Read More >>"> Stuck In Memories (Jantung) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Stuck In Memories
MENU
About Us  

Hampir seminggu kami berteman. Aku, Nina, dan Nazriel. Kami semakin bersahabat, malah hubungan kami semakin dekat. Banyak hal yang telah kami bagi masing-masing, hingga kami sudah lebih dari sekedar saling mengenal. Hampir seminggu kami menghibur anak-anak panti asuhan dengan kostum badut konyol itu, dan hampir seminggu, aku belum belajar pelajaran biologi tentang jantung. Ah, PR itu. Bersahabat dengannya membuat aku lupa banyak hal. Semenjak itu, aku tau lebih banyak tentang sahabat baruku ini. Si perfeksionis yang terkenal itu jauh dari perkiraan kami. Nazriel yang terlihat melankolis ternyata memiliki selera humor yang baik. Dia tau kapan harus bercanda, dan kapan harus mengartikan kata-kata lebih dalam. Dia selalu menepati janji, mengutamakan kami daripada fans-fans nya yang lain. Kami beruntung bisa berteman dengannya, namun tak satupun dari kami yang berani mengungkapkan hal itu padanya, malah Nazriel yang entah berapa kali mengucapkan kata “terima kasih” nya pada kami yang membuat aku dan Nina saling berpandangan dan tersipu malu. Pantas saja Nina tak bisa tidur tiap malam karena terbayang wajah Nazriel, lebih tepatnya senyuman maut pangeran pujaannya itu. Malam minggu ini Nina tidur di rumahku. Bercerita banyak tentang chatting terakhirnya dengan Nazriel setiap hari. Dan tugasku adalah mendengar cerita membosankan itu lagi, dan lagi.

            “ Kayaknya Nazriel romantis banget deh, Biel. Masa’ tiap malam dia kirimin emoticon bunga mawar segala, sih? Udah kaya orang pacaran, kan? Lebay banget sih, tapi gue sukaa banget” Kata Nina sambil terus memelototi layar HP nya

            Aku hanya mangut-mangut karena kata-kata itu sudah diulanginya tiga hingga empat kali. Ampun deh, ni anak.

            “Eh, Biel. Gimana? Loe udah belajar tentang jantung? Dua hari lagi tuh si miss jutek masuk, kalo loe nggak bisa jawab gimana?”

            “Iya sih, abisnya gue nggak ngerti-ngerti. Males ah, biarin aja. Gue nggak peduli!” Celotehku kesal, kugigit pensil yang sedari tadi ada dalam genggamanku.

            Nina melempar bantal ke wajahku.

            “Eh, apaan sih lu? Kita bentar lagi UN, gimana mau lulus kalo ini aja nggak bisa?”

            “Bodo amat!” Balasku menjulurkan lidah. Nina semakin geram.

            Kami membisu. Aku bisa menangkap raut wajah Nina yang kesal dengan jawabanku.

            “Eh Biel, bego banget sih loe? kenapa nggak minta bantuan Nazriel aja? Loe bisa privat sama dia sepulang sekolah.”

            Aku berpikir sejenak. Nina benar. Mengapa tak dari dulu aku minta bantuan padanya? Tanpa pikir panjang jemariku langsung mengetik kontak “Nazriel” dari Handphone. Tak sampai lima menit aku berbicara padanya hingga dia mengiyakan permintaanku. Dan di ujung pembicaaan kami dia mengucapkan “Good night, my cemila” yang hanya ku jawab “iya” saja agar tidak menimbulkan kecurigaan Nina.

            “Thanks Ninok!” Kataku sambil memeluk Nina erat-erat hingga lama kelamaan Nina merasa risih dan melepaskan pelukanku.

            “Eh, tapi jangan coba macam-macam ya, hanya sebatas belajar! Awas loe kalo kegatelan!” Ancam Nina.

            Aku hanya cekikikan dan memeluk Nina semakin erat. Tiba-tiba Ibuku masuk ke dalam kamar dengan membawa sebuah kotak kecil bersampul merah muda di kedua tangannya.

            “Biel, ada titipan buat kamu gak ditulis pengirimnya” Kata Ibu sambil menyerahkan bingkisan mini itu setelah beberapa saat berbincang kecil dengan Nina dan berlalu pergi. Sementara aku menebak bahwa ini pasti puisi itu lagi. Dengan cepat ku lempar kotak kecil itu ke dalam keranjang sampah tanpa merobek bungkusannya sama sekali. Melihat itu, Nina malah menatap tajam mataku dan memungut kembali bingkisan itu lalu membukanya. Benar, itu persis tebakanku. Nina membacanya keras-keras.

Dear Salsabiela

Dari seseorang yang terpikat dengan teduhnya angin cemara

Tak banyak hal yang kubuat untuk memulai bait-bait ini

Namun yang perlu kau tau ‘aku semakin mengagumimu’

Gadisku, pesonamu semakin melayang-layang di depan pelupuk mataku

Hingga untuk tertidur saja sulit, sampai aku harus menepismu untuk menemani hariku dalam sanubari

Kau terindah, sang mahkota diantara kerlipan fantasi bintang dilangit gemerlap

Membuatku selalu terjaga untuk tak penah melewati keindahanmu

Segala sayup abadi dalam cakrawala sang pelukis cinta, hanya dirimu

Tercinta untuk seorang pecinta

Someone

            Nina menatapku seakan tak percaya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak itu. Sebuah liontin perak berlambang delapan bintang warna-warni. Indah sekali. Nina menyodorkan liontin itu padaku namun aku menolak. Nina tersenyum dan merangkulku.

            “Gue tau, Biel. Loe kesel dengan semua puisi ini. Tapi gue yakin, loe pasti semakin ngerti maksud dari orang ini, kan?. Dia naksir loe, Biel. Dia suka banget sama loe. Liat deh udah berapa banyak puisi-puisi ini terbuang percuma, dan kado-kado ini, ini semua tuh gak murah loh. Ini langka. Loe harus ngerti.”

            “Gue ngerti. Ngerti banget. Kalo dia suka sama gue, ngapain dia buat gue penasaran gini? Gak jamannya lagi ungkapin perasaan pake surat-surat kuno kek gini. Apa susahnya cuma ngomong doang? Kampungan banget!”

            Jemari Nina meneraih benda berkilau di depannya “Trus, loe mau liontin ini dibuang juga, Biel?”. Nina menatapku dengan wajah memelas.

            “Terus mau diapain lagi? Nah, buat loe aja. Gue nggak akan terima semua yang dia kasih sebelum gue tau siapa dia sebenarnya. Ambil aja buat loe. Atau kalo loe mau lagi, masih banyak noh, di dalam kotak biru itu,” Jelasku, sambil menunjuk kotak besar bersampul biru motif kotak-kotak dimana semua barang-barang dari penyair tanpa nama itu ku simpan. Nina bergegas mengambil kotak itu dan terkesima dengan yang ia dapatkan.

            “Boneka, accesoris, baju, novel, bantal unyu, komik, sepatu, semuanya ini, mau loe buang, Biel?”

            Aku mengangguk.

            “ Mending buat gue, kali...”

            “Yaudah, ambil aja buat loe. Sekalian puisi-puisinya pajang aja di kamar loe, kalo perlu di mading sekolah”, Balasku sewot. Ku hempaskan badanku diatas kasur tanpa memperdulikan omongan Nina selanjutnya.

            Nina melompat kegirangan sambil memelukku erat dan mengungkapkan betapa bahagianya ia memperoleh semua hadiah itu sementara aku hanya tersenyum melihat tingkah anehnya. Melihat Nina yang sudah 1/3 aneh ini aku langsung mengalihkan pandanganku pada laptop 13 inch yang tergeletak di meja belajar. Aku langsung beranjak dari ranjang dan menghidupkan benda itu untuk mencari bahan belajar sistem kardiovaskular dan sekedar mencoba memahami tugas dari Bu Mina ini. Nina benar. Aku tak boleh berharap banyak pada sahabat, walaupun diajari mati-matian oleh Nazriel, aku harus tetap berusaha sendiri karena ini memang tanggung jawabku. Hampir satu jam aku memahami fisiologi jantung, sistem transportasi darah, dan bagian-bagiannya. Kurasa aku cukup mengerti. Pemahaman yang lebih baik daripada kejadian memalukan itu. Hanya sedikit pemahaman lebih dari Nazriel dan setelah itu akan terlihat sempurna.

Fyuuh!

Aku menghela napas panjang. Sekarang pukul 10 malam dan kami juga belum tidur. Nina sepertinya masih menikmati novel yang baru saja dibeli tadi siang, sementara aku memutuskan untuk mengunjungi laman facebook-ku yang terakhir kali kubuka lima bulan yang lalu.

            Sembilan puluh sembilan lebih notifikasi, permintaan pertemanan, dan delapan puluh tiga buah pesan. Oh, sampai segitu banyaknya. Aku membuka pesan yang dipenuhi beberapa sapaan dari teman lamaku dan beberapanya lagi dari manusia-manusia alay yang tak dikenal. Kubalas saja seadanya, agar tidak dikira sombong. Tanganku berlanjut memencet tombol notifikasi, dan disitulah aku terkejut setengah mati.

“Apa-apaan ini?” Batinku kesal. Lebih dari 50% notifikasiku dipenuhi dengan komentar memalukan dari Peter. Sejak kapan dia mulai menguntit sosial mediaku? Gadis manapun pasti akan senang bila status atau foto-fotonya dikomentari oleh lelaki idaman mereka. Termasuk aku. Tapi bukan untuk saat ini, beranda profilku dipenuhi komentarnya yang hanya satu kata “BODOH”. Hingga teman-teman yang lain juga ikut tertawa bahkan ada yang menyisipkan jempol dikomentarnya.

Aku bertambah kesal. Sejak kapan aku mengganggu kehidupannya sehingga selalu menjadi makhluk paling bodoh dalam hidup manusia itu?. Kali ini aku geram dan kuputuskan mengunjungi profilnya dan yang kujumpai adalah foto profil mesra dengan Yofanna dan menyisakan ratusan likers disana serta puluhan komentar memuji kemesraan mereka. Ingin rasanya aku mengomentari foto itu dengan kata-kata “bodoh” nya agar banyak juga yang menertawakan. Namun, aku masih memiliki rasa cemburu yang lebih daripada keberanian itu.

            “Gue benci sama loe!”. Tanpa sadar aku mengeluarkan kata-kata itu hingga menghentikan keasyikan Nina membaca novelnya.

            “Benci sama siapa, Biel?”Tanya Nina. Aku buru-buru me-log out facebook agar Nina tak curiga.

            “Gak papa, Nin. Gue kesel aja dari tadi gak bisa-bisa ngehafal proses peredaran darahnya. Ehm, kita tidur yuk.. udah malam nih”, Jawabku mengalihkan perhatian Nina. Sahabatku itu hanya mengangguk dan kami bersiap tidur.

            Tidak lebih setengah jam Nina sudah terlelap sementara aku masih berpikir keras tentang Peter. Aku memang bodoh, tapi sejak kapan dia meneliti setiap siswa bodoh di SMA itu hingga aku menempati predikat paling bodoh. Yang mengherankan, dia selalu mengucapkan kata-kata itu hanya padaku yang selama ini belum pernah bicara sepatah kata pun dengannya. Untuk dekat saja harus berpikir dua kali. Baiklah, ini sudah keterlaluan. Aku tidak boleh membatu bila berhadapan dengannya. Aku harus mengumpulkan kekuatan penuh untuk melawan kata-katanya. Dan sedikit demi sedikit aku harus melupakan dia. Dia bukan cintaku lagi. Dia bukan orang yang selalu ada dihati dan pikiranku. Dia telah menghancurkan hatiku, tanpa menyisakan kasih sayang sedikitpun. Dia jahat. Aku membencinya.Tiba-tiba sebuah deringan nada handphone mengejutkan laMinanku. LINE dari Nazriel.

Nazriel Billiandra : Cemila :p

Aku tersenyum membaca pesan darinya. Ini sudah pukul 11.37, tapi si manusia aneh ini masih saja mengganggu.

Salsabiela Saffarizky : Apa? Udah malem ni, nggak ngantuk apa. Kenapa belom tidur?

Nazriel Billiandra : Karna loe belom tidur juga

Salsabiela Saffarizky : Jiah! Darimana loe tau gue belom tidur?

Nazriel Billiandra : Karena dari tadi gue perhatiin loe, kali...

Aku menyapu pandangan di seluruh sudut kamar. Namun tak satupun bayangan manusia disana kecuali Nina yang sudah terlelap.

Salsabiela Saffarizky : Jangan coba-coba nakutin gue. Gak ada loe nya.

Nazriel Billiandra : Ya iyalah, gue masih waras kali buat berpikir ngintip loe. Kalo loe udah tidur, kenapa masih baca pesan gue? Hahahahaha. Dasar!

Salsabiela Saffarizky : Ehm, iyadeh. Gue belom tidur. Nyebelin!

Nazriel Billiandra : Gak tau kenapa, gue kok ingat loe aja dari tadi.

            Aku terpaku. Jantungku terasa berdegup lebih cepat. Baru kali ini ada seseorang yang mengatakan itu padaku. Pesannya hanya ku baca. Aku bingung akan membalas apa setelah ini. Aku tau dia hanya sebatas teman, tapi aura nya berbeda terhadapku, dan aku bisa merasakannya. Ketika akan membalas, mataku tak sengaja tertuju pada Nina. Aku tidak ingin berbuat lebih jauh lagi, karena Nina adalah alasannya.

Selang lima menit...

Nazriel Billiandra : Good nite Salsabiela. Mimpi indah...

            Aku tetap tak membalas dan memilih tidur agar tidak ada salah paham setelah ini. Antara aku, Nazriel, dan Nina.

***

            Senin pagi. Kami berangkat ke sekolah bersama dengan diantar oleh Ayahku karena sekolah kami searah dengan kantor beliau. Waktu menunjukkan pukul 6.30 WIB, namun Jakarta telah dipenuhi kemacetan yang tak kunjung reda. Emperan-emperan toko dari ujung gang hingga pusat kota pun mulai marak untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Ayah membawa kami melalui jalan pintas agar tidak terlalu memakan waktu lama di perjalanan.

“Semalam tidurnya nyenyak banget, Nin..” Aku membuka pembicaraan.

“Gimana nggak nyenyak, Nazriel tuh, cepet banget tidurnya. Ya, gue ikut dia aja, kami kan sehati”. Nina tersenyum-senyum geli. “ Biel, tau apa loe, semalam dia sempat bilang good nite gitu sama gue, terus pake emoticon bunga banyak-banyak lagi. Ehm.. dia itu so sweet abis.” Lanjut Nina yang membuatku terhenyak.

“Yang bener aja Nin. Loe tuh tidurnya jam 10 malam, mana ada cowok tidurnya jam segitu,”

“Ya ampun. Dia itu capek banget semalam karena latihan futsal. Ya, ketiduran deh. Perlu bukti?”. Nina buru-buru mengambil handphone nya dan menunjukkan obrolan terakhir mereka di social media. Benar. Nazriel tampak letih lewat tulisannya yang cenderung singkat dan saat di telpon semalam juga suaranya seperti seseorang yang lelah. Tapi mengapa dia masih sempat mengirim pesan padaku tengah malam?

“Kenapa emangnya, Biel?” Tanya Nina seakan membaca kecurigaan dari wajahku. Aku cepat-cepat memasang ekspresi tenang dan mengalihkan pembicaraan kami.

“ Eh, Nin. Semalam gue udah lumayan bisa jelasin tugas dari Bu Mina” Ucapku secepat mungkin untuk mengalihkan rasa penasaran Nina hingga akhirnya tiba di sekolah.

            Hari ini suasana hatiku cukup berbeda. Dibilang sedih, tidak juga. Dari tadi mungkin aku yang paling banyak bersuara dibandingkan Nina. Senang? Juga tidak. Buktinya hari ini rasanya aku kehilangan semangat semenjak Nina memperlihatkan obrolan terakhirnya dengan Nazriel. What a day!

            Aku berjalan sendiri, tidak dengan Nina karena gadis itu sedang sibuk dengan organisasinya yang akan menyelenggarakan suatu event. Ya, begitulah. Entah makhluk apa yang menghinggapi Nina hingga begitu terobsesi dengan organisasi yang ujung-ujungnya pasti melelahkan. Aku menyusuri lorong-lorong menuju kelas hingga tiba di depan kelas Peter walaupun tidak seantusias dulu. Aku sudah malas berhubungan segala sesuatu tentang manusia tidak berguna itu. Tiba-tiba seseorang menabrakku dari belakang hingga kepalaku sedikit hoyong.  Aku menoleh. Yang dibicarakan tadi kini di depan mata. Mau apa lagi manusia ini bahkan kali ini bukan hanya sendiri, dia bersama teman-teman basketnya. Dia semakin mendekat dan tersenyum simpul hingga memaksa bibir tipisku untuk membalas senyum itu.

 “Apa kabar?” Dia mulai bersuara hingga spontan saja mulutku ternganga. Apa dia menanyakan kabarku pagi ini?.  Entah magnet apa yang ada dalam diri si manusia robot berbulu harimau ini yang membuatku semakin sulit membencinya. Ketika tepat disampingku, dia malah berlalu dan membuatku mendongakkan wajah ke belakang.

Sial!. Dari tadi dia senyum dan  menyapa pacarnya. Mengapa aku begitu yakin dia melakukan itu padaku?. Aku cepat-cepat meninggalkan koridor dan menyeruak masuk ke kelas. Memalukan sekali. Lagi-lagi aku gagal membalasnya, semua misi yang kurancang sempurna tadi malam gagal lagi. Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya melepaskan harapan semu tentang Peter. Si manusia yang membuatku ingin mengacak-acak satu sekolah, mencakar-cakar wajah sok sempurnanya, membumi hanguskan segala hal bodoh tentangnya. Namun setiap kali aku ingin melakukan semua kekonyolan itu, dia juga yang membuatku jatuh cinta berkali-kali.

            Aku cepat-cepat menyingkirkan segala kekesalanku padanya ketika terdengar degap langkah mantap Pak Helmy, guru Biologi kami selain Bu Mina . Seorang dengan postur tinggi semampai, selalu berseragam kemeja putih garis-garis biru dan celana hitam. Sejenak mengingatkanku pada laki-laki masa depan dengan kecerdasan dan ketampanan yang luar biasa. Tidak perlu khawatir dengan kebaikannya, lebih dari seribu responden di sekolah ini pasti menjadikan Pak Helmy sebagai teladan dan suami masa depan menurut sebagian teman wanitaku. Tidak seperti aku yang hingga sekarang mengidolakan harimau liar.

“Baik, untuk yang bab terakhir ini kita masuk ke Biologi Lingkungan ya, “ Kata beliau sambil membuka laptopnya.

“Oh iya, Minggu depan ada observasi ke kebun teh di puncak, saya juga sudah kabarin ke tiap kelas, kita perginya bareng dan tolong dibawa perlengkapan seperti kamera, mikroskop, tali rafia, dan hal-hal lain saya sampaikan secepatnya. Yang punya sepeda boleh dibawa ya buat refreshing aja. Kita cuma dua hari disana”.

Semua mata berbinar, begitu pun Nina yang barusan duduk dan langsung loncat-loncat tak menentu. Kecuali aku, disaat-saat seperti ini aku jadi malas untuk sekedar refreshing. Aku hanya ingin dirumah, tak bertemu siapa-siapa kecuali orang-orang terdekatku saja. Baru saja ingin mengundurkan diri, dengan tegas Pak Helmy menolak alasanku.

            “Hah! Situasi macam apa ini!” Batinku kesal. Nina mencubit pipiku dan melengkungkannya agar terbentuk sebuah senyuman. Ya, senyuman hambar.

            “Eh, bego banget sih lu. Ini tu kesempatan supaya loe bisa deket sama Peter, dan gue bisa pedekate sama Nazriel,” Ucap Nina.

            “Iya, trus loe mau muka gue dicakar-cakar dan rambut gue diacak-acakin sama si manusia Borbie? Yang bener aja loe!” Kataku memasang tampang sewot. Nina tertawa geli hingga semua mata tertuju padanya, termasuk Pak Helmy.

            “Ada yang lucu, Nina?” Tanya Pak Helmy. Nina jadi gelagapan dan kini giliranku yang cekikikan melihat ekspresi Nina. Mungkin tidak hanya aku, tapi seisi kelas malah tertawa lepas menyaksikan wajah Nina yang kaku lantas menutupi wajahnya dengan buku catatan hijau.

            Seisi kelas mulai kocar-kacir dengan tema yang itu-itu saja. Camping. Yang membuat telingaku harus melakukan beberapa kali relaksasi pendengaran. Lihat saja, penjelasan pak Helmy pun hanya sekedar desiran angin yang berlalu masuk terowongan angan yang kemudian terselamatkan entah dimana.

            Jam istirahat, kuputuskan untuk sekedar nongkrong. Bukan di kantin atau taman. Kali ini manusia malas sepertiku lebih memilih perpustakaan. Ya, tempat penampungan benda persegi dengan lembar-lembar keturunannya yang akhirnya memberi dua efek pada manusia normal. Bosan atau nyaman. Nyaman atau bosan. Sama saja. Bagiku tidak satupun buku yang memberi kenyamanan karena ujungnya tulisan-tulisan itu menjadi pengantar tidur lebih baik daripada sebuah lagu Lullaby.

            Dengan langkah gontai ku tuntun langkah ke rak bertuliskan “Biology” dan tujuanku tidak lain adalah mendalami tugas spesial dari buk Mina. Pengunjung sepi. Sekitar lima belas orang. Terlalu minim untuk perpustakaan sebesar museum ini. Tak masalah, karena menurut kebanyakan orang, mereka lebih menikmati suasana yang sepi untuk belajar. Saran yang bagus. Kumainkan bola mata ke arah horizontal, kemudian vertikal hingga diagonal untuk sebuah buku khusus sistem kardiovaskular. Ada beberapa, yang tebalnya 350 halaman dan sedikit gambar jantung disana. Hanya sederetan huruf yang semakin membuat pembacanya seperti disergap pasukan bersenjata api di tengah hutan. Terlalu serius. Dan yang paling tipis hanya 187 halaman. Lebih tepatnya dijadikan Novel saja karena terlalu banyak kiasan.

            “Ini kayaknya bakal ngebantu banget deh, Yang” Kata seorang cowok tinggi berkacamata yang berjarak satu meter di sampingku sedang memegang buku Biologi dengan sampul hijau. “ Bahasanya ringan, cocok buat anak SMA” Lanjutnya.

            Seorang cewek yang juga berkacamata langsung berdiri disampingnya. “Iya Yang, yuk kita duduk disana aja. Nanti kalo ada yang gak ngerti kita diskusikan, Ya” Kata cewek itu manja sambil menarik tangan cowoknya yang membalas dengan senyuman yang dibuat-buat.

            Begitulah pasangan kutu buku. Hidupnya bahagia karena jika tidak belajar, dia pasti mengajari orang lain. Belum lagi mereka pacaran, udah berapa ilmu lengket hanya dengan mengandalkan teori cinta?.

Ada-ada saja!.

            “Ternyata pohon cemara bisa jenuh juga lama-lama di taman. Jadi, larinya ke pustaka, entah buat belajar berfotosintesis dengan baik, atau mencari cemara yang lain.” Kata sebuah suara dari belakangku dan aku hafal suara itu. Ku balikkan badan dan seseorang itu dengan santainya menyandarkan tubuh atletisnya di rak buku lalu melipat tangannya kedalam. Tangan kanannya memegang buku bersampul hijau muda. Persis seperti tokoh komik.

            “Cemara kesini karena nggak ada lagi yang berteduh dibawahnya. Ya, kesepian deh. Pengen membakar tempat yang udah merebut penghuni setianya.” Jawabku sambil memasang wajah seram. Nazriel tersenyum simpul.

            “Pasti mau belajar tentang jantung , Ya?”. Nazriel berjalan santai mendekatiku.”Kenapa nggak langsung ketemu aku aja?”

            “Nggak enak, loe kan pasti lagi ngajarin adik kelas” Aku menjawab seadanya sambil terus mengungkit buku satu per satu dari Raknya.

            “Sok tau. Buktinya aku kesini, kan?”

            “Bentar”, Kataku lantas berjalan cepat ke luar jendela yang berhadapan dengan taman sekolah.

Sepi.

Tak ada satupun siswa yang biasa mencuri-curi waktu untuk belajar bersama Nazriel, hanya Pak Tito, tukang kebun sekolah yang tampaknya sedang membenahi taman. Aku kembali mendekati Nazriel yang sedang berjibaku dengan bukunya.

            “Kenapa tiba-tiba taman jadi sepi gitu?” Tanyaku.

            “Karena pengunjung taman kecewa, nggak ada lagi tempat berteduh.” Jawabnya spontan, lantas kembali membolak-balik halaman buku.

Aku tersenyum jengkel sambil ikut membolak-balik buku biologi yang ada ditanganku. “Pohonnya lari kemana sampe teduhnya nggak ada lagi?”

“Teduhnya lari kesini, ini lagi sok-sok an mau belajar. Dari tadi dicariin, dasar! Buat capek aja!” Balasnya. Mataku beralih padanya lalu buru-buru kutinju lengannya hingga Nazriel tertawa dan mengajakku belajar di atas meja bundar di pustaka.

Ada dua buah buku biologi diatas meja bundar itu. Yang satu buku bersampul hijau muda miliknya, dan satu lagi buku saku biologi yang hanya seratus halaman. Nazriel mengajariku mulai dari katup-katup jantung yang terdiri dari katup arterioventrikular, katup pulmonal dan pembagiannya hingga cara kerja jantung. Bahasanya sederhana, bahkan dia dapat mempaktekkan bagaimana jantung bekerja. Jika aku kepala sekolah, Nazriel sudah kujadikan guru biologi selain Pak Helmy dan Bu Mina. Dia guru favoritku. Cara dia berbicara, sabarnya dia, caranya membuatku benar-benar fokus hanya dengan tatap mata dan mendengarkan. Di dekatnya, aku bagaikan bocah kecil yang harus patuh setiap perintah tegas seorang Ayah yang sangat penyayang. Entah apa itu. Namun menurutku, bukan hanya aku satu-satunya wanita yang merasakan kehangatan itu. Semua yang pernah belajar dengannya pasti berilusi tinggi dan tak ingin semuanya selesai.

“Zriel, gue mau nanya, kenapa waktu itu Bu Mina nyalahin gue waktu bilang letak jantung di dada sebelah kiri. Itu kan bener. Loe percaya kan sama gue?” Tanyaku meyakinkannya.

Nazriel mengangkat satu alisnya menyiratkan bahwa pemuda ini sedang berfikir keras lalu membolak-balik halaman buku untuk mencari materi jantung di buku saku itu. Matanya naik turun mencari sesuatu yang mungkin menjadi jawaban atas pertanyaan bodohku. Sesaat kemudian dia beralih menatapku. “Gimana bisa kamu bilang di dada sebelah kiri?”Tanyanya penuh selidik.

“Ikutin gue.” Aku lantas menempelkan telapak tangan kananku di dada kemudian menggesernya sedikit ke arah kiri dan Nazriel juga melakukan hal yang sama pada jantungnya pula.

“Loe bisa rasain gak sih? Jantung tu berdegup disebelah kiri, coba rasain iramanya” Kataku. Dia tersenyum sambil memandangku lama dalam situasi yang sama. Aku merasakan degup jantungku dan dia merasakan degup jantungnya. Tapi menurutku ada yang berbeda. Perbedaan itu pasti hanya aku yang rasa. Irama jantungku seperti melawan perintah otak untuk bergerak lebih santai. Detakan itu semakin kuat seiring dengan senyum manusia di depanku ini yang semakin meneduhkan. Tiba-tiba sebuah bayangan tubuh atletis mengalihkan pandanganku pada wajah Nazriel. Tepat sepuluh meter di depanku Peter hadir. Dia malah menatapku tajam dengan kedua sorot bola matanya yang seperti berkata-kata. Sorot mata yang mengisyaratkan bahwa tak ada mata lain yang boleh dipandang kecuali dua mata tajam miliknya. Cepat-cepat ku tundukkan pandangan dan melepaskan jemari yang menempel di dada sedari tadi. Begitupun halnya Nazriel, dia melakukan hal yang sama. Peter berbalik entah kemana.

“Kenapa lama banget turunin tangannya?” Tanyaku. Berharap dia percaya anggapanku yang tanpa alasan bahwa jantung memang berada disisi kiri.

Nazriel menatapku aneh. “Kan belum ada instruksi. Bukannya tadi suruh ikutin kamu?” Nazriel tertawa cekikikan. Aku kembali menundukkan pandangan untuk menyembunyikan pipiku yang mulai merona.

“Jantung itu bukan berada di sisi kiri” Lanjutnya lagi. “Letak jantung di sekitar garis tengah antara sternum atau tulang dada di sebelah anterior dan vetebra di sebelah posterior. Beratnya itu sekitar 300 gram, sekitar sekepalan tangan, lah. Yang kamu rasain sebelah kiri itu degupnya atau bisa dikatakan bilik kanan dan kiri jantung sementara anatomi jantung yang lain di mulai dari tengah tulang dada..”

Dia membuatku mangut-mangut berulang kali pertanda aku sudah lebih dari mengerti. Setengah jam berlalu semenjak kami berada bersama disini dan kurasa ini adalah waktu belajar paling lama dan paling nyaman dalam hidupku. Berangsur-angsur pengunjung pustaka pun berkurang karena sebentar lagi perpustakaan ditutup. Begitupun halnya denganku dan Nazriel. Kami melangkah beriringan meninggalkan tempat itu karena kebetulan waktu istirahat telah habis. Tinggallah keluarga buku-buku yang sepi, yang kini tidak serapi tadi. Ada yang sedikit keluar dari raknya, yang bertengger entah dimana, dan bertukar tempat. Buku IPA terselip di rak IPS dan sebaliknya. Dari mereka semua seakan mengucapkan :

“Sampai jumpa lagi, Salsabiela. “

            Yang artinya mereka juga merasakan hal yang sama denganku. Kenyamanan.

            “Eh Biel, minggu depan camping, ikut kan?”. Topik pembicaraan menyebalkan tadi keluar dari mulut Nazriel.

            “Nggak”. Jawabku singkat sambil mengikat tali sepatu. Aku sengaja tak menggubris agar dia tidak bertanya lebih lanjut. Namun perkiraanku salah, seseorang itu malah sangat pintar membaca pikiranku.

            “Kenapa? Kapan lagi bisa jalan-jalan bareng”Lanjutnya.

            “Lagi ada janji sama Ibu”. Jawabku dengan senyum sedikit dipaksa.

            Nazriel hanya merespon dengan huruf “O”. Sebenarnya jika dia sahabat lamaku, seperti Nina. Mudah baginya untuk mengerti alasanku menolak mentah-mentah tawaran itu. Aku tidak siap menghadapi kenyataan yang akan kuterima disana nanti. Disaat anak-anak pasti mencuri waktu untuk pacaran,  bersepeda ke kebun teh, dan hal romantis lain yang mereka lakukan disana. Sasaran utamaku pasti Peter dan Yofanna. Aku dapat membayangkan hal manis apa

yang akan mereka lakukan disana. Tentunya menginjak tanpa ampun hatiku yang berkeping-keping menjadi butiran-butiran malang tersapu angin. Aku tidak siap. Menjadi kepingan setidaknya masih lebih berharga dibandingkan butiran-butiran yang nyaris tak bernyawa.

            Sejenak kami terdiam mungkin dengan argumen atau jalan pikiran seniri-sendiri. Berjalan beriringan di koridor menuju kelas masing-masing yang akan di temui tiga puluh langkah lagi. Berulas-ulas senyum dan sapaan kerap kali dilayangkan kepada laki-laki disampingku ini setiap kali kami melewati  wajah-wajah yang senantiasa belajar bersamanya di Taman. Sayangnya, itu hanya untuknya, bukan untukku. Mereka malah menatapku dengan pandangan sinis walaupun aku turut menyunggingkan senyum ramahku. Cuma lima orang yang membalas dan menatapku normal. Selebihnya, entahlah. Wanita sepertiku tidak akan pernah cocok berjalan beriringan dengan sosok perfeksionis ini.

            “Padahal, kalo kamu ikut, aku bisa ngajarin kamu lebih spesifik lagi. Ya, lebih dekat dengan alam, kan lebih baik”. Nazriel masih membicarakan masalah itu lagi. Dia menarik napas berat dan berjalan lebih santai. Terlihat dari caranya menyelinapkan kedua tangannya di saku celana.

            “Aku dengar, kamu pengen jadi saintis. Seorang saintis tentu ingin selalu lebih dekat dengan alam. Tapi kalo kamu keberatan juga sih, apa boleh buat” Lanjutnya pesimis.

            Aku mengalihkan pandanganku padanya. Kurasa dia benar. Dan aku perlu belajar banyak mengejar mimpiku itu. Tapi bagaimana jika bukan itu yang ku dapatkan? Malah hal bodoh yang selama ini kukhawatirkan. Diam-diam aku mulai tertarik dengan opini Nazriel dan berhenti beberapa meter dari pintu kelasku.

            “Oke. I feel, I need to thinking more about your last speech.” Ucapku. Nazriel balik menatapku.

            “Really?”.

            Aku menarik napas panjang. “Asal loe nggak jadiin gue tukang kebun disana dan kenalan sama hewan species aneh yang akhirnya menjadikan gue anggota baru keluarga mereka”.

            Nazriel tertawa konyol. “ Siap, komandan!”. Ucapnya sambil memberiku hormat.

            “Biela!” Sapa seseorang disana mengagetkan kami. Nina memanggilku seolah Ibu yang memarahi anaknya karena terlambat pulang.

            “Kertas ulangan matematika udah dibagiin. Kalo nggak ambil ya biar di buang aja”. Ucap Nina dingin dan ku ikuti langkahnya menuju kelas. Aku membaca raut kekesalan dari wajahnya.

            “Biela! Nanti jangan lupa ke panti asuhan ya,” Kata Nazriel setengah teriak.

            Aku dan Nina berbalik ke arahnya.

            “Nina juga,” Lanjut Nazriel sambil tersenyum padanya yang membuatku yakin dia juga merasakan hal yang aneh dari raut wajah Nina.

            Setelah mengambil kertas ulangan. Aku sedikit lega karena memperoleh nilai 85. Tidak buruk. Karena kabar baiknya tidak perlu repot-repot ikut ujian ulang lagi. Aku mengintip kertas ulangan Nina yang meraih nilai 95. Nina memang pintar. Tapi ada yang masih janggal dari wajah sahabatku ini. Dari tadi dia hanya diam dan menjawab sesingkat mungkin pertanyaanku. Dari tadi hingga pulang sekolah Nina hanya membaca buku atau memainkan handphonenya. Tanpa suara. Untuk mengajaknya bersuara pun aku sudah kehabisan cara.

            “Jam istirahat abis darimana?” Nina mulai membuka pembicaraan ketika kami duduk di halte menunggu jemputan. Hari ini jadwal ke panti asuhan sekitar pukul 3 siang karena Nazriel mengikuti kelas tambahan di sekolah.

            “Tadi gue ke perpustakaan, mau ngajak loe tapi...”

            “Tumben amat ke perpustakaan”. Lanjutnya sinis ketika aku belum selesai berbicara.

            “Gue juga bingung awalnya, terus inget deh ada tugas dari Bu Mina jadinya..”

            “Kenapa ada Nazriel segala? Ngapain aja kalian?” Pertanyaannya semakin tajam sehingga membuatku harus menyiapkan kata-kata agar tidak menyinggung perasaannya.

            “Nin, jangan salah paham dulu. Awalnya gue kesana sendiri, terus..”

            “Apa? Loe tau nggak sih, gue juga cariin dia di taman, tempat biasa dia ngajar anak-anak. Tempat kita biasa mandangin cowok yang kita suka. Loe lihat Peter, dan gue lihat Nazriel.” Nina semakin meninggikan suaranya.

            “ Loe tau nggak sih, Biel. Adek-adek kelas pada cariin dia buat privat, tapi dianya gak ada. Kenapa kalian bisa sekaligus hilang dan kembali dalam waktu yang sama? Loe tau kan gimana perasaan gue, Biel?!!”.

 Nina langsung beranjak dari bangku dan meninggalkanku. Matanya berkaca-kaca membuatku diam seribu bahasa. Cepat-cepat ku kejar pemilik kaki mungil itu untuk menjelaskan hal yang keliru.

“Nin! Nina!”. Panggilku. Namun Nina juga tak menghentikan langkahnya. Aku terus mengejarnya dan kini berhasil menarik lengan kirinya.

“Nina, gue belom selesai ngomong, Nin! Dengerin gue dulu!”

“Apa lagi? Tega banget sih loe jadi sahabat! Loe udah berlebihan!”

“Nina, gue kesana sendiri, mau ngerjain tugas bu Mina. Tiba-tiba dia datang di belakang gue dan ngajak gue belajar bareng. Gue nggak tau kenapa dia bisa disana, ditambah lagi taman yang sepi tanpa anak-anak..”

Aku menarik napas panjang. Air mata Nina semakin menetes.

“Loe ingat kan Nin?  Loe pernah suruh gue telepon dia buat ajarin tentang kardiovaskular? Dan loe ada kan waktu gue telepon dia. Sumpah! Kita gak ngapa-ngapain selain dia ngajarin gue dan gue bener-bener paham. Sekarang, coba loe pikir deh, siapa yang berlebihan?” Jelasku. Entah kusadari emosiku ikut bermain sekarang,  menghujam tajam hatiku.

Nina sedikit tenang. Hanya masih terisak.

“Tapi, kenapa dia rela nggak ngajar di taman demi ngajarin loe doang? Dia kan bisa cari waktu pulang sekolah.” Lanjutnya

“Nina, Nazriel ada pelajaran tambahan siang ini. Dia udah minta maaf ke adik-adik kelas karena lupa sampein hari ini dia nggak bisa ngajarin mereka.” Jawabku berusaha mengatur emosi.

Tangisnya mulai mereda dan jemarinya menggenggam tanganku erat.

“Biel? Gue udah berlebihan banget ya? Gue minta maaf Biela..., gue tadi kepancing emosi. Gue takut loe khianatin gue. Gue iri sama loe karena bisa sedekat itu sama dia. Gue cuma kebawa halusinasi kalo gue bakal kehilangan kalian berdua. Maafin gue...” Lirihnya.

Aku memeluk tubuh mungil Nina. Sahabatku, yang memiliki perasaan paling peka. Dari kecil, Nina adalah sahabat yang sangat sensitif bila berhubungan dengan urusan perasaan. Dia berusaha mengubahnya namun akhirnya tetap membenarkan argumennya sendiri yang selalu meyakini bahwa dirinyalah yang paling benar.

“Loe harus percaya, Nina. Nazriel nggak mungkin membedakan salah satu antara kita. Kita bertiga sahabatan. Kalo loe punya masalah sama pelajaran, dia pasti orang pertama yang bakal bantuin loe sama kayak dia memperlakukan gue, dan gue yakin, hal lebih baik akan terjadi untuk loe..”

Aku memeluknya erat. Tersenyum haru betapa Nina sangat perhatian dengan hal kecil yang terjadi pada Nazriel, juga padaku. Aku lega bisa meyakinkannya. Tapi ada satu hal yang terselip bahkan tak tersentuh dalam pikiran Nina. Atau mungkin ia tidak mau membahasnya lebih lanjut.

“Mengapa Nazriel bisa menebak keberadaanku di kumpulan buku yang bertolak belakang dengan karakterku kemudian rela meninggalkan tugas rutinnya demi mengajariku yang baru dikenalnya beberapa minggu?”.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (10)
  • dear.vira

    @Ardhio_Prantoko hehe, terima kasih sudah membaca :)

    Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh
  • Ardhio_Prantoko

    Cerita remaja yang bikin aku ketawa bacanya. Pembawaan ceritanya bagus. Aku cenderung suka mode showing, tapi ini mode tellingnya enak.

    Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh
  • NinaKim

    Baper :(

    Comment on chapter Peter
  • dear.vira

    @yurriansan terima kasih :)

    Comment on chapter Peter
  • yurriansan

    bagus, baru baca bab awal udah penuh misteri ceritanya

    Comment on chapter Peter
  • dear.vira

    @MS_Wijaya terima kasih banyak 😊

    Comment on chapter Peter
  • dear.vira

    @ShiYiCha terima kasih, oke pasti di like back👍

    Comment on chapter Peter
  • MS_Wijaya

    wah keren ceritanya Kak..

    Comment on chapter Peter
  • ShiYiCha

    Wiw... Nice story. Larut bacanya. Cemungut terus, ya Kak bikin ceritanya.
    Btw, likeback ya.

    Comment on chapter Peter
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter Peter
Similar Tags
Cinta Pertama Bikin Dilema
3137      1026     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
Love Dribble
9276      1671     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
Venus & Mars
4530      1261     2     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
Letter hopes
852      477     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Kamu, Histeria, & Logika
52796      5209     58     
Romance
Isabel adalah gadis paling sinis, unik, misterius sekaligus memesona yang pernah ditemui Abriel, remaja idealis yang bercita-cita jadi seorang komikus. Kadang, Isabel bisa berpenampilan layaknya seorang balerina, model nan modis hingga pelayat yang paling berduka. Adakalanya, ia tampak begitu sensitif, tapi di lain waktu ia bisa begitu kejam. Berkat perkenalannya dengan gadis itu, hidup Abriel...
Lost Daddy
4157      893     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
When I Found You
2570      860     3     
Romance
"Jika ada makhluk yang bertolak belakang dan kontras dengan laki-laki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan." Andra Samudra sudah meyakinkan dirinya tidak akan pernah tertarik dengan Caitlin Zhefania, Perempuan yang sangat menyebalkan bahkan di saat mereka belum saling mengenal. Namun ketidak tertarikan anta...
A Ghost Diary
4679      1472     4     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
Rindu
360      259     2     
Romance
Ketika rindu mengetuk hatimu, tapi yang dirindukan membuat bingung dirimu.
I'll Be There For You
1062      498     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.