kepala. Tampaknya tidak adil, dia yang datang telat dan pulang lebih awal dan hal itu mengecewakan kami. Terlebih adik-adik panti yang tak berhenti bertanya sebab guru kesayangannya menjadi kurang bersahabat di siang itu.
Kubuka mata ketika mendengar sesuatu berbunyi cukup keras dalam rumah. Aku bangkit dan meninggalkan kamar untuk mengecek. Cukup mengerikan memang, karena seumur hidup aku jarang keluar kamar tengah malam seperti ini. Sesosok bertubuh tambun di dapur sepertinya aku mengenalnya. Ayah. Beliau sedang minum air putih. Ia menyadari kehadiranku dan agak kaget melihatku mendekatinya.
“Lho, kamu belum tidur, Biel?” Ucap Ayah memunggungiku.
“Belum, Yah. Biela masih ngerjain tugas” Jawabku, beranjak ke rak dapur untuk mengambil gelas.
, “Jangan lama-lama, Biel. Nggak baik begadang, apalagi kamu perempuan.” Ayah meletakkan gelas di atas meja. “Selepas ini langsung tidur, ya!”
Aku mengangguk. Ayah melangkah meninggalkanku menuju kamar.
“Ayah!” Panggilku.
Ayah menoleh. Aku mendekatinya.
“Ayah tau ibu dapat kiriman parcel malam ini? Nampaknya itu mencurigakan”. Aku menggigit bibir.
Ayah tertawa kecil.
“Ayah sudah lebih dulu tau. Yang mengirimnya itu juga teman Ayah. Tuh, di depan TV”
Aku memutar pandangan ke arah ruang keluarga. Sebuah parcel besar berisi makanan ringan, sirup, dan sejenisnya tergeletak manis dengan nama Ibu di depannya. Ayah kembali berjalan tanpa rasa curiga.
“Ayah!” Panggilku lagi. Beliau menoleh kembali.
“Ada apa lagi?”
“Ayah tau dimana ibu menaruh kopi?”
Ayah mengernyitkan alisnya.
“Kamu mau membuat kopi malam-malam begini?, yang benar saja!”
Aku memegang tangan Ayah manja.
“Ayolah Ayah, kali ini... aja! Kerjaannya dikit lagi kelar. Abis itu Biela langsung tidur deh!, Ya, ya..?” Bujukku dan Ayah menatapku tajam.
“Ya sudah. Bubuk kopinya di laci bawah lemari dapur. Tapi ingat! Tidak boleh terlalu banyak dan terlalu lama!”
“Oke!” Aku melompat kegirangan ingin meraih laci yang ditunjukkan. Beberapa detik kemudian.
“Biela!” Panggil Ayah. Aku menoleh.
“Gulanya cukup dua sendok saja!” Lanjutnya.
Aku membentuk kata OK dari jari-jari tangan hingga Ayah tersenyum melihat tingkahku. Meracik kopi untuk pertama kalinya bukanlah hal yang wajar bagi anak seusiaku. Ini keterlaluan. Remaja putri biasanya tiap pagi menyediakan kopi untuk Ayahnya. Sedangkan aku, yang mengajarkan saja Ayah, bagaimana mau melayani?.
Tiga menit kemudian kopi perdana buatanku selesai. Ku bawa segelas kecil kopi itu ke dalam kamar setelah sebelumnya pandanganku tertuju pada parcel itu dan memandangnya dengan penuh ketidaksukaan.
Kopi itu kini tergeletak diatas nampan disamping nasi goreng buatan ibu yang sedari tadi belum kusentuh. Mataku bergantian memandang kumpulan buku dengan laptop dan sepiring nasi goreng dingin, air mineral, dan segelas kopi. Tanpa pikir panjang kulahap nasi buatan ibu walaupun tidak hangat lagi yang selanjutnya di akhiri dengan segelas kopi dan air mineral. Lengkap sudah. Mataku terasa lebih tajam, tubuhku lebih berenergi, dan tiba saatnya kembali menyantap buku-buku menyebalkan ini.
“Habis kau! Nyam, nyam, nyam!” Gumamku lantas melaksanakannya dengan penuh gairah. Otakku lebih fresh. Lebih baik daripada tadi. Dan akhirnya aku berharap, berat badanku akan bertambah setelah ini.
“Setelah kau, maka bosmu akan ku santap juga. Peter, tunggu lidah dan gigiku berselera menyabik-nyabik tubuhmu, Hahahahahah” Batinku sambil mengepalkan tangan tanda perlawanan.
@Ardhio_Prantoko hehe, terima kasih sudah membaca :)
Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh