Bagian 3 : Empat Sekawan
“HUAAAAA!” jeritan Bulan memekakkan telingaku.
Aku tak banyak bicara hanya mengusap punggungnya. Dia memelukku erat. Beberapa pasang mata menatap lekat. Bibir sinis mencibir. Suasana kantin menjadi terasa tak nyaman. Tak apa, aku sudah kebal. Masalah seperti ini sudah seringkali terjadi pada sahabat cantikku ini, bahkan aku sudah hapal setiap kalimat yang akan terdengar dalam isakannya.
“Dia jahat banget sama aku, La. Nggak peka! Apa semua cowok kayak gitu?” Aku terus mengusap punggung Bulan. “Surya nggak pernah ngertiin aku, La! Dia bilang aku tuh cengeng, lemah bisanya cuman nangis!”
Adegan dramatis ala sinetron remaja itu akan berlangsung selama lima belas menit, terhenti karena bel masuk berbunyi. Aku menatap sedih sepotong bakwan yang belum sempat kusentuh, juga es teh yang masih berembun gelasnya. Setelah memasang wajah sok keibuan, aku membujuk Bulan untuk kembali ke kelas. Namun, dia bergeming.
“Ayolah, Lan. Nanti kita telat.”
“Aku nggak mau ketemu dia dulu.”
Aku menghembuskan napas berat, lupa kalau Surya sekelas dengan kami. Bulan hanya menatap hampa langit menandakan dirinya telah berniat membolos. Aku menggaruk-garuk kepala, memutar otak untuk membujuk Bulan. Membolos bersama atas nama setia kawan tidak ada dalam kamusku. Aku akan selalu mengingat wajah kecewa Ayah saat memberikan nasehat panjang lebar tentang persahabatan ketika dulu aku menjadi ketua komplotan anak-anak suka nyolong mangga tetangga. Menurut Ayah, persahabatan sejati adalah ketika kita dapat memberikan kebaikan di dalamnya.
“Jadi, kamu mau memperlihatkan pada Surya kalau dia benar. Kamu cewek lemah, cuman bisa nangis.” Telinga Bulan berdiri. Dia menatapku kesal.
“Apa maksud kamu, La?” Bagus! Bulan terpancing. Sekarang, tinggal menyiram bensin dalam kobaran api kemarahan.
“Kalau kamu melarikan diri seperti ini, berarti dia benar dong.” Bulan terlihat memikirkan ucapanku. “Kamu harus buktikan ke dia kamu baik-baik saja.”Bulan mulai menyetujui kata-kataku. “Sekarang bersihkan wajah kamu, terus kita balik ke kelas.”
Aku menyodorkan tisu. Bulan antusias menerimanya dan membersihkan wajahnya, bahkan sempat-sempatnya memperbaiki make up. Tak lama kemudian, kami pun berjalan tergesa, setengah berlari menuju ruang kelas, sudah telat.
“Darimana saja kalian?” Wajah sangar pak guru sepuh yang terkenal killer menyambutku dan Bulan. Kami menunduk dalam.
“Maaf, Pak. Tidak akan kami ulangi lagi,” sahutku cepat. Aku juga menyikut Bulan yang hendak menyampaikan alasan. Begitulah prinsipku. Jika kamu sudah melakukan kesalahan di hadapan seseorang yang galak, jangan pernah berkilah. Seribu alasan pun takkan berguna. Jadi, akui saja kamu salah, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
“Masuk, hukumannya kalian kerjakan soal halaman 56, kumpulkan besok di meja saya.” Kami mengangguk patuh.
Aku dan Bulan segera duduk di bangku kami. Sosok kurus berambut pendek dengan kacamata melorot di hidungnya sempat geleng-geleng kepala. Kulihat juga Surya menatap iba pada kekasihnya. Dia nampak berbisik pada saat Bulan melewati bangkunya. Namun, Bulan melengos, benar-benar melaksanakan janjinya di kantin. Meski kutahu janji itu takkan pernah bertahan lama.
Yah, paling tidak kami hanya perlu mengerjakan PR. Aku akan berlutut, memohon pada Kak Kus untuk membantuku menyelesaikannya.
***
Aku mendesah berat. Meskipun sudah dapat menduganya, aku tetap merasa lelah melihat Bulan yang cepat sekali berubah-ubah. Bintang yang berjalan di sampingku tetap fokus pada buku kimia di tangannya, tak peduli pada sikuku yang dari tadi menyikutnya. Bintang hanya mengalihkan perhatiannya sebentar saja, untuk membenarkan letak kacamata yang melorot.
“Shhh Bintang,” panggilku setengah berbisik. “Bintang ....” Bintang masih acuh. “Bintang, Bintang, Bintang, Bintang,” panggilku berulang kali. Gadis dengan rambut pendek sedikit kemerahan akibat terbakar matahari itu akhirnya menoleh.
“Kenapa sih La?” tanyanya ketus. Sorot matanya jelas menunjukkan kekesalannya pada tindakanku.
“Itu si Bulan sudah gandengan lagi sama Surya. Padahal tadi di kantin dia bilang katanya udah kapok pacaran sama Surya.” Aku masih tak rela pengorbanan bakwan yang harus kutinggalkan di kantin tadi siang menjadi sia-sia.
“Itu ‘kan sudah biasa, La,” sahut Bintang cuek, kembali menekuri bukunya.
Aku mendengus sebal. Bintang seolah tak menganggap penting hal ini. Padahal selain karena bakwan yang menjadi mubazir, aku juga iba pada Bulan. Setiap kali ada masalah dengan Surya dia selalu terluka. Aku tak mengerti kenapa Bulan rela terluka berulang kali. Padahal dengan wajah secantik itu Bulan pasti dengan mudah mendapatkan pengganti Surya. Aku melirik dua sejoli di atas motor sport milik Surya. Kulihat Bulan nampak terkikik geli, mencubit pelan lengan Surya.
“Tapi, Bintang ... aku aja capek lihatnya. Kok si Bulan nggak capek sih.” Bintang hanya menggumam tak jelas. Aku mendadak mengepalkan jemariku, mendapatkan suatu inspirasi. “Huh! Kayaknya aku nggak mau pacaran deh kalau harus bernasib seperti itu.”
“Ya betul itu.” Aku menatap Bintang tak percaya. Jarang-jarang dia setuju dengan pendapatku. “Tugas pelajar adalah belajar bukan pacaran.” Aku langsung merengut. Bintang tersenyum nakal.“Nggak pacaran aja nilai fisikamu jeblok, La. Apalagi ....”
Aku memukul pelan kawanku itu. Bintang tertawa nakal sebelum berlari meninggalkanku di belakang. Aku segera ikut berlari, tak akan melepaskannya kali ini. Meskipun kurus, si Bintang ini memiliki tenaga ekstra untuk berlari.
“Awas kamu, Bintang!” Bintang terus lari. Aku mengejarnya dengan antusias
Ah! Rasanya aku sudah tidak galau lagi karena masalah Bulan. Bintang selalu mempunyai cara yang unik untuk melenyapkan keresahan kawannya. Entah kenapa aku merasa Bintang sangat mirip Kak Kus, menyebalkan dan menenangkan di saat bersamaan. Apakah orang jenius itu memang seperti itu ya?
...
Aku mengipas-ngipasi wajahku. Bintang masih terkekeh di sebelahku. Kami sudah duduk nyaman di dalam angkot, duduk berdempetan dengan penumpang lainnya. Obrolan ringan mengalir perlahan meskipun lebih mirip monolog karena akulah yang lebih banyak bicara, Bintang hanya sesekali menyahut dengan ya atau hmm. Matanya fokus pada buku di tangannya, kali ini telah berganti dengan pelajaran biologi. Kalau ada Sekar, pasti akan ada yang menimpali omonganku. Sayang, Sekar sedang izin karena ada pertandingan.
“Bintang, dengerin aku dong. Belajar terus ah, kamu kesambet hantu belajar ya.” Berhasil! Bintang mengalihkan pandangannya. Namun, seketika aku tersentak dan merasa tak enak hati. Mata Bintang menatapku sendu.
“Maaf ya, La. Tapi aku tak bisa seperti kalian. Jika nilaiku turun, kau tahu apa yang akan terjadi padaku ....”
Aku seketika terdiam. Bintang, sang Bintang Kelas yang selalu rajin belajar. Banyak yang mengatakan dia ambisius. Sayang mereka tidak tahu kehidupan sulit yang dimiliknya. Bintang terlahir dari seorang kuli panggul dan buruh cuci. Empat adiknya masih kecil-kecil. Sepulang sekolah, dia langsung bekerja membantu orang tua, terkadang kalau sedang beruntung dibayar untuk mengajar les privat anak SD. Bintang dapat bersekolah dengan beasiswa. Jika nilainya turun, beasiswa akan dicabut. Sebenarnya, beberapa kali Bintang mengajukan beasiswa untuk siswa tidak mampu, namun oknum jahat mempersulit urusannya.
“Maaf ya,” gumamku lirih. Hatiku terenyuh. Bintang tersenyum lembut.
“Tak apa, La. Kalian justru sudah banyak sekali membantuku. Aku justru harus berterimakasih pada para sahabatku.”
“Bintang ...,” ucapku penuh haru. Aku hendak memeluknya. Bintang menahan gerakanku dengan cepat membuatku melongo.
“Aku nggak mau dikira yang enggak-enggak,” gumam Bintang tanpa rasa bersalah. Aku merengut. Bintang terkekeh.
***
Gadis bertubuh tegap memasuki kelas. Wajah manis khas medannya nampak berseri-seri. Dia segera duduk di kursinya, tepat di sebelahku. Aku merangkul bahunya dengan riang. Berita besar itu memang telah tersebar di seantero sekolah. Sekar kembali membawa kemenangan untuk cabang olahraga bulutangkis antar SMU se-Provinsi Jawa Tengah sama seperti tahun lalu.
“Aku ikut bangga, Kar,” ucapku sambil menepuk-nepuk bahunya.
“Selamat ya, Sekar.” Bintang ikut tersenyum bangga. Sekar menyengir lebar memperlihatkan gigi kelincinya.
“Makasih, La, Bintang,” sahut Sekar. Kepalanya celingak-celinguk seolah mencari sesuatu. “Bulan dimana?” tanya Sekar. Aku dan Bintang kompak memasang wajah malas.
“Biasa ...,”sahutku dan Bintang hampir berbarengan.
Bulan masuk kelas dengan wajah berseri. Lengannya merangkul erat lengan Surya. Wajah Bulan tetap terlihat polos meskipun bisik-bisik tak sedap memanaskan kupingku. Cukup banyak cewek di kelas yang iri pada Bulan. Mereka telah lama mengincar, Surya, anak pengusaha terkaya nomor dua di kota ini. Namun, di saat yang bersamaan mereka juga sadar diri bukanlah lawan yang sepadan dengan Bulan.
Ekspresi Bulan berubah menjadi lebih riang ketika matanya menemukan Sekar. Dia refleks melepaskan pelukannya di tangan Surya dan berlari menuju kami. Sang pacar nampak kecewa namun berusaha memaklumi tingkah polos Bulan.
“SEKAAAAR!” Bulan memeluk Sekar. “Selamat ya!” serunya tulus.
“Makasih, Lan.” Sekar terkekeh.
“Aku sampai nggak bisa napas waktu detik-detik terakhir kamu melakukan smash keren itu,” cerocos Bulan antusias. Bulan mulai berceloteh tentang pengalaman tegangnya di pertandingan final kemarin sore. Kami memang sampai pergi ke Semarang untuk memberikan dukungan di pertandingan final. Untung saja tepat di hari minggu.
“Kalau nggak napas kamu bisa mati,” celetuk Bintang.
Bulan mendelik. Aku juga memelototi Bintang. Anak itu selalu melucu dengan candaan yang tidak lucu, ditambah lagi dengan wajah datarnya saat melontarkan guyonan. Namun, Sekar malah tertawa lepas. Sekar memang menyukai candaan Bintang yang garing itu. Aku dan Bulan hampir saja main hakim sendiri.
“Sudah! Sudah!” Sekar menahan gerakanku dan Bulan. Tenaga atlet wanita terbaik sekolah tentu mampu menahan kami. Bintang tersenyum penuh kemenangan. Aku dan Bulan masih mendengus-dengus. “Eh Bulan juga menang lomba nyanyi ‘kan?” Wajah Bulan langsung merona.
“Ah itu sih tidak ada apa-apanya, cuman event kecil-kecilan.”
“Ah kau bisa saja merendah, Bulan,” tawa Sekar pecah. Tangan tegapnya menepuk-nepuk punggung Bulan pelan. Wajah khas medannya nampak semakin manis.
Bulan terkekeh. Bintang hanya menggelengkan kepala sebentar untuk kemudian kembali menekuri buku fisikanya. Obrolan kami kembali menghangat. Tema bercampur aduk mewarnai pagi itu. Yah, Memang kehadiran Sekar sangat berarti. Wajah manis yang selalu riang, suaranya yang tegas namun hangat, sangatlah kami rindukan sepekan ini. Aku tertawa kecil. Tak terasa sudah hampir dua tahun kami bersahabat, kecuali Bulan yang sudah menjadi sahabatku sejak SMP. Aku merasa bangga memiliki sahabat-sahabat keren seperti mereka. Meskipun aku sendiri hanya anak biasa dengan kemampuan rata-rata ....
Kau kenapa, La?” Sekar menatapku cemas. Aku menyengir lebar.
“Ah tidak apa-apa, Kar, hanya melihat kalian keren-keren banget. Kamu hebat dalam bidang olah raga, Bulan jangan ditanya, suara bening banget, juga terampil memainkan semua alat musik, lalu Bintang, siapa di sekolah ini yang tak kenal si jenius kita ini he he he.” Aku terkekeh sebelum melanjutkan ucapanku, “Sepertinya hanya aku yang tidak bisa apa-apa ....” Bintang mengangkat wajahnya dari buku, menatapku kesal.
“Kamu punya bakat yang jarang dimiliki orang lain, La, kamu pintar menggambar. Aku suka kok komik bikinan kamu yang kemarin tunjukan di angkot, karakternya kita berempat lagi” sahut Bintang dengan wajah datarnya.
Aku terpana tak menyangka Bintang akan bicara sepanjang itu, tentang komik bikinanku yang masih abal-abal. Aku mendadak terharu. Bulan dan Sekar langsung menatapku antusias. Aku balas menatap mereka polos. Keduanya memperlihatkan deretan gigi putih sembari mengulurkan tangan padaku. Aku mengerutkan kening. Bulan memasang wajah cemberut.
“Kami mau lihat juga, Lala,” sungut Bulan kesal.
“Oh maaf maaf, sebentar ya.”
Aku merogoh isi tasku, mengeluarkan berlembar-lembar kertas berisi gambar. Bulan dan Sekar berebut hendak melihat. Wajahku terasa hangat ketika dari bibir keduanya terdengar pujian-pujian yang menerbangkan asa.
“Ceritanya tentang apa, La?” celetuk Sekar. Komik yang kubuat memang belum kumasukkan dialognya. “Aku suka sekali gambar ini, aku terlihat keren banget di sini!” seru Sekar sambil mengangkat gambar dirinya dibalut armor ksatria wanita dengan gradasi biru dan putih tengah mengangkat sebilah pedang perak dengan ukiran huruf latin di sisi bagian kanan.
“Genre fantasi, ceritanya kita berempat ditugaskan raja untuk memberantas para penyihir hitam dan mosnter yang mengacau kerajaan. Sekar adalah ksatria pengguna pedang, Bulan adalah putri raja yang memiliki kemampuan sihir melalui lagu, aku terinspirasi dari game arthonelico, Bintang seorang alchemist, dan aku sendiri sumonner yang memunculkan monster dari gambar, hehhehe habisnya aku ngefans sama karakter Sai di anime Naruto.”
“Keren banget, La. Lanjutin ya La. Nanti kalau selesai kami bertiga harus jadi pembaca pertama lho,” cerocos Bulan antusias. Aku mengangguk. Sempat kulihat Bintang tersenyum kecil.
Sungguh aku telah dianugerahi Tuhan Nikmat yang tiada terkira, keluarga yang harmonis juga para sahabat yang luar biasa ...
“Simpan dulu, La!” seru Bintang mendadak.
Bulan dan Sekar menunjukkan raut wajah protes. Namun, Bintang tak peduli, dengan gesit mengumpulkan lembaran gambarku dan memasukkannya ke dalam tas selempang milikku. Tak lama kemudian, aku segera berterima kasih pada Bintang. Telinga tajamnya ternyata telah mendengar langkah kaki Bu Indah, guru fisika yang berwajah indah menuju kelas. Wali kelas kami ini memang terkenal tegas.
Wajah cantik sang guru muda yang masih single itu nampak lebih riang, membuat para siswa-siswi di kelasku mendadak tegang. Wajah riang Bu Indah menandakan akan adanya ulangan dadakan. Benar saja, baru lima menit di kelas, Bu Indah telah meminta kami menyimpan buku dan menyiapkan selembar kertas. Keluh kesah terdengar bersahutan.
“Tapi sebelum ulangan dimulai, saya hendak memperkenalkan siswa pindahan yang baru masuk hari ini, Ayo silahkan masuk, Nak!” Seorang anak lelaki memasuki kelas.
Suasana kelas mendadak riuh, terutama karena keributan yang dibuat oleh para siswi. Siswa baru ini memang sangat menawan. Wajah tampan dengan sepasang alis tebal menaungi mata elang yang menarik hati, hidung mancungnya nampak kokoh di atas bibir yang seksi. Tubuh menjulang itu kutaksir memiliki tinggi kira-kira 175-an. Lengan kokoh dengan otot bisep dan trisep yang proporsional. Bu Indah nampak kesulitan menenangkan teman-temanku.
“Kamu kenalkan diri kamu ya,” pinta Bu Indah. Kelas mendadak tenang.
“Nama saya, Awan Permana.”
Suasana kelas kembali ribut. Pertanyaan-pertanyaan penuh modus dilontarkan teman sekelasku, tanggal lahir, hobi, sampai ukuran baju. Bintang menggelengkan kepala dengan malas untuk kemudian membaca bukunya lagi, hanya buku saja rupanya yang mampu memikat hati seorang Bintang. Kulirik Sekar di sebelahku, juga cuek saja, hanya pria-pria Korea yang ada di matanya. Bulan ikut terkagum-kagum namun segera menunduk ketika Surya mendelik tajam. Aku sendiri ... sedang merenung.
Siapa tadi nama anak baru itu? Rasanya nama yang tak biasa ... Ah ya! Awan Permana!
Rasa geli tiba-tiba mendadak menyerangku. Tawaku pecah begitu saja tanpa dapat kucegah membuat puluhan pasang mata menatapku dengan alis bertaut, termasuk sang siswa baru. Mata elang itu seperti menodongku. Aku berhenti tertawa secara mendadak, menyebabkan suara tawaku jadi mirip ringkikan kuda.
“Ada apa, Lala? Kenapa kamu tiba-tiba tertawa? Saya rasa tidak ada yang lucu di sini,” tegas Bu Indah. Aku menelan ludah berkali-kali dan mulai menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Ah itu anu ..., Bu. Nama siswa barunya, Awan.”
“Lalu kenapa?” Kening Bu Indah berkerut.
“Tidak apa-apa sih, Bu. Hanya saja dia jadi orang ketujuh di kelas ini dengan nama bertema langit.” Bu Indah kembali mengerutkan kening tak mengerti ucapanku. “Di kelas ini ada Bulan dan Bintang yang duduk bersebelahan.” Aku menunjuk Bulan dan Bintang yang duduk di depanku. “Ada juga Surya dan Mentari di sana.” Aku menunjuk Surya dan Mentari yang entah bagaimana bisa duduk berderet. “Lalu Pluto.” Aku menunjuk siswa berpakaian urakan yang duduk di pojok paling kanan ruang kelas. “Dan terakhir aku sendiri.”
Ruang kelas menjadi semarak dengan tawa. Bu Indah yang selalu tegas itu pun ikut tertawa. Tapi tak lama, karena beliau segera memasang wajah berwibawa. Awan, sang siswa baru juga tertawa, membuat siswi di kelasku hampir kena mimisan masal. Awan mendadak menghentikan tawanya, menatapku heran.
“Tunggu dulu kamu bilang kamu sendiri memiliki nama bertema langit. Kudengar Bu guru memanggilmu Lala, rasanya tidak ada hubungannya dengan langit.” Argggh! Aku benci ini! Nama lengkapku selalu dipandang aneh ketika orang pertama kali mendengarnya. Tapi, mata elang itu terus menodongku. Aku menghembuskan napas berat.
“Namaku Bianglala ....”
"wah nama yang unik sekali ha ha ha." Tawa Awan kembali pecah. Aku mendadak sangat kesal dan memasang wajah masam.
Namun, aku mendadak merasakan firasat buruk. Mataku dengan cepat mencari sumber aura negatif yang menyerangku berasal. Aku menemukannya! Mata sinis dari bangku di lajur ke dua baris ke tiga. Sang ratu angkuh berwajah cantik yang uniknya juga bernama Ratu itu menatapku tajam. Dasar cewek ganjen suka modus! SKSD! Begitulah hasil penerawanganku terhadap tatapan mata Ratu. Kemampuan membaca tatapan yang kumiliki semakin meningkat rupanya.
Argggh! Gawat! Kenapa sih aku harus cari masalah?
Aku menghembuskan napas berat. Selanjutnya, kelas kembali diambil alih Bu Indah, Awan diminta duduk di sebelah Surya. Kursi di sebelah Surya memang tak ada yang mau menempati, mengingat wajah tampan Surya yang selalu bersinar itu seringkali membuat minder siswa lain. Namun, kini sinar sang Surya seolah meredup karena tertutup Awan. Ulangan tetap berjalan sebagaimana biasanya.
Ah, kasian juga si murid baru, hari pertamanya langsung disambut ulangan fisika!
***