SATU
Genang tidak bisa mengendalikan jari-jarinya agar tidak mencengkeram tali ransel terlalu kencang. Tatapan murid perempuan di sebelah bahkan tidak membuatnya risih seperti biasa kalau sedang menjadi obyek pemandangan murid-murid perempuan di sekolah. Menyebalkan, mengapa waktu terasa terlalu lambat berjalan. Baru dua menit Aliando pamit mengambil motor, rasanya Genang sudah menunggu selama satu jam.
Genang ingin semuanya cepat. Agar kemungkinan-kemungkinan dalam kepala bisa segera hilang. Begitu motor biru metalik milik Aliando berhenti di depannya, Genang langsung duduk di bagian boncengan. Tidak peduli pada hujan yang mulai membasahi seragamnya.
Beribu-ribu kali Genang melipagandakan energi positif yang tinggal sedikit dalam dirinya. Semakin detik berlalu, semakin kencang pula detakan jantungnya. Kalau bukan karena kasihan melihat sahabatnya kelelahan sehabis bertanding basket, sampai satu jam kedepan pun Genang belum tentu jadi masuk ke dalam ruangan dingin bercat putih ini.
“Anda positif mengidap kanker.”
Genang menjeda napas sebentar. Setelahnya, tidak ada kalimat yang benar-benar didengar meski kedua alis tebalnya berkerut serius. Genang pikir setelah pertanyaan-pertanyaan di kepala terjawab, ia bisa merasa lega. Namun tidak. Bertahun-tahun mengkhayalkan banyak hal, membuat cerpen dan dongeng-dongeng, menjadi seorang penderita kanker dikehidupan nyata sama sekali tidak pernah ada dalam daftar imajinasi Genang.
Air mata pertamanya setelah empat tahun tidak pernah menangis, kini jatuh satu-satu. Melintasi pipi lalu berhenti di atas tangan yang mengepal di pangkuan. Seperti sedang mengulang-ulang pelajaran, Genang baru mengingat lagi --bagaimana rasanya menjadi rapuh.
“Percayalah, sakit akan membuatmu lebih kuat. Tubuhmu mungkin lemah tapi hati dan kemauanmu akan bertambah kuat. Ini bisa jadi keberuntunganmu. Ketimbang remaja-remaja lainnya, kamu akan lebih menghargai apa yang kamu punya.”
Kalimat-kalimat motivasi pasaran begitu, mudah Genang temukan di internet. Ingin sekali rasanya ia menyela, apakah untuk menjadi lebih kuat kita harus sakit kanker dulu? Tetapi urung dilakukan kala tangan hangat Aliando menepuk-nepuk bahunya.
Sepanjang mungkin Genang menarik napas. Memaksa kepalanya mengangkat. Menangis tidak membuat Papa dan Mama kembali hidup bersama, apalagi menyembuhkan penyakit mematikan ini. Jadi Genang memutuskan untuk menyeka air matanya lalu mengepalkan tangan semakin kuat di bawah meja. Berharap ia bisa sekuat kepalan itu.
Selesai dokter bicara, Genang segera mengucap terima kasih dan pamit. Tanpa topik apapun, perjalan menuju rumah Genang begitu sunyi. Hanya ada suara hujan yang terus mengiringi.
Dan, hujan masih belum berhenti meski jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Di kamarnya yang bernuasa hijau alpukat Genang memainkan gitar sambil separuh tubuhnya dibalut selimut. Makin lama genjrengan gitar makin tidak beraturan. Yang terakhir, satu senarnya putus mengenaskan sehingga Genang berhenti memetik.
Masih tidak habis pikir, Genang mencoba mengingat-ingat kesalahan fatal apa yang telah diperbuat selama ini. Genang tidak pernah membolos sekolah, Genang tidak pernah terlambat sampai kelas, Genang hanya pernah satu kali menyontek seumur hidupnya –itupun tidak jadi ia ikuti jawabannya, Genang selalu berusaha yang terbaik, Genang tidak pernah menangis supaya Mama tidak sedih, Genang….
Dering panjang membuyarkan pikiran Genang. Sebuah panggilan dari Mama. Untuk pertama kali, Genang menerimanya dengan perasaan malas.
“Yes Ma!” Seperti sedang latihan ekskul, Genang mulai menjadi seorang aktor. Suaranya lantang dan penuh semangat.
“How was your day my little good boy?” Di Makassar sana Mama pasti mengakhiri kalimatnya dengan senyum lebar disertai deretan gigi.
“Have you been bored to talk with me Madam?” Genang menyahut dengan nada angkuh andalannya. Panggilan sayang dari Mama barusan sudah diblokir Genang sejak SMP.
Tawa Mama terdengar renyah. Meretakkan hati Genang yang baru saja beranjak dari kasur. Berjalan menuju jendela sedikit ragu-ragu.
“Gimana hasil lab-nya?” tanya Mama terdengar santai.
Genang menelan ludah. Andai menjawabnya semudah Mama bertanya. “Oke.” Lalu ada jeda sebentar. “Semua oke. Aku cuma kecapekan dan harus lebih banyak jajan Ma,” lanjutnya diakhiri tawa.
“Itu sih mau kamu,” sahut Mama tidak rela. Selanjutnya Genang tidak benar-benar menyimak penjelasan mengenai batalnya Mama pulang dari dinas malam ini. Karena sekarang di dalam kepalanya hanya ada soal kanker dan makian terhadap dirinya sendiri.
“Nang? Kamu masih di sana? Kok diam aja?” sentakan Mama dari ujung telepon membuyarkan kesibukan Genang.
“Eh? Iya. Sorry Ma, bateraiku mau habis nih. Nanti telepon lagi ya.” Sial, dalam hati Genang kembali memaki dirinya. Belum genap satu hari ia tahu kalau tubuhnya ditempeli kanker, ia sudah dua kali membohongi Mama. Hal yang selama ini pantang ia lakukan.
“Oke. Kamu udah makan?”
Genang menggerutu dalam hati. mengapa sudah bilang oke Mama masih saja bertanya. Genang tidak ingin mengeluarkan kebohongan ketiganya.
“Nang, kamu lagi ngapain sih? Mama dicuekin mulu.” Di sana Genang yakin Mama pasti sedang memanyunkan bibir. Kebiasaan wanita cerewet itu kalau merasa kesal dan geregetan.
“Belum, Ma.” Genang berhasil jujur. “Tapi Mba Inah lagi aku suruh beli lauk sama sayur,” lanjutnya cepat-cepat sebelum Mama menyerocos dan meminta untuk bicara dengan Mba Inah. Kepulangannya tadi sore dalam keadaan kuyub bisa menjadi laporan kurang menyenangkan kalau dua wanita itu mengobrol sekarang.
“Kamu makan sayur?”
Genang menggeleng namun mulutnya bilang iya. Terpaksa, kebohongan ketiga keluar. Karena sayur sekaligus lauk itu untuk Mba Inah.
“Serius? Jakarta nggak lagi hujan badai kan?” Siapapun yang kenal Genang pasti tahu kalau laki-laki kurus ini tidak pernah menyukai sayur. Sejak kecil Genang selalu lebih memilih tidak makan kalau pilihannya sayur.
“Udah deh, aku ngecas hape dulu. See you Mama!” Buru-buru Genang mematikan sambungan sebelum Mama semakin melebarkan obrolan dan lahir kebohongan keempat, kelima, keenam dari Genang.
Bahu Genang turun. Ponselnya sudah di lempar ke ranjang. Ditatap jendela kamar dengan kepalanya yang penuh. Sudah lama sekali Genang tidak membuka kaca gelap itu. Tubuhnya yang payah dan selalu kalah dengan hawa dingin membuat Genang tidak pernah berani membuka jendela kamar dimalam hari. Genang tidak ingat nama penyakit apa yang dibawanya sejak lahir tapi Genang ingat kalau hawa dingin selalu bisa membawanya dalam masalah. Terakhir kali Genang sengaja membiarkan dirinya dipeluk hawa dingin ac ruangan, Genang masuk rumah sakit karena menggigil sampai pingsan.
Namun malam ini Genang ingin menyangkal semua kenyataan. Tubuh payahnya tidak boleh kalah telak. Kebiasan merugikan itu harus dilawan. Genang mau membuktikan ucapan dokter sok bijak tadi sore. Jadi, dibukanya jendela kamar perlahan-lahan dan serbuan angin masuk ke tiap celah yang terbuka. Genang memejamkan mata, mencoba menikmati hawa dingin saat hujan menerpa tubuhnya. Pikirannya melayang satu-satu sampai kosong dan ia tiba-tiba saja bisa merasa rileks.
---------------------------------
Sorak-sorai penonton bergema terlalu meriah. Murid laki-laki terdengar lebih tulus mendukung ketimbang murid-murid perempuan yang berteriak lebih karena ingin mendapat perhatian sang kapten basket sekolah. Bunga, misalnya. Teman sebangku Alia yang mengaku paling up to date itu rela berada diantara kerumunan dan disengat terik matahari untuk menonton pertandingan basket antar sekolah. Bukan karena ia suka dengan olah raga melainkan karena tidak mau kalah saing dengan murid perempuan lainnya yang juga menggilai Aliando, laki-laki berhidung mancung dengan tinggi menjulang di tengah lapangan sana.
“Apa Yah? Nggak kedengaran nih…” Alia setengah berteriak di ujung telepon. Langkahnya menerobos kerumunan tersendat-sendat. Baru dapat tiga langkah keluar, ia kembali tertarik satu langkah masuk. “Sebentar ya Yah,” lanjutnya sambil kemudian mengucap permisi pada tiap orang yang dijumpainya. Lengket keringat teman-temannya sedikit menempel kala mereka beradu singgung.
Ponsel ditangan Alia hampir saja jatuh begitu ia justru berhasil keluar kerumunan. Senggolan terakhir yang ia dapati ialah dengan seorang murid laki-laki putih yang juga baru keluar dari kerumunan. “Maaf,” kata Alia kemudian beranjak pergi begitu saja sebelum si laki-laki bilang iya atau malah maaf juga.
Alia sudah bebas. Suara Ayah di ujung ponsel terdengar jelas sekarang. Bahasan soal terlambatnya Alia pulang hari ini sudah tersampaikan dan Ayah mengizinkan.
“Jadi, sekarang gantian dong Ayah yang jawab pertanyaanku.”
“Apa?”
“Itu loh, anak berseragam sama yang keluar dari ruangan Ayah kemarin. Temanku bukan Yah?”
“Itu rahasia.”
“Kan aku nggak minta Ayah sebut nama. Aku cuma mau tahu aja. Nggak melanggar kode etik kan?”
“Tetap aja rahasia.”
Alia terdengar mendengus. Rasa penasarannya tidak terbayar. Namun dalam hati ia juga merasa senang karena secara tidak langsung itu justru bukti kalau Ayah kebanggaannya adalah dokter yang profesional.
“Pokoknya kamu tunggu aja Pak Seno jemput. Jangan kemana-mana sendirian!” titah Ayah dengan nada bijak kesukaan Alia.
“Siap grak, bos!” Kemudian sambungan diputus keduanya.
Tidak sadar, kini Alia sudah berdiri di ujung lorong. Dilirknya ke kanan dan kiri. Tidak ada orang. Pintu-pintu ruangan ditutup rapat dan lampunya tidak menyala. Namun ada suara entah dari mana. Alia jadi bergidik ngeri. Ketika hendak pergi, suara itu tiba-tiba melantang. Bukan panggilan untuknya melainkan satu kata yang Alia senang mendengarnya.
“Infinity!” Kata itu Alia tahu apa, nama kelompok ekskul seni peran sekolah. Sudah sejak hari pertama masuk sekolah, dua minggu lalu, Alia ingin sekali mengenal ekskul yang satu ini.
Alia menengok ruangan sebelah kanan namun tidak ada apa-apa. Kemudian ke kiri dan mendapati pintu ruangan bertuliskan “Ruang Seni Peran”. Bibirnnya melengkung otomatis usai hatinya membaca papan kayu coklat kecil yang menggantung di bagian atas. Perlahan Alia mendekat dan suara di sana makin terdengar jelas.
Seni peran selalu bisa membawa Alia pada rasa yang berbeda. Sejenis hal luar biasa yang membuat Alia bahagia dan sedih dalam waktu bersamaan. Ada kerinduan memanggil-manggil Alia sekarang sampai air matanya mengembang di kelopak mata. Didekatkan telinganya ke daun pintu. Suara lantang itu tiba-tiba menghilang. Dahi Alia mengerut, penasaran apa yang ada di sana.
Dengan segera Alia menarik kursi dan meja dari ruangan sebekah kanan. Secepat mungkin Alia menyusun kursi itu ke atas meja dan kemudia memanjat. Alia terpaksa mengintip di balik ventlasi karena jendela-jendela ditutup gorden. Baru sebentar, dahinnya sudah kembali mengerut. Kali ini karena bingung.
“Ngapain?” seseorang bertanya.
“Ngintip mereka,” jawab Alia berbisik. Orang di sebelahnya tidak bertanya lagi. “Kok mereka diam aja sih?” Alia menggumam sendiri. Di dalam ruangan Alia melihat sekelompok orang sedang duduk rapih membentuk lingkaran. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Mata orang-orang di sana terpejam. Terlalu tenang.
“Gimana?” orang asing kembali bertanya.
“Mereka kenapa pada meram? Ini kan latihan seni peran, bukan kelas yoga.”
Orang asing melontarkan “Oh” dengan santai lalu menjelaskan kalau anak-anak seni peran di sana memang sedang bersemedi namun bukan untuk latihan yoga seperti yang dituduhkan Alia melainkan untuk mengenal artinya diam dan hening karena kadang-kadang pelaku seni peran harus berakting diam sekaligus supaya bisa melepas semua beban sehingga saat mereka bermain, pikiran mereka akan merasa enteng.
“Oh.” Kini giliran Alia yang melontarkan oh dengan santai. Kepalanya bahkan mengangguk-angguk seolah sedang diberi penjelasan penting mengenai cara meneyelesaikan soal fisika secepat kilat.
“Memang nggak banyak orang di luar seni peran yang paham soal ini.” Orang asing itu menambahkan. “Jadi ada kepentingan apa elo di sini?” tanyanya.
“Eh?” Alia menoleh dan sejurus kemudian matanya membulat sempurna. Baru sadar kalau sejak tadi ia berbicara dengan orang lain. Baru sadar juga kalau aksi mengintipnya ketahuan. Kaki Alia gemetaran dan tidak seimbang berdiri. Sambil terus memikirkan jawaban, Alia mencoba untuk menyeimbangkan badan. Namun sia-sia. Tidak ada jawaban, tidak ada juga keseimbangan.
Alia jatuh. Mulutnya meneriakkan “A” yang khawatir dan panjang. Beruntung si orang asing bergerak cekatan. Menangkap tubuh Alia sebelum benar-benar menyentuh lantai. Mata mereka bertemu. Beradu dalam diam selama beberapa saat. Jantung Alia berdegup cepat meski ia tahu kalau mata kecil di atasnya terlihat sangat menyenangkan.
“Kak Genang!” Suara pintu dibuka dan seruan seorang perempuan menyadarkan Alia dari tingkahnya yang merugakan orang asing. Bisa-bisanya ia ketahuan mengintip sekaligus ditolong dan hanya diam saja dipangkuan tangannya. Padahal Alia tidak pernah berpikir bahwa tubuh langsingnya itu enteng.
Secepat mungkin Alia menegakkan tubuhnya. Berdiri dengan kaku seperti manekin. Pipi chubby-nya terasa panas. Ia malu.
“Kemana aja, kok hilang terus sih?” Masih dari orang yang sama, pertanyaan kali ini terdengar manja. Perempuan mungil itu bahkan menarik-narik tangan orang di sebelah Alia.
“Sorry bikin gaduh. Tadi dia jatuh.” Bukannya menjawab pertanyaan, laki-laki bernama Genang justru menjelaskan secepat kilat. Salah tingkah yang sangat payah.
Perempuan mungil dengan gigi berkawat pink fanta melirik Alia. Memindai dari atas sampai bawah dengan sebelah alis mengangkat.
“Maaf.” Dilirik tidak bersahabat begitu Alia jadi salah tingkah. Cepat-cepat ia berbalik dan pergi, hal yang seharusnya ia lakukan sejak tadi. Bukannya malah melongok keadaan di dalam, sibuk penasaran mengapa beberapa anak mulai perang-perangan dengan gagang sapu.
“Ayo kak masuk!” perempuan mungil kembali menarik tangan Genang. Tidak peduli pada ucapan apalagi kepergian Alia.