BUKK!
Kotak berbungkus cokelat menimpuk mukaku. Aku mendelik pada pelakunya yang tak lain adalah kakak durhaka yang tengil itu. Sialan! Baru saja aku santai-santai rebahan di kamar, kakakku mendadak masuk dan langsung melemparku. Dia hanya tersenyum jahil, memasang wajah polos, tak bersalah.
“Itu paket kamu, Biang kerok.”
Darahku serasa mendidih. Dia selalu memanggilku dengan panggilan semena-mena, entah biang kerok atau biang keladi. Semenjak dahulu, aku hanya diam saja. Tidak kali ini, aku sudah lelah dengan aksinya memodifikasi namaku dengan seenaknya. Aku memutar otak, berpikir keras.
Nama kakakku ... Lintang Kemukus ... hmm ... Ah, ketemu!
“Makasih ya, Kak Kus,” sahutku sambil tersenyum manis namun menyimpan duri. Wajah Kak Kus langsung berubah. Mata elangnya mendelik.
Yes! Aku berhasil. Dia mulai triggered
“Biang kerok!”
“Ya, Kak Kus?”
“Berhenti memanggilku kakus. Memangnya aku WC.”
Aku tertawa lepas hingga mengeluarkan airmata, bahkan sampai berguling-guling di atas tempat tidur untuk menambah efek menyebalkan. Berhasil! Kak Kus semakin kesal. Jemarinya terkepal. Wajah memerah menahan amarah. Aku tersenyum licik, siap menawarkan kesepakatan.
“Oke, tapi Kakak juga berhenti memanggilku biang kerok atau biang keladi, panggil aku Lala seperti yang lain,” tegasku.
“Tidak mau! Biang kerok udah enak di lidah.”
“Kalau begitu aku juga tetap memanggil Kak Kus.”
Kak Kus melompat ke atas tempat tidur, mengunci leherku dengan kedua lengannya. Aku menarik rambutnya. Kami bergumul dengan hebat. Pintu yang dibuka mendadak. Wajah bunda menyembul. Mataku tak sengaja membaca nama pengirim di paket. Kepanikan melanda, dengan gesit kumasukkan paket ke kolong tempat tidur.
“Kalian sedang apa?” tanya Bunda menyelidik.
“Lintang lagi bantu Lala buat latihan drama sekolah, Bun,” sahut Kak Kus cepat. Alis bunda bertaut. Sepasang mata anggora masih menatap penuh selidik.
What the? Latihan drama apaan? Kakak durhaka ini mau membunuhku, Bunda! Eh tunggu dulu ... Kak Kus mungkin benar ... Kami berdua pasti akan dihukum bila ketahuan bertengkar.
“Iya, Bunda. Kak Lintang bantuin Lala,” tambahku dengan raut wajah dibuat semeyakinkan mungkin. Di hadapan Bunda, kami memang saling memanggil nama dengan baik, tak ada modifikasi yang aneh-aneh.
“Drama apa? Kok sampai bergelut begitu?”
Aduh bagaimana ini?
“Drama tragedi. Cerita seorang anak yang dipukuli ayahnya yang pemabuk.” Bunda menatap sendu. Aku mendelik. Kak Kus mengirimkan sinyal “tak ada pilihan lain, adikku” melalui kerlingan matannya. Aku hanya bisa pasrah.
“Ya sudah, lanjutkan saja, latihannya. Tapi hati-hati jangan sampai cedera.”
“Oke, Bunda,” sahut kami hampir bersamaan sambil memasang wajah manis.
Bunda ke luar kamar sambil menggelengkan kepalanya. Aku kembali menatap tajam Kak Kus. Dia malah mengibaskan tangannya dengan raut wajah malas. Kak Kus berdiri. Bibirnya tersenyum sinis.
“Ah! Jadi tidak mood lagi bertengkar. Nanti saja kita lanjutkan,” ucap Kak Kus sebelum pergi dari kamarku.
Aku menghembuskan napas lega, turun perlahan dari kasur. Tanganku merogoh kolong tempat tidur, ketemu! Aku mengeluarkan kotak paket dan memeluknya dengan hati berbunga-bunga. Kubuka perlahan kertas pembungkusnya. Kupandangi dengan mesra benda yang telah lama kutunggu. Kotaknya sudah berakhir di tempat sampah tentu saja.
“Selamat datang, Zoro* sayang,” bisikku mesra pada patung kecil berambut hijau, dengan luka di mata kiri yang tengah menggenggam tiga pedangnya.
***
“Ayo dong, La! Temani aku pleaseeee.”
Aku menghembuskan napas berat. Suara Bulan terdengar sangat memelas. Dia memang memintaku menemani jalan malam ini, bahkan sejak dari sekolah tadi sudah merengek-rengek padaku. Aku mengerti Bulan yang biasa jalan sama pacarnya di malam minggu pasti merasa sangat bosan kalau hanya berdiam di rumah. Kenapa juga pacar Bulan harus ke luar kota? Andai saja aku bisa, pasti akan kutemani Bulan tapi aku ....
“Sorry, Lan nggak bisa. Kalau malam minggu pokoknya nggak bisa.”
“Yaaah!”Suara Bulan terdengar kecewa.
“Sorry banget, Lan ...”
TUUUT!
Bulan memutuskan sambungan. Senin nanti aku harus bekerja keras untuk membujuknya berhenti dari mode ngambek. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku baby doll. Tanganku meraih kantung plastik berisi aneka cemilan. Tak lupa juga kubawa Zoro tersayang sebelum keluar kamar.
“Kak Kus!” panggilku lantang setelah berdiri di depan kamar kakakku.
Pintu terbuka perlahan. Wajah riang Kak Kus menyambutku. Dia sudah tak mempermasalahkan panggilan Kak Kus. Begitu juga dengan diriku, tak lagi protes disebut biang kerok. Kami hanya melakukan perang dingin seharian untuk kemudian berdamai dengan mudahnya. Benar kata orang, darah memang lebih kental daripada air. Seberapa hebat pun pertengkaran antar saudara, akhirnya hubungan darah menemukan jalan untuk akur kembali.
“Cepat masuk, Biang kerok, nanti ketahuan Bunda bisa gawat.”
Aku melesat masuk ke dalam kamar. Meskipun telah berkali-kali melihatnya, aku selalu terpesona dengan koleksi action pigure dan manga milik Kak Kus. Memang enak sekali kalau punya pekerjaan sambilan. Aku saja harus menabung berbulan-bulan, menyisihkan uang saku, untuk membeli satu buah saja. Apalagi otak jeniusnya selalu mengantarkannya menjadi si nomor satu sehingga Bunda tak pernah mempermasalahkan meskipun dia menghabiskan waktunya hanya untuk membaca manga atau bermain game sepanjang hari.
Tak ingin disemprot Kak Kus, aku segera mengambil posisi di depan PC miliknya. Meja tertata rapi menyambutku. Kak Kus memang selalu identik dengan kebersihan dan kerapian. Aku sampai berpikir dia adalah wibu paling rapi sedunia. Tapi, tentu saja itu ada alasannya. Kak Kus pengidap asma berat, sangat mudah kambuh jika terpapar debu.
“Kamu sudah siap!” seru Kak Kus antusias sambil memasang headphone. Tangannya lincah bermain di atas keyboard laptop gaming-nya, memasukkan username-nya “Biangkerokjelek.”
“YOSH!” sahutku sembari mengepalkan jemari.
Aku dengan cepat memasang headphoneku juga, segera memasukkan username-ku “Kakusgila”. Tak lupa kuletakkan Zoro di atas meja untuk menambah semangat. Permainan dimulai. Kak Kus yang jenius merancang strategi terbaik sedangkan aku, sang mesin pembunuh mengeksekusi musuh dengan cepat. Begitulah kenapa malam mingguku tak bisa diganggu oleh kegiatan apapun karena hanya malam minggu Ayah dan Bunda akan makan malam berdua di luar. Tentunya, pengawasan Bunda melemah untuk beberapa jam.
“Yosha! Kita menang lagi!” ucapku dan Kak Kus hampir berbarengan ketika berhasil lima kali memenangkan pertarungan. Kami bahkan melakukan toss dengan gaya yang keren. Aku melepas headphone, bersiap kembali ke kamarku karena sebentar lagi Ayah dan Bunda pulang dari makan malam di luar.
KRIEET
Wajah bunda yang menyembul dari balik pintu membuat wajahku seketika memucat. Tatapan mata bunda jelas menyiratkan rasa tak suka. Aku mencoba menjawil lengan Kak Kus. Namun, dirinya masih asyik menikmati kemenangan dan bersikap acuh. Aku menelan ludah ketika Bunda berjalan mendekat dan ....
“Au auuuu,” Kak Kus melolong bagai serigala di bulan purnama. Telinganya memerah dijewer Bunda.
“Kakak! Adeknya kok diajakin main game. Bukannya dibantu belajar.”
“Ampun Bunda! Ampuuuun!”
Kami hanya menunduk dalam sambil mendapat omelan panjang selama lima belas menit dari Bunda dengan bonus tatapan mata yang begitu tajam seolah ada sinar lasernya. Sebentar lagi, hukuman akan diputuskan mungkin saja pemotongan uang jajan tapi ... kami salah. Bunda mendadak berjalan ke arah lemari kaca tempat khusus koleksi action figure Kak Kus. Detik seolah berlalu dengan sangat lambat ketika tangan bunda menculik Boa Hancock** dari dalam lemari kaca.
“Ini akan Bunda sita dulu. Kakak ajarin Adek, pokoknya ujian semester nanti Adek harus membaik nilainya. Kalau tidak ..., ” Bunda mengantung kalimatnya sembari menyeringai, Kak Kus berkeringat dingin, “nona cantik ini akan berakhir di tempat sampah,” tutup Bunda sambil melenggang keluar kamar. Kak Kus menatapku dengan wajah serius. Aku mendesah berat. Kak Kus pasti akan memaksaku belajar dengan keras demi menyelamatkan waifu kesayangannya.
***
Kakak beradik berjalan berdampingan. Keduanya sudah punya rencana spesial hari ini. Sang kakak berhenti mendadak di halaman sebuah rumah yang asri, membuat adiknya menabrak punggungnya. Pekarangan rumah itu dipenuhi pohon yang tengah ranum buahnya. Kakak mengamati sekitar, cukup sepi. Dia tersenyum menyeringai dan berbisik di telinga adiknya. Sang adik mengerutkan kening.
“Harus Lala yang naik, Kak?” tanya adik memastikan telinganya tak salah dengar.
“Kakak ‘kan punya asma,” kilah sang kakak.
“iya ya.”
Adiknya mengangguk-angguk sok paham. Gadis kecil itu segera memanjat pohon mangga yang ranum buahnya. Sementara itu, sang kakak, bocah lelaki berkepala plontos mengarahkan dari bawah. Beruntung si gadis kecil memang memiliki tubuh yang lincah. Dia tak kesulitan memanjat pohon yang cukup tinggi itu. Tak lama hingga buah mangga berjatuhan dari atas pohonya. Sang Kakak dengan sigap memungut mangga-mangga di tanah dan memasukkannya dalam kantong plastik.
“Siapa di sana?”sebuah suara mengejutkan keduanya.
“Eh?”Gadis kecil begitu kaget hingga kakinya salah memilih pijakan.
BRAKKK!
Tubuh mungil meluncur dengan cepat ke bawah. Beruntung, semak-semak menyambutnya. Sang kakak menggigit bibirnya. Kakek tua yang tadi memanggil berlari cemas menghampiri si gadis kecil yang telah menjerit-jerit kesakitan.
...
Gadis kecil melirik takut-takut pada kakek yang tengah mengoleskan obat luka pada lutut dan sikunya. Sang Kakak berdiri sambil cengengesan di sudut yang lain. Mereka berdua memang telah tertangkap basah pemilik pohon mangga. Gadis kecil telah pasrah dengan hukuman yang akan diberikan.
“Nah sudah selesai diobati. Kalau mau minta Lala bisa bilang ke Kakek. Nanti Kakek petikkan untuk kalian,”ucap Kakek sembari tersenyum lembut.
“Tapi kalau diam-diam lebih seru, Kek,” celetuk sang Kakak untuk kemudian mendadak terdiam.
Bocah lelaki menunduk dalam. Sosok yang ditakutinya telah muncul entah dari mana. Mata melotot yang tajam tanpa tanding, menelisik. Jemari telah dalam posisi siaga. Bocah lelaki hanya bisa pasrah. Bocah lelaki meringis ketika telinganya memerah akibat jeweran sang Bunda.
“Dasar anak ini! Adek kamu kok disuruh manjat-manjat pohon mangga.”
“Ampun, Bun. Ampun!”
...
Suara derum mobil memasuki halaman membangunkanku dari tidur. Beberapa suara nampak terdengar memasuki rumah. Ada tamu rupanya. Aku menggerakkan badan untuk melemaskan otot. Sambil mengucek mata setengah mengantuk, aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke luar kamar untuk mencuci muka di kamar mandi.
“Kutinggal bentar ya,” terdengar suara Bunda permisi pada tamunya.
Tak lama kemudian suara langkah kaki Bunda nampak sibur di dapur, sepertinya menyiapkan minuman untuk para tamu. Aku sudah ke luar dari kamar mandi, hendak membantu Bunda namun kakiku seketika terpaku.
“Rumahnya kecil ya,” komentar wanita berparas cantik dengan tahi lalat di sudut kanan bibir. Namanya Tante Rosa.
“Itulah akibatnya kalau menikah sama laki-laki sederhana,” tambah wanita bersanggul dengan mata angkuh, Tante Jasmine.
“Iya padahal Senja itu ‘kan cantik banget. Kalau dia mau pasti bisa dapat milyuner,” sahut wanita berambut panjang berwajah blasteran, Tante Mariska.
Aku mengepalkan jemariku. Dadaku dikepung amarah. Ingin rasanya kulempar satu-satu dengan sendal kelinciku. Aku berusaha menyabar-nyabarkan hati. Aku tentu tak mau Bunda diperolok punya anak tak tahu tata krama.
“Kau lihat tadi bajunya. Kok bisa dia memakai baju tidak bermerek begitu. Dulu ‘kan bajunya dia selalu merek terkenal,” sinis Tante Jasmine.
“Anak-anaknya gimana ya? Pasti deh anak-anak kampungan ‘kan ayahnya model kampungan.”
Aku tak tahan lagi. Tak ‘kan kubiarkan mereka merendahkan Ayahku. Lelaki berhati malaikat yang selalu melindungi keluarganya. Aku melangkah yakin menuju ruang tamu. Namun, tanganku ditarik seseorang. Aku menatapnya protes.
“Kak Kus?”
“Kamu juga kesal ‘kan?” Aku mengangguk yakin. Senyuman licik terbit di sudut bibir Kak Kus.
“Aku memerlukan kamu untuk menjalankan misi ini.” Kak Kus meletakan beberapa dokumen di tanganku. “Itu informasi mengenai tiga nenek sihir di sana. Pelajari dengan baik. Kita akan membuat mereka tak punya muka lagi.”
Aku menegrutkan keningku. Kak Kus segera menyeretku ke dalam kamarnya. Dia mulai menjelaskan rencananya setelah aku selesai membaca profil tiga tamu menyebalkan itu. Aku menatapnya dengan alis bertaut.
“Kenapa harus aku, Kak?”
“Karena kamu memiliki wajah lugu.” Aku berpikir sejenak dan mengangguk-angguk paham. Misi ini memang tak cocok jika dijalankan oleh Kak Kus yang memiliki wajah licik itu. “Kau siap, Agen B.”
“Siap komandan!”
Setelah rencana dirasa cukup matang, aku pun ke luar kamar. Kakakku mengacungkan jempol, menyemangati. Kebetulan Bunda masih didapur. Kakiku perlahan melangkah ke ruang depan. Wajahku kupasang sepolos mungkin dengan senyum paling manis sedunia meskipun hatiku panas membara medengar celotehan mereka yang masih merendahkan ayahku.
Target pertama, Tante Jasmine, selalu bangga dengan kekayaannya, juga putranya yang sangat tampan itu. Kak Rangga, sang artis idola yang muncul dalam hampir semua drama remaja selalu dibangga-banggakannya di hadapan siapa saja. Beberapa waktu lalu, Kak Rangga disebutkan vakum dari dunia hiburan karena akan kuliah ke luar negeri. Namun, Tante Jasmine terlalu meremehkan kemampuan intelejen seorang Kak Kus. Kakak lelakiku yang jenius itu tentu dapat menemukan informasi sebenarnya dalam hitungan menit.
“Nah ini dia putri si Senja. Lala kamu udah besar aja ya.” Aku mengangguk sopan, berpura-pura menjadi anak polos tanpa dosa. “Tapi kamu nggak mirip Bunda kamu, ya.”
Aku mengepalkan jemariku diam-diam. Suara Tante Jasmine terdengar merendahkan. Maksudnya adalah aku tak secantik Bunda. Aku menahan amarah, meleburkannya perlahan. Aku harus bertahan agar bisa menjalankan misi ini. Beruntung, diriku memang pandai memasang poker face. Mungkin itulah alasan Kak Kus mempercayakan misi ini padaku. Akupun duduk dengan manis di di hadapan mereka.
“Oh ya, Tante, Kak Rangga beneran sakit ya?” celetukku mendadak. Tante Jasmine sedikit tersentak.
“Ah oh iya, La,” jawabnya gelagapan.
“Sakitnya nggak parah ‘kan?” Aku memasang wajah khawatir. Tante Jasmine menggeleng ragu. Aku tersneyum manis. “Semoga cepat sembuh ya, Tante.”
“I-iya,iya,” sahut Tante Jasmine ragu.
Dua wanita paruh baya yang lain nampak hendak berbicara mengalihkan pembicaraan. Aku takkan membiarkan hal itu terjadi. Amunisiku masih banyak. Pertempuran ini sudah lima puluh persen kumenangkan.
“Pasti Tante cemas banget. Lala ingat waktu asma Lala kambuh Bunda sampai nggak tidur semalaman.” Duduk Tante Jasmine mulai gelisah. Wajahnya memucat. “Tapi sekarang Bunda nggak perlu cemas lagi soalnya Lala sudah ikutan klub remaja sehat, Tante. Di sana banyak kegiatan positif jadi sebagai remaja selain tubuh menjadi sehat, kami akan terhindar dari narkoba dan pergaulan bebas. Miris banget lihat anak remaja terjerat narkoba.” Tante Jasmine menelan ludah berkali-kali. Dia bahkan berkali-kali meneguk sirup dalam gelasnya. Aku tersenyum samar. Musuh yang sudah tergeletak bisa saja menyerang balik, jadi harus dihabisi sampai titik darah penghabisan. “Kebanyakan katanya karena oang tua kurang perhatian, biasannya suka mengasih uang jajan dalam jumlah besar lagi. Untung Ayah dan Bundaku selalu perhatian.”
Tante Jasmine berkali-kali mengelap keringat di keningnya. Dia telah kalah tak lagi bisa berbicara. Rasa malu jelas sekali tergambar di wajahnya. Namun, tak bisa protes karena yang berbicara di hadapannya hanyalah seorang remaja polos yang takut terjerat pergaulan yang salah he he he. Menurut Kak Kus, Kak Rangga itu memang kurang perhatian dan selalu mendapatkan uang jajan yang berlebihan. Kak Rangga mencoba narkoba untuk menarik perhatian kedua orangtuanya.
“Kamu sudah kelas berapa sekarang?” suara lain terdengar, jelas sekali hendak membantu sang teman yang telah kalah dalam pertempuran. Dialah target berikutnya ....
Target kedua, Tante Mariska. Pasti akan langsung terganggu dengan kasus anak perempuannya yang sedang viral itu. Melinda Syantika, gadis cantik, modis dengan otak encer namun suka semena-mena pada teman-teman yang dianggapnya cupu hanya karena ayahnya salah satu penyandang dana sekolah. Melinda tak pernah menyangka perundungan yang dilakuan direkam beberapa orang dan menjadi viral. Tentu saja, video yang merusak nama baik keluarga itu telah disingirkan sang ayah dari dunia maya. Bahkan putrinya juga luput dari jerat hukum. Namun, sekali lagi kemampuan intelejen Kak Kus tidak bisa diremehkan. Dia berhasil menemukan informasi tersebut dalam waktu singkat.
“Kelas dua, Tante."
“Di kelas ranking berapa?” tanyanya dengan nada meremehkan. Sebenarnya, dia sudah tahu aku memang memiliki wajah mirip Ayah namun tak mewarisi gen kecerdasan dari beliau. Oke, Kak Kus lah yang mewarisi gen unggulan di keluarga kami, wajah tampan dari Bunda dan otak jenius dari Ayah.
“Sekarang ‘kan nggak pakai sistem ranking, Tan. Tapi ya kalau prestasi akademik sih Lala rata-rata aja,” sahutku polos. Tentu saja pura-pura. Aku berusaha keras menjaga ekspresi wajah tersinggungku agar tak menguar ke permukaan.
“Makanya kamu belajar yang rajin. Cewek itu ya kalau tidak cantik ya paling tidak pintar, jadi bisa diandalkan.” Aku meremas jemari kesal.
“Lala sih yang penting nggak mempermalukan orang tua,” kilahku cepat. “Beda sih ya Tan sama Melinda, putri Tante dia udah cantik pintar lagi,” pujiku. Wajah Tante Mariska langsung angkuh.
“Ah iya. Waktu masih pakai sistem ranking, Melinda selalu masuk sepuluh besar.”
“Melinda sekolah di SMA Harapan ‘kan Tante?” tanyaku dengan wajah dibuat antusias. Tante Mariska mengangguk angkuh. SMA Harapan memang SMA favorit meskipun sudah ada berita viral itu. “Aku dengar dari teman-teman di sekolah itu ada cewek suka ngebully temannya. Aku nggak mau lihat sih video viralnya soalnya serem Tan liat yang begituan. Pasti Melinda takut ya sama cewek begitu. Kenapa nggak pindah sekolah aja, Tan?” Warna wajah Tante Mariska langsung berubah. Tangannya sibuk mengelap keringat di kening. Aku menatap Tante Mariska dengan wajah khawatir, seolah aku benar-benar mencemaskan Melinda.
“Melinda be-da ke-las dengan dia kok,” sahut Tante Mariska gugup. Namun, juga kudengar helaan napas leganya karena mengira aku tidak menonton video itu.
“Kok bisa ya Tante, ada anak cewek begitu?” cecarku lagi. Tante Mariska susah payah mengatur napas. Degup jantungnya terdengar jelas.
“Tante juga nggak tahu,” suara yang terdengar gugup membuatku tersenyum tipis. Sekarang, tinggal amunisi terakhir.
“Apa nggak dididik sama orangtuanya? Katanya sih salah satu anak penyandang dana. Mungkin orangtuanya sibuk jadi nggak sempat memperhatikan anak.” Wajah Tante Mariska memerah malu. Dia kehilangan kata-kata. Target kedua telah dilumpuhkan. “Sudah ah Tante ngapain kita ngomong seram-seram begitu. Diminum dulu Tante.”
Dua wanita paruh baya serempak meminum es sirup mereka. Aku memulai obrolan ringan tentang hobi mereka mengoleksi barang import. Tentu saja aku mendapatkan informasi tersebut dari Kak Kus. Mereka nampak sedikit lega. Aku memang dikenal sebagai orang yang mampu menghangatkan suasana di kalangan teman-temanku. Aku sengaja mengulur waktu menunggu target ketiga menjadi lengah. Yang terakhir ini memang sedikit sulit. Semua anaknya tanpa masalah, kuliah di universitas terbaik di negeri ini. Tapi, celah itu selalu ada, Kawan.
“Dulu, banyak pemuda kaya dan tampan memperebutkan bundamu tapi dia malah memilih ayahmu yang biasa banget.” Tante Rosa menutup mulutnya, berpura-pura merasa bersalah. Aku tahu dia sengaja melakukannya.
Target ketiga, Tante Rosa meski keluarganya nampak sempurna sebenarnya tertekan oleh suaminya yang begitu keras. Dia selalu nampak berpura-pura paling bahagia meskipun harus menutupi bekas lebam dipipinya dengan make up tebal.
“Tidak apa, Tante. Ayahku memang biasa-biasa saja. Beliau bahkan sering bertanya-tanya lho sama bunda kenapa mau dengan ayah terus Tante tahu apa jawaban Bunda ...,” aku sengaja mengantungkan kalimatku agar ketiganya penasaran. Mereka menatapku lekat sangat berharap mendapat jawaban “karena hati ayah begitu tulus dan baik seperti malaikat.”
“Ha ha ha klise sekali, ya ampun La. Jaman sekarang itu yang penting hidup enak.” Aku tersenyum polos.
“Aku sih sependapat sama bunda, Tante. Tidak ada gunanya punya suami kaya tapi mulutnya lebih tajam dari gergaji, apalagi sampai main tangan.” Wajah Tante Rosa mulai pucat. “Coba Tante bayangkan kayak di film-film, masak sup keasinan terus suami menumpahkan sup itu ke muka, aishhh ngeri sekali.” Kulihat jemari Tante Rosa gemetar. Kak Kus mengatakan Tante Rosa pernah mengalami kejadian mengerikan itu ketika membuat sup keasinan. Kak Kus mendapatkan info itu dari curhatan, Mario, putra kedua Tante Rosa yang sudah lama akrab dengan kakakku.
“Itu ‘kan cuma cerita di film,” sergah Tante Rosa cepat. Meski tubuhnya masih gemetar. “Lagipula ayahmu pasti marah juga kalau bundamu sampai masak keasinan. Tapi ‘kan bundamu itu pintar masak, La.”
“Nggak ah, Ayah itu sih sayang banget sama bunda, Tan. Setoples kue putri salju rasa garam dan merica aja dihabisin kok demi bunda hi hi hi.” Aku terkekeh. Wajah Tante Rosa melongo seolah tak percaya. “Sama kami juga selalu lembut namun tegas untuk hal-hal prinsip seperti perbuatan melanggar norma agama. Ayah itu pokoknya pahlawan kami deh. Ayah tidak pernah memaksakan kehendak, Lala dan Kak Lintang boleh mengejar mimpi. Soalnya Lala pernah nonton film ceritanya tentang ayah yang mencetak anaknya bagai robot, hiii seram, sampai memukuli kalau tidak patuh tak peduli kalaupun anakmya sampai jatuh sakit.”
Tante Rosa menelan ludah. Tangannya dengan gesit mengambil gelas di hadapannya, meneguk cepat es sirup di dalamnya. Wajahnya benar-benar pias. Mungkin sedang membayangkan kembali peristiwa putri sulungnya yang hampir meninggal akibat terlalu keras belajar. Kak Mitha yang cantik dan ramah itu berusaha keras memenuhi target ayahnya, belajar keras siang malam, kurang istrirahat, kurang gizi akhirnya menderita leukimia dan untunglah bisa bertahan setelah mendapat donor sumsum tulang belakang dari ayahku. Meskipun begitu, Tante Rosa tak pernah menunjukkan rasa terimekasih dan masih merendahkankan Ayah. Aku sebenarnya tak enak hati mengungkit masalah itu. Anak-anak Tante Rosa selalu bersikap baik pada kami. Tapi, ibunya ini memang selalu membuat kepala terasa mendidih. Sekali-kali harus dibuat jera dan instropeksi diri.
“Aduh aku ditelepon temanku harus segera ke arisan,” celetuk Tante Mariska mendadak. Kelihatan sekali hendak melarikan diri dariku.
“Wah padahal masih asyik ngobrol Tante. Bunda juga masih di dapur tuh.”
“Tak apa, kami harus cepat nggak enak sama teman. Sampaikan kami pamit sama bundamu ya.”
Aku mengangguk sembari berpura-pura memasang wajah kecewa. Ketiga wanita seumuran ibuku itu dengan wajah kalah meninggalkan rumahku satu persatu. Kedatangan mereka ke rumah inipun kuyakin hanya untuk merendahkan Ayah. Aku tersenyum licik setelah mendengar suara mobil mereka meninggalkan halaman. Sentuhan lembut di bahu membuatku tersentak. Aku menoleh. Pemuda tampan berkacamata dengan senyuman licik yang sama berdiri di belakangku.
“Misi terlaksana, Komandan!”
“Kerja bagus, Agen B.”
Kami berdua segera tergelak. Rasanya puas sekali mengalahkan tiga nenek sihir yang hendak menganggu kedamaian rumah kami. Aku dan Kak Kus bergulingan di sofa ruang tamu saking gelinya. Namun, aktivitas kami terhenti. Sepasang mata Bunda menatap kami lekat. Aku dan Kak Kus menunduk di hadapan Bunda.
“Maafkan kami, Bunda,” gumam kami lirih.
“Terima kasih, ya. Anak-anak Bunda memang hebat.” Kami terhneyak, melongo. Bunda tersenyum nakal. “Tapi jangan sampai ketahuan Ayah ya. Ayah kalian itu kan berhati malaikat pasti tidak suka kalau kita berbuat seperti ini.” Kami bertiga saling megaitkan jari. “Nah sekarang bantu Bunda mencuci gelas dan piring ini.”
Aku dan Kak Kus dengan cepat membawa gelas dan piring-piring berisi kue ke dapur. Kami tiba-tiba terdiam, membeku di tempat. Kaleng kental manis penyok mengerikan tergeletak dalam tempat sampah. Aku dan Kak Kus bergidik ngeri. Ketiga Tante menyebalkan itu beruntung hanya berhadapan dengan anak-anak yang menyerang secara halus. Mereka tak perlu menghadapi tendangan maut dari mantan atlet kick boxing, Senja Arumi Wijaya. Kami sempat lupa cinta Senja untuk Fajar juga sama besarnya.
***
*vice captain bajak laut topi jerami di anime one piece
** ratu bajak laut di anime one piece