Bagian 1 : Cinta Fajar untuk Senja
Aku menggumam mengikuti irama lagu Cinta Sejati dari ponsel pintar sembari telentang di atas kasur. Mataku menatap sayu langit-langit kamar. Aku tak mengerti kenapa hari ini mendadak melankolis. Tak biasanya aku mendengar lagu bernuansa romansa. Biasanya juga aku mendengar soundrack anime dengan nada menghentak-hentak seperti Share the Word One Piece.
Aku menghembuskan napas berat. Mungkin inikah yang dinamakan memasuki masa puber? Meskipun datangnya telat karena kawan-kawanku sudah mengalaminya sejak duduk di bangku SMP. Hatiku gelisah memikirkan hal-hal remeh, seperti jepit rambut apa yang akan kupakai besok, warna lipgloss apa yang harus dikenakan. Apakah aku terlihat manis dengan bando yang baru kubeli? Apakah aku akan terlihat menarik di hadapan Kak Bayu, sang Bintang Basket? Apakah sorakan penuh semangat saat Kak Bayu bermain basket dapat disebut cinta atau hanya kekaguman belaka? Samakah dengan perasaan yang kurasakan untuk Kak Langit, kawan karib kakakku sejak SMP?
Aku penasaran seperti apakah cinta sejati itu? Seperti cinta ayah dan bundakah? Cinta yang menyatukan anak manusia dengan latar belakang berbeda. Ah ya! Bahkan nama ayah dan bunda pun berlawanan, Fajar dan Senja.
Fajar dulunya hanyalah seorang anak janda tukang cuci yang berhasil menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi sebagai lulusan terbaik. Beliau juga dengan mudah diterima di perusahaan multinasional. Di sanalah Fajar bertemu gadis manis yang suka meledak-ledak. Gadis itu bernama Senja, anak seorang anggota DPRD. Kehidupan mereka sangatlah berbeda namun satu idola menyatukan hati keduanya. Awalnya, Fajar tak percaya diri, namun ternyata keluarga Senja bukanlah keluarga kaya sombong dalam sinetron. Mereka langsung menerima lamaran Fajar, terpesona akan sikap santun sang pemuda.
Aku jadi teringat kata-kata Ayah ketika di suatu reuni kawan lamanya meledek nama ayah dan bunda yang berlawanan itu. Ayah dengan wajah melankolis berkata, ‘fajar dan senja memang terpisahkan oleh waktu. Tapi keduanya memiliki keindahan yang sama. Semburat jingga menawan di langit berbalut awan.’ Begitulah cinta Fajar untuk Senja semakin bertumbuh besar seiring waktu.
Tapi, bukankah ada juga kisah cinta yang berakhir tragedi seperti kisah Romeo dan Juliet atau kisah Laila Majnun? Aku menghembuskan napas berat. Apakah mungkin suatu saat nanti akan ada cowok tampan super kaya yang mendadak jatuh cinta padaku seperti di anime bergenre shoujo?
“Arghhh ... apa yang kupikirkan?” Aku mengacak-acak rambutku sendiri. Jemariku dengan lincah mengganti lagu Cinta Sejati dengan Share the World, untuk kemudian berteriak-teriak tak jelas menyanyikan lirik lagu, “Ano oozora ni todoku made ... I believe hitotsu no ashita e ....”
Sungguh! Aku benci bersikap melankolis!
***
Aku meloncat dari tempat tidur, berdiri dengan posisi siaga. Tidurku terusik oleh aroma sedap dari dapur, aroma kue baru dipanggang. Aku mengikat asal rambut sebahuku yang acak-acakan sembari melangkah ke luar kamar. Tujuanku, hanya satu, berkoordinasi dengan kakakku untuk menghadapi masalah yang sebentar lagi akan datang.
Tanganku mengetuk pintu perlahan. Tak ada sahutan. Kamar kakakku nampak lengang. Aku mengetuk pintu lebih keras. Tetap sama, pintu tak dibuka dari dalam. Aku mulai mondar-mandir di depan kamar sambil meremas jemari, cemas. Merasa tak ada gunanya, mondar-mandir di situ, kuputuskan untuk mengintip sumber masalah.
Langkahku perlahan, sangat samar, tak mau perempuan paruh baya yang tengah mengeluarkan kue dari oven itu menyadari keberadaanku. Aku memang tengah mengendap-endap di dapur. Dengan sigap, aku menyelinap di samping lemari penyimpanan piring lama. Wajah bunda nampak berseri-seri. Aku jadi merasa tak enak hati.
Trrirriiring triiiiring
Bunyi ponsel bunda yang sangat keras hampir saja membuatku menjerit kaget. Beruntung, aku sempat menutup mulutku. Bunda mengambil ponselnya dan menerima panggilan.
“Iya, Kak, ada apa?” Ternyata dari kakakku. Aku menajamkan telinga. “Eh, Kakak menginap di rumah teman?” Wajah bunda nampak kecewa. Aku mengepalkan jemari kesal. “Ya sudah nanti Bunda minta Ayah sisakan kuenya untuk Kakak.”
“Dasar curang! Dia melarikan diri lebih cepat,” keluhku.
Aku tak menyangka kakakku telah tega mengkhianatiku. Dia membiarkan adik satu-satunya menghadapi bencana ini sendirian, bencana kue buatan bunda. Bukannya kami tak menghargai bunda. Hanya saja kue bunda .... Apa yang harus kukatakan tentang kue itu? Terakhir kali kami memakannya, tujuh tahun lalu, tapi derita saat itu tak pernah terlupa, kue putri salju dengan rasa garam dan merica. Aku tak tahu kenapa Bunda bisa tak sengaja memasukkan dua bumbu itu ke dalam adonan kuenya. Bukannya Bunda tak pandai memasak. Beliau bahkan dapat membuat masakan tradisional paling rumit sekalipun dengan rasa yang hampir sempurna. Tapi kalau soal kue ....
Ah! Sudahlah aku harus segera memikirkan cara untuk melarikan diri. Perlahan diriku bangkit dari tempat persembunyian, mencoba mengendap-endap kembali ke kamar. Sial! Kakiku tak sengaja menendang sudut lemari.
“Arggghhh!” jeritku tanpa sadar.
“Eh, Adek?” Aku menelan ludah. Lihatlah! Diriku sudah tertangkap basah dan tak mungkin melarikan diri lagi.
“Iya, Bunda.”
“Tolong Bunda ya? Belikan gula halus di warung Mpok Indun,” pinta Bunda.
Aku mengangguk lemah. Bunda merogoh saku celemeknya, mengeluarkan uang dua puluh ribuan dan menyerahkannya padaku. Aku menerima uang dan dengan berat hati menuju pintu rumah.
***
Aku melangkah gontai di jalanan kompleks. Terik sang surya menyengat ubun-ubun, menimbulkan gejala dehidrasi. Aku mendelik pada raja siang di atas sana. Arghhh! Silau! Ternyata sang raja bahkan tak sudi bertatapan denganku. Akhirnya, aku pun hanya bisa mengomel sendiri. Untung, kompleks lagi sepi. Kalau tidak, aku pasti dikira sudah gila.
Helaan napas lega terdengar jelas. Aku bersorak dalam hati ketika melihat papan nama warung Mpok Indun tinggal beberapa blok lagi. Langkah kaki kupercepat. Tak ingin berlama-lama mandi sinar matahari. Warung nampak ramai seperti biasanya. Aku harus mengantri dengan ibu-ibu berbadan subur.
“Gula halusnya setengah kilo, Mpok!” ucapku dengan segera setelah sampai giliranku. Kau harus bertindak gesit kalau tak ingin diserobot emak-emak, kawan.
“Sebentar ya, La.” Mpok Indun berjongkok dan berdiri kembali sembari membungkus sebungkus gula halus dengan kantong plastik dan memberikannya padaku. Aku menyerahkan uang dua puluh ribu. Mpok Indun membuka lacinya dan mengambil selembar uang sepuluh ribu. “Ini, kembaliannya.”
“Makasih ya, Mpok.”
“Sama-sama.”
Baru saja aku berbalik bersiap ke luar warung, hujan deras mengguyur bumi. Aku hanya melongo sembari merutuki nasibku. Bahkan hatiku telah menyenandungkan lagu dengan lirik penuh derita.
“Duduk saja dulu, La,” tawar Mpok Indun sembari mengambilkan kursi plastik untukku.
Aku tak punya banyak pilihan dan memilih untuk menerima tawaran Mpok Indun. Kursi plastik berwarna merah itu memang tak seempuk sofa tapi lumayan untuk mengistirahatkan kaki yang pegal karena berdiri. Syukurlah, hujan lebat tak berlangsung lama.
“Aku pulang dulu, Mpok!” pamitku setelah rintik hujan terakhir menyentuh aspal.
“Iya, hati-hati jalanan licin.”
Aroma rumput basah langsung menyambutku ketika ke luar dari warung Mpok Indun. Udara terasa lebih menyegarkan. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Senyuman terbit di bibirku ketika melihat busur tujuh warna melengkung di kaki langit. Sungguh! Bianglala yang indah. Aku melangkah lebih riang sembari memikirkan alasan terbaik menghindari kue bunda.
***
Bunda telah selesai dengan kuenya. Setoples penuh kue diletakkan di meja. Aku menelan ludah berkali-kali, memutar otak mencari alasan terbaik untuk menghindari kue-kue mengerikan itu. Arghhh! Kenapa aku tak bisa secerdas kakakku yang selalu dapat menemukan ide bagus dalam hitungan detik?
“Ayo dimakan kuenya!” pinta Bunda dengan mata berbinar-binar.
“Lala lagi diet, Bun,” sahutku. Hanya itu yang terpikir oleh otakku.
Bunda mengernyitkan dahi, memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku berusaha meyakinkan Bunda dengan mengambil buah apel dari dalam kulkas. Bunda menggelengkan kepala. Aku menggigit bibir takut ketahuan.
“Diet? Ya ampun Lala! Sudah kurus begini masih mau diet?”
“Ih Bunda. Kurus apanya? Seminggu ini Lala naik dua kilo lho,” protesku cepat-cepat, tak mau Bunda curiga.
Bunda memasang raut wajah kecewa. Aku hampir saja bernapas lega tapi nyatanya bunda tetap menyodorkan kue. Aroma sedap menelisik hidung. Namun, aku tahu rasa kue itu tak sehebat aromanya. Benakku berdo’a dengan khusyuk. Aku harus bertahan sebentar lagi hingga pahlawanku datang ke rumah.
KRIEET
Pintu dibuka diiiringi ucapan salam. Aku bersorak dalam hati. Wajah lelah ayah membuatku merasa bersalah. Ayah mengusap kepalaku lembut. Aku cemberut merasa kesal diperlakukan seperti anak kecil. Ayah terkekeh. Matanya menangkap toples terisi penuh kue di atas meja.
“Wah, Bunda bikin kue ya? Sini buat Ayah!”
Ayah langsung meraih toples dan meletakkannya di atas pangkuan. Tangan kanan mulai mencomot potongan kue. Aku menahan napas ketika Ayah memasukkan kuenya ke dalam mulut. Ayah sungguh besar pengorbananmu. Mulut makan dengan lahap meski buliran bening mengumpul di sudut mata. Ayah bahkan telah menghabiskan seperempat toples kue.
“Nanti mau Bunda bagi ke tetangga,” gumam bunda tiba-tiba. Aku menelan ludah. Tak terbayangkan apa yang akan terjadi pada tetangga kami nanti.
“Jangan! Tidak boleh!” Bunda melongo. “Kue buatan Bunda hanya untuk Ayah.”
Bunda terkekeh melihat Ayah memasang wajah manja sambil memeluk toples bermotif bunga lili. Aku menatap Ayah cemas, takut Ayah akan sakit jika harus menghabiskan kue-kue itu. Bunda hendak mencomot kue dalam toples namun Ayah dengan cepat menjauhkannya. Bunda mengerutkan bibirnya.
“Aishh Ayah! Masa Bunda juga nggak boleh makan sih?”
“Kue ini buat Ayah pokoknya!” tegas Ayah bergeming dengan keinginannya.
Oh, Ayah betapa besar cintamu pada Bunda ....
Bunda bersungut-sungut. Ayah tak peduli. Beliau hanya tak ingin Bunda kecewa. Namun, hari ini ... tak kusangka takdir berkata lain. Saat Ayah lengah, Bunda berhasil mendapatkan sepotong kue dan langsung memasukkannya ke dalam mulut. Wajah bunda seketika berubah. Bunda mendadak lari ke kamar mandi dan memuntahkan kuenya di westafel. Bunda menatap lekat aku dan Ayah ketika kembali dari kamar mandi.
“Ya ampun kue ini rasanya mengerikan! Pantas saja Lala sampai bilang diet segala. Tunggu ... apa selama ini kue buatan Bunda seperti ini ....”Aku mengangguk ragu.
“Maafkan Ayah berbohong, Bunda. Ayah tak ingin menyakiti perasaan Bunda. Jika Bunda suka membuat kue, Ayah pasti akan menghabiskannya. Kue itu tidak lagi terasa mengerikan jika membayangkan wajah bunda yang bersemangat ketika membuatnya,” gumam Ayah puitis.
Bunda terdiam. Ayah menatap Bunda dengan sinar mata lembutnya yang khas. Langit senja mengintip malu-malu dari kaca jendela. Rambut hitam sepinggang bunda dipermainkan semilir angin dari kipas angin yang berputar kencang. Aku hampir saja mencomot kue buatan bunda gara-gara terpesona pada tontonan drama romansa empat dimensi di hadapanku.
Apakah akan ada adegan romantis lanjutan? Ah! Aku benar-benar penasaran dengan kelanjutan kisah ini ....
“Ayah ini ngeyel! Harusnya bilang dari dulu-dulu! Kalau Ayah sakit bagaimana?” omelan bunda menghancurkan bayangan romantis yang ada di otakku. “Untung saja tidak keracunan xlkxxmxmskskmsmsksksksks ....” Bunda terus mencerocos dengan omelan khasnya yang kutahu takkan berhenti selama lima belas menit ke depan.
Aku pun segera sadar keluargaku bukanlah keluarga di drama Korea. Keluargaku adalah keluarga normal lainnya. Kukira cinta Fajar untuk Senja menjadi sia-sia. Pengorbanan Fajar untuk memakan kue-kue dengan rasa mengerikan justru berbuah omelan Senja.
Namun, aku salah. Ayah mendekatiku dan berbisik pelan, “Bundamu makin cantik kalau lagi marah.”
Aku terpana. Kulihat Fajar menatap lembut Senja dengan mata berbinar. Ada denyut kasih sayang di setiap kedipan matanya. Mata Senja guratkan kecemasan meski bibirnya terus mengomel. Kusadari ada bahasa cinta dalam tiap bait kata bernada omelan itu. Ah! Tiap pasangan memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan rasa.
Akh Gawat! Aku jadi melankolis lagi!
***