Bagian 4 : Arti Sebuah Nama
“Terima kasih, Bianglala.”
Aku mendelik. Awan seolah tak menyadari kekesalanku dengan cepat berlalu setelah meminjam buku milikku. Beberapa gadis mengekori langkahnya. Mereka pasti mau menonton Awan bermain basket. Dua hari lalu Awan memang menunjukkan bakatnya. Aku mendesah berat. Sejak insiden keceplosanku di hari pertamanya di kelas, Awan terus memanggilku dengan nama lengkap, Bianglala.
“Kamu kenapa, La? Keliatan bete banget,” celetuk Sekar. Aku tak menyahut. Sekar terus menatapku. Bahkan, Bulan jadi ikut-ikutan memelototi.
“Anak baru itu memanggilnya dengan nama lengkap,” suara datar Bintang mengagetkan Sekar dan Bulan. Keduanya segera menatapku heran, seolah tak percaya pada ucapan Bintang.
“Kamu ngasal deh, Ntang. Masa Lala bete hanya karena masalah itu,” tawa Bulan pecah. Aku mendelik, ini bukan masalah sepele. Sejak sekolah dasar aku telah menjadi bulan-bulanan karena nama itu. Bulan menutup mulutnya. “Ya ampun Lala beneran karena masalah itu?” Aku mendengus sebelum mengangguk pelan.
“Memangnya kenapa, La?” Sekar dengan cepat masuk ke dalam obrolan sebelum Bulan menjadi heboh.
Aku mendesah berat. Kutatap langit biru dengan mata melankolis. Bulan nampak tak sabar. Sekar berusaha tersenyum lembut sok keibuan, meskipun sebenarnya juga gemas melihat kelakuanku. Bintang? Seperti biasa, dia tak peduli.
“Nama itu selalu menjadi bahan ledekan.” Bulan memasang raut wajah sedih, dia memang sangat mudah terharu. “Kenapa ya orang tuaku memberiku nama Bianglala, padahal mereka bisa menggunakan nama Pelangi yang memiliki arti sama?’
“Pasti ada alasannya, seperti namaku misalnya Rembulan Purnama Sari, soalnya kata Mama aku lahir saat bulan purnama yang sangat indah,” ucap Bulan yang mendadak menjadi bijak.
“Kalau aku diberi nama Dewi Sekartaji karena orang tuaku penggemar kisah putri Candra Kirana atau Dewi Sekartaji,” sahut Sekar tak mau kalah.
Aku dan Bulan mengangguk-angguk paham. Sekian lama, barulah kami mengetahui kenapa nama gadis asal Medan itu sangat Jawa sekali. Aku memalingkan wajah tepat ke sebelah kananku, dimana Bintang masih asyik dengan bukunya. Sekar dan Bulan juga ikut menodong Sang Bintang Kelas dengan mata menyelidik.
“Aku ya ....” Kami mengangguk antusias. Aku mendadak melupakan kesedihanku dan asyik dengan arti nama dari kawan-kawanku. “Nama Bintang karena orang tuaku merasa aku akan menjadi harapan baru bagi mereka, sang bintang yang akan menerangi kehidupan mereka yang suram.”
“Wah keren sekali!” Aku mendadak menunduk. “Cuma aku yang tidak jelas ....”
“Mungkin saja namamu diambil dari peristiwa saat kelahiran seperti Bulan.” Aku mengangkat wajahku, merasakan sedikit harapan yang dipancarkan oleh Sang Bintang. “Misalnya kamu lahir di dalam wahana bianglala ....”
“BINTAAAANG!” Bintang terkikik geli. Aku bersungut-sungut. Sekar dan Bulan ikut terkekeh namun segera menutup mulut mereka ketika aku mendelik.
***
BRAK!
Aku baru saja ke luar dari kamar kecil, berniat menunggu Sekar yang masih di dalam ketika suara keras mengusik perhatianku. Seketika tangan refleks menutup mulut ketika adegan ala sinetron tersaji di hadapanku. Buku-buku berserakan di koridor sekolah dengan dua insan lawan jenis tengah mengaduh kesakitan. Mungkin sebentar lagi akan ada adegan tangan yang bersentuhan saat memunguti buku. Aku semakin asyik menonton.
“Kalau jalan pakai mata, dong!” suara ketus sang gadis cantik terdengar. Namanya Putri. Meskipun masih kelas satu, dia terkenal pemberani. Awan, tokoh pria dalam adegan nampak sedikit kesal.
“Maaf deh! Aku lagi buru-buru!”
Keduanya segera terlibat pertengkaran. Wah! Adegan ini makin mirip FTV, benci jadi cinta. Aku jadi ingin membeli popcorn biar lebih terasa kayak lagi nonton. Keributan mereka kini memancing kedatangan dua gadis cantik berpenampilan modis, Melodi dan Nada. Melodi mendadak mendorong bahu Putri.
“Eh adik kelas aja belagu!” bentaknya. Nada ikut mencibit. Nah lho makin mirip sinetron remaja. Tokoh antagonis mulai muncul. Kulihat Awan nampak risih pada dua anak kelas tiga penggila mode itu.
“Terus kalau jadi kakak kelas bisa seenaknya maksud Kakak?” tantang Putri.
Wah makin seru nih!”
“KAMU!” Tangan halus milik Melodi terangkat siap mendarat di pipi mulus Putri. Aku memejamkan mata tak ingin melihat kejadian itu. Menolong? Aku tak mungkin punya keberanian sebesar itu.
TAP!
“Kalian ini keterelaluan ha!” suara yang tak asing membuatku membuka mata. Benar saja, Sekar ada di sana menangkap tangan Melodi.
“Satu lagi adik kelas belagu. Kamu mau nantangin kita heh!”
Nada mendadak menjambak rambut Sekar. Gadis medan itu sempat berkelit. Jemarinya mengenggam kuat, menandakan emosinya tengah membuncah. Sebuah tinju siap dilancarkan.
“AWAS ADA GURU!” jeritku panik.
Tinju Sekar mengantung di udara. Sungguh, aku tak suka ikut campur masalah seperti ini! Tapi, aku takkan membiarkan Sekar kehilangan kesempatan untuk mengikuti pertandingan karate minggu depan. Dia bisa saja didiskualifikasi karena pertengkaran macam ini bukan? Dua kakak kelas modis itu langsung kabur dengan wajah panik. Aku mengehmbuskan napas lega.
“Lala?”
“Aduuuh Sekar kamu jangan berantem dong! Nanti nggak bisa ikut pertandingan,” keluhku dengan kening berkedut.
“Untuk membela keadilan aku rela kok La,” sahut Sekar sambil tertawa lepas. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah gadis itu. Sekar berjongkok memunguti buku-buku yang berserakan bersama Putri. “Mau dibawa kemana bukunya, Dik?”
“Ke kantor guru, Kak.”
“Biar kubantu!” seru Sekar riang. “Aku bantuin adik ini dulu ya, La. Kamu duluan aja ke kantin.” Aku mengangguk.
Sekar dan Putri berlalu, meninggalkanku bersama si tampan pembawa masalah. Aku baru saja akan permisi pergi ketika wajah Awan mendadak panik. Kulihat di kejauhan belasan siswi berlari ke arah kami dengan wajah berbunga-bunga. Aku mendesah berat melihat adegan yang mirip manga itu. Entah karena kasihan atau apa, tanganku tanpa sadar menarik tangan kokoh milik Awan. Lelaki itu menatapku heran. Aku tak peduli terus melesat ke semak-semak dan baru berhenti ketika berada di ruangan kosong, gudang lama.
“Di sini kamu aman, nanti baru kembali ke kelas kalau sudah mau bel masuk.” Matanya menatapku ragu. “Tempat ini dianggap tabu karena ada rumor hantu penunggu sekolahnya.”
“Kamu tidak takut?”
“Tidak, hantunya tidak jahat kok.” Awan menatapku tak percaya. Aku tergelak. “Dia cuma suka jahilin anak yang nakal aja kok. Kamu mau lihat? Dia cantik lho.” Awan dengan cepat menggeleng. “Ya sudah, aku ke kantin dulu. Teman-temanku pasti sudah menunggu.”
Langkahku terhenti tangan kokoh mengenggam lenganku. Aku mengerutkan kening. Awan menatapku dengan mata memelas. Tawaku langsung pecah. Dia mulai bersungut-sungut, memalingkan wajahnya.
“Jangan pergi!”
“Ya sudah kutemani kalau kamu takut!”
Awan mendelik. Aku menyengir lebar. Sebenarnya, aku setengah berbohong. Dulu, di ruangan ini memang ada penunggunya, gadis yang cantik. Namanya Hana, rambutnya ikal berwarna cokelat. Tapi, aku paling suka melihat lesung pipinya. Pertemuan pertamaku dengannya saat aku tak sengaja membuat masalah dengan Melodi. Dia menghasut teman-temannya mengurungku di sini. Awalnya, aku sangat takut tapi ketulusan Hana membuat kami menjadi akrab. Tepat setahun lalu, Hana yang telah merasa senang memiliki teman, akhirnya bisa pergi dengan tenang.
“Hmm ... makasih ya,” gumaman Awan membuyarkan lamunaku. Aku mengerutkan kening. “Untuk membantuku menghindari cewek-cewek anarkis itu.” Hening sejenak. “Ah ya! Kamu sendiri tidak tertarik padaku?” tanya Awan sambil tersenyum nakal. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Bagaiamana ya .... Kamu itu sangat menarik, ganteng, pintar, jago olahraga. Tapi ... kriteria cowok yang aku inginkan yang paling pertama adalah mukanya biasa saja, nggak ganteng juga nggak jelek. Jadi, kamu nggak masuk kriteria.” Awan terkekeh.
“Ini pertama kalinya aku mendengar kriteria seperti itu.” Awan tersenyum lembut. “Aku ingin memberikan seusatu padamu sebagai balas budi. Apa yang kau inginkan?”
“Nggak perlu lah segitunya.” Awan tersenyum jahil.
“Atau kau ingin tubuhku sebagai imbalanya.”
Aku mengernyitkan kening. Mataku menatap lelaki tampan itu. Wajahnya memang amatlah tampan, seolah berkilauan di tempat remang-remang ini. Kulihat sepasang lengan kokoh, juga bahu bidangnya.
“Ide bagus!” seruku riang. Awan menatapku tak percaya. Dia menyilangkan lengannya di depan dada. Raut mukanya persis seperti anak gadis di sarang penyamun. “Kamu kenapa?”
“Ya ampun, Bianglala. Aku tadi hanya bercanda. Biar begini-begini ... aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu sebelum menikah.” Aku melongo, berusaha mencerna ucapannya.
CLING! Sebuah pemahaman datang padaku.
Ah! Ya Ampun memalukan!
“Bukan begitu maksudku!” jeritku panik dengan wajah memerah. Aku memukul lengannya dengan keras. “Maksudku kamu jadi model komikku.”
“EH?” Awan melirikku ragu. “Sungguh?” Aku mendengus sebal. “Tapi gambar bikinan kamu bagus nggak? Jangan sampai mukaku jadi jelek nanti,” cerocosnya.
Aku melempar penghapus papan tulis bekas ke wajahnya. Lengan atletis Awan dengan gesit menangkap lemparanku. Aku menghembuskan napas berat, merogoh saku rok dan mengeluarkan kertas dan pensil. Tak lama kemudian, aku sudah asyik menggambar.
“Selesai!” seruku sambil menyerahkan kertas pada Awan. “Mungkin tak terlalu bagus karena waktunya singkat.”
“Hmm ... bagus juga, oke deal aku mau jadi model kamu. Tapi, ini bukan komik mesum ‘kan?” Aku mendelik.
Awan terkekeh, senang betul nampaknya menjahiliku. Awan membalik kertas dan mengamatinya dengan alis bertaut. Tawanya mendadak pecah. Aku mengerutkan kening, menodongnya dengan tatapan tak mengerti. Awan masih tertawa lepas, bahkan sampai memegangi perutnya.
“Ya ampun, Bianglala. Masa soal mudah begini kamu bisa dapat 20 sih?” ledek Awan setelah tawanya mereda. Aku mendelik.
Oh Shit! Kenapa juga aku harus menggambar di belakang hasil ulangan fisika?
“Soalnya susah tahu! Bintang saja dapat 80, biasanya kan nilai minimal dia 90,” kilahku. “Memangnya kamu sendiri dapat berapa?” tantangku.
Awan tersenyum licik membuatku merasakan firasat buruk. Dia memamerkan kertas hasil ulangannya yang bernilai 100. Aku tercekat. Ulangan itu diadakan di hari pertama dia masuk ke sekolah ini.
“Bagaimana kalau sebagai bonus tambahan kuajari kamu?”
“Nggak! Nanti diajari Bintang saja!”
“Ayo sini! Coba lihat harusnya yang ini kamu kalikan begini ... begini ....”
Entah bagaimana aku jadi mendengarkan penjelasan Awan. Kuakui, dia berbakat menjadi guru. Penjelasannya sangat sederhana dan mudah dimengerti. Ini pertama kalinya soal fisika yang membuat otakku mau meledak menjadi sederhana dan tampak mudah. Awan terkekeh berkali-kali melihatku yang berdecak kagum. Namun, mataku tak sengaja melihat arloji di pergelangan tangan Awan.
“Aishhh! Ini sudah jam berapa? Bu Indah pasti sudah masuk!” seruku panik.
“Kamu tenang saja, Bianglala. Selama kamu telatnya bareng aku, murid kesayangan beliau, kamu aman ha ha ha. Ayo kita kembali ke kelas!”
Aku hanya mengekor di belakang Awan. Tubuhku menegang ketika Awan mengetuk pintu dengan sopan. Lelaki itu malah melangkah masuk dan menuju meja guru. Aku terpaksa mengikuti langkahnya.
“Maaf, Bu. Kami terlambat.”
“Kenapa kalian terlambat?” tanya Bu indah lembut pada Awan namun menatap tajam padaku. “Tadi kami keasyikan belajar, Bu. Saya membantu Bianglala belajar. Saya kasihan nilai fisikanya kurang memuaskan.” Ingin rasanya kusumpal mulut si Awan ini dengan kaos kaki tidak dicuci seminggu.
“Ya sudah! Lain kali kalian harus memperhatikan bel masuk! Kembali ke meja kalian!”
“Iya, Bu!”
Aku menghembuskan napas lega. Awan mengedipkan sebelah matanya nakal sambil menyengir lebar. Sayangnya, aku terlalu cepat merasa tenang. Masalah belum selesai. Telingaku terasa panas mendengar bisikan-bisikan tak sedap itu.
“Sok cantik banget!”
“Pasti Cuma alesan minta diajarin!”
“Kasian Awan sampai telat gara-gara dia! Untung nggak dihukum Bu Indah!”
Beginilah yang membuatku tak ingin punya pacar ganteng dan populer!
***
Awan duduk memangku sebuah buku di atas kursi taman sekolah sambil tersenyum lembut. Aku menggambar dengan hati-hati setiap goresan demi goresan. Karakter yang tergambar harus benar-benar memunculkan sosok Awan yang tengah senang. Awan terkekeh. Aku mendelik.
“Awan, kamu harus tetap berekspresi seperti tadi,” protesku.
“Maaf maaf, wajah kamu tadi serius sekali. Itu lucu.”
Awan kembali pada pose semula sementara aku melanjutkan gambar. Hening merayap perlahan. Hanya gemerisik angin semilir yang berhembus sepoi-sepoi. Tiga puluh menit berlalu, aku tersenyum cerah.
“Akhirnya, selesai!” seruku riang.
“Mana? Sini kulihat dulu!” Awan merebut buku sketsa di tanganku. Mata elang mengamati gambarku dnegan seksama. “Hmm ... tidak menyangka aku sekeren ini. Oh ya, Bianglala! Nanti ceritanya tentang apa?”
“Romance, ini pertama kalinya aku coba bikin genre romance,” sahutku sambil membereskan peralatan gambar.
“Wah! Siapa yang jadi model ceweknya?”
“Aku sendiri.” Awan tersenyum menggoda. “Pemeran utamanya ‘kan nggak perlu bersatu. Ceritanya tentang cowok yang nampak sempurna namun ternyata memiliki depresi gara-gara keluarganya.” Sempat kulihat wajah Awan sedikit berubah namun dengan cepat dia kembali tersenyum. Aku pun tak ambil pusing. Mungkin hanya perasaanku saja. “Cewek itu memanfaatkan rahasia sang cowok agar bisa pacaran dengannya tapi akhirnya dia sadar perbuatannya salah. Mereka berdua tetap menjadi teman baik dan akhirnya menemukan pasangan hidup masing-masing..”
“Mana bisa begitu? Pasti pembaca akan kesal dengan ending seperti itu! Seharusnya mereka akhirnya menyadari perasaan satu sama lain,” protes Awan.
“Yang begitu ‘kan udah mainstream! Mau-mau aku dong sebagai authornya.”
Awan masih bersikeras dengan pendapatnya. Aku mengajukan beberapa alasan lain, seperti cerita yang harus realistis. Kami kompak menghembuskan napas berat, capek setelah berdebat selama lima belas menit.
“Ya sudahlah terserah kamu deh Bianglala.”
“Jangan memanggilku Bianglala! Lala saja tolong Lala saja!” Awan menaikkan sebelah alisnya. Aku menunduk. Entah kenapa aku malah menceritakan pengalaman burukku ketika namaku yang selalu menjadi bahan ledekan.
“Kukira nama kamu pasti memiliki arti spesial. Setiap orang tua pasti punya maksud baik ketika memberikan sebuah nama pada anaknya. Kenapa tidak kamu tanya saja pada orang tuamu?” Aku manggut-manggut sambil merutuki diri sendiri.
Kenapa pula aku tidak tanya Ayah atau Bunda dari dulu-dulu?
“Makasih sudah menghiburku, juga mau menjadi model komik. Aku pulang duluan ya!” seruku sambil melambaikan tangan.
Aku berjalan tergesa meninggalkan Awan. Panas terik yang memanggang ubun-ubun terasa menyiksa. Kupercepat langkah ketika melihat angkot dikejauhan. Tinggal sedikit lagi, aku melambaikan tangan bermaksud memberhentikan angkot. Sayangnya, sopir hanya berlalu tak sempat melihat lambaian tanganku.
ARGGGG! Sial sekali!
“Lala? Kamu belum pulang?” suara lembut yang familiar bagaikan oasis di tengah padang pasir. Aku seketika menoleh ke kanan dan benar saja, malaikat tak bersayap itu berdiri di sana. Panas terik tak lagi terasa. Hitamnya asap kendaraan berubah menjadi pelangi. Aku memegangi dadaku yang berdebar kencang.
“Kak Langit?” tanyaku malu-malu.
“Kak Langit mau jemput adik kakak, La. Tapi, dianya malah bilang nggak usah dijemput. Katanya mau pulang bareng sama teman.” Meskipun nampak kecewa, senyuman lembut tak pernah lepas dari bibir Kak Langit. Tapi, adik ....
“Eh? Mawar dan Melati ‘kan masih SD?” Aku mengerutkan kening. Kak Langit tertawa kecil.
Oh Tuhan! Manis sekali!”
“Bukan mereka, tapi adik yang selama tinggal dengan Oma dan Opa.” Aku mengangguk-angguk paham. “Eh, kenapa kamu tidak ikut Kakak saja?” Wajahku seketika merona. “Ayo naik!”
Kawan, pepatah lama mengatakan jangan pernah menolak rezeki. Oleh karena itulah, aku tak membuang waktu segera menaiki jok motor bebek Kak Langit dengan hati berbunga-bunga. Kemudian, aku mulai galau, mau berpengangan tapi takut dikira cari kesempatan.
KROOOOK
Pipiku terasa panas. Bunyi perutku membuat Kak Langit terkekeh. Aku menunduk untuk menyembunyikan rona di wajahku. Meskipun ditertawakan, aku sama sekali tidak merasa tersinggung.
“Kakak lapar nih! Bagaimana kalau kita makan dulu?”
“Eh anu Kak itu ...,” aku mencerocos dnegan gelagapan. “Bunda biasanya suruh makan di rumah.”
“Nanti Kakak yang bilang ke Bunda kamu.”
Kak Langit menoleh ke belakang sambil tersneyum manis. Mata indahnya nampak memelas menodongku. Senjata rahasia yang tak mungkin bisa kulawan. Aku langsung mengangguk dnegan polos. Benar-benar rezeki nomplok. Aku telah mendapatkan model untuk komik, di bonceng Kak Langit, ditraktir makan pula.
Apakah ini bisa disebut kencan?
...
Aku berusaha keras menahan sendawa. Berhasil, anginnya masuk lagi ke dalam perutku. Kerongkonganku memang terasa panas tetapi tentu aku tak mau melakukan hal memalukan itu di hadapan Kak Langit. Kawan karib Kak Kus itu tengah merapikan piring yang berserakan di atas meja. Dia selalu begitu.
“Ah ya! Lala Kakak ke sana sebentar ya!”
Aku mengangguk. Kak Langit buru-buru ke luar rumah makan dan duduk di bangku taman. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan kotak rokoknya. Tak lama hingga kepulan asap rokok terhembus dari bibirnya. Lelaki yang baik hati bagaikan ibu peri itu memang perokok berat. Tak ada yang sempurna di dunia ini, kawan. Itulah kenapa aku tak mungkin bisa bersamanya. Penderita asma sepertiku tak tahan jika terpapar asap rokok.
Apa yang kupikirkan? Geer banget sih! Memangnya Kak Langit mau sama aku? Biar mau juga aku ‘kan tidak mau pacaran sama cowok ganteng. Tapi, Kak Langit itu termasuk cowok cantik sih.
***
“Ayah!”
Tak ada sahutan. Aku memang tengah mencari Ayah. Namun, lima belas menit mencari tak membuahkan hasil. Kebun belakang, kamar tidur, dapur, gudang sudah kutelusuri. Ah ya! Tinggal satu ruangan, ruang kerja ayah.
Aku melongokkan kepala ke dalam ruangan tak seberapa luas itu. Aroma geranium tercium samar. Ayah tak ada di dalam. Namun, aku tetap masuk karena mendadak penasaran dengan rak kayu berisi puluhan buku tebal. Aku terperangah ketika melihat tiga buah buku, sebuah trilogi. Buku itu nampak jelas dimakan usia.
“Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala ...,” gumamku membaca judul buku. Tanganku meraih buku berjudul Jantera Bianglala. Namun, mendadak seseorang merebutnya. Aku berbalik. “Ayah?”
“Lala, buku ini untuk dewasa,” tegur Ayah. Beliau meletakkan kembali buku tadi ke dalam rak.
“Tapi, Yah. Ada nama Kak Lintang dan Lala di sana!” Ayah tersenyum lembut, mengajakku duduk di kursi. Aku menatap Ayah dengan rasa penasaran yang menggelora.
“Ayah akan ceritakan sejarah nama kalian. Buku tadi ditulis Bapak Ahmad Tohari, penulis idola Ayah dan Bunda. Suatu hari Ayah ingin mendapatkan buku cetakan pertamanya. Ayah menemukannya tapi saat hendak membelinya Ayah jadi ribut dengan Bunda karena menginginkan buku yang sama. Akhirnya, Ayah mengalah. Ternyata habis itu kami malah akrab hingga akhirnya menikah. Oleh karena cinta kami yang tumbuh dengan unik, kami memberi nama Lala dan Kakak dengan judul buku itu.”
Aku kehilangan kata-kata, mendadak terharu. Aku tak menyangka nama yang selama ini kubenci setengah mati memiliki kenangan yang tak tergantikan. Aku memeluk Ayah manja. Beliau menggelengkan kepalanya, terkekeh untuk kemudian mengusap kepalaku lembut.
Terima kasih, Awan... Atas sarannya ....
***