Pemandangan di luar kaca jendela hanya awan membosankan yang bergumpal-gumpal mirip permen kapas. Kenan menguap berkali-kali menahan bosan seharian perjalanan dengan pesawat. Pesawat tersebut baru lepas landas sekitar dua jam tapi ia sudah melayang ke dunia bawah sadarnya.
“Sudah bangun?” Sapa Ryan dengan cengiran pada Kenan yang baru keluar dari dunia kapuk. “Kau lihat awan itu? Di sini masih cerah tapi begitu kita sampai di daerah Barat, warnanya jadi kelam membuat perasaan cerah waktu bangun pagi jadi buruk. Kau tahu tidak kalau awan tak bisa memilih untuk berubah jadi awan hujan–cumulus nimbus–karena pengaruh molekul air dan suhu di sekitarnya? Sementara manusia punya pilihan untuk berubah.”
Kenan mengerutkan dahi. “Tentu saja. Awan benda mati.”
“Kau benda mati, bukan? Apa lingkungan di sekitarmu bisa menelan senyumanmu yang dulu, Ken? Jadi, kemanakah perginya sepupuku yang dulu?” Kepala Ryan menoleh ke sana kemari seperti mencari orang yang terhilang.
Kenan melongo. Kata-kata Ryan lembut tapi berhasil menusuknya karena benar. Kenan berubah. Ya. Ia berubah tapi ia tak sadar. Oleh karena masalah, sekarang ia sudah lupa caranya tersenyum dan kemana-mana hanya membawa hawa murung. Tak jauh beda dengan awan-awan hujan di tengah cakrawala.
Ryan berhenti mencari-cari. “Jadi? Di sekolah yang baru kau mau apa? Masih dengan wajahmu yang suram itu?” goda Ryan.
Kenan geli dengan sikap Ryan. “Tidak juga,” jawabnya sambil tersenyum.
“Aku pikir senyuman yang itu cuma untuk kepala sekolah aja. Masa aku kalah sama kepala sekolah? Teganya,” tukas Ryan. Kenan tertawa kecil.
Kepala Kenan pening. Akibatnya ia tidak bisa fokus melihat ke sekeliling. Berapa lama perjalanan tadi itu? 18 jam? 20 jam? Baru pertama kali aku naik pesawat tapi sudah kenyang aku menikmati pesawat yang tadi itu–sudah lama, transit melulu, delaynya lama. gerutu Kenan. Aku jadi mual.
Ryan menyilangkan tangannya di dada. “Gimana menurutmu?” tunjuk Ryan ke arah luar kaca. “Welcome to England, my Sister,” sambutnya.
Mata Kenan tercenggang pada pemandangan di luar London City Airport yang terlihat dari kaca. Semuanya putih. Semua orang berpakaian tebal dengan boot.
“Kau pintar pilih pakaian ya? Nah, sekarang pakai mantelmu yang daritadi kau pegang-pegang itu. Dan karena kau tipe orang yang selalu serius sama perkataannya, lebih baik pakai juga kacamata dan topinya. Mumpung cocok.”
“Perkataan apa?” tanya Kenan bingung.
“Meskipun tawarannya enak, tujuanku bukan membuat Challysto membawaku ke Wina. Kalian cukup jadi patokan untuk aku melampaui nama itu dengan tanganku sendiri. Aku akan dikenal sebagai violinist Kenan Grace, bukan Challysto,” ungkap Ryan lengkap mengkopi perkataan Kenan dulu, “lupa? Padahal waktu itu sok keren.”
Kenan memandangi Ryan sambil senyum. “Oh. Thanks mengingatkan.”
Ryan terlihat senang. Ingin sekali ia menepuk pundak Kenan. Namun, ketika tangannya hampir menyetuh, Kenan mengelak. Ia menyingkirkan senyum palsu bodoh itu. “Jadi, dimana pun kita tetap pura-pura tak kenal, Mr. Challysto.” Sukses Ryan dibuat takut untuk bicara macam-macam pada Kenan lagi. Kenan mulai melangkah pergi. “Tetap panggil aku Grace. Ayo jalan, tuan Ferliaz.”
Mereka jalan berjauhan menuju parkiran bandara. Di sana ternyata ada mobil jemputan–yang lebih mewah dari mobilnya di Indonesia–parkir dengan menawan dan jadi tontonan masal. Kenan masuk tanpa komentar atau sikap norak.
Ryan memberanikan diri untuk berbicara. “Kenan. Ehm, aku belum beri tahu kau kalau sekolah swasta yang kita tempati ini adalah sekolah elit karena banyak anak-anak orang kaya. Satu area sekolah ada SD, SMP, dan SMA.”
“Oh,” jawab Kenan sedingin salju di luar mobil. Ryan jadi diam lagi.
Suara dengung mesin mobil memenuhi perjalanan dari bandara sampai sekolah yang hendak ditunjukkan Ryan. Begitu hening karena Ryan yang biasanya rewel takut bicara dengan sepupunya sendiri. Kenan tak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan kocak itu. Anak SMA takut dengan anak SMP.
“Ehm, sekolah ini, menurutmu bagaimana?” tanya Ryan ragu setelah mereka keluar dari mobil untuk melihat sejenak sekolah di tengah malam.
Kepala Kenan menengadah ke sekolah elit yang berdiri di tengah London itu. “Besar.” Pandangan Kenan terlempar pada wajah Ryan. “Jadi, kapan masuk sekolah?”
“Lusa. Sekarang sudah ganti hari, jadi sampai lusa terserah kau mau apa.”
“Kalau begitu carikan aku dan tante Merry rumah kecil. Jawaban Kenan mengagetkan Ryan. “Kalau kau tak mengijinkan, biar aku jadi gembel di sini.”
Ryan meringis. “Astaga. Jalan pikiranmu itu buat aku kalap. Apa masalahnya tinggal di rumah kami, Kenan??” tanya Ryan.
“Aku takkan biarkan orang melihatku keluar dari kediaman Challysto.”
Kenan belum menang. “Saat kau sekolah, tante Merry yang gak bisa bahasa Inggris mau ngapain?” Ken merenung. Ryan berharap penuh Kenan kalah pada argumentasi itu. “Kau senang tinggal kaya orang yatim piatu? Kami ini ada!”
“Aku kan memang yatim piatu, bodoh.” Mata Kenan tajam menatap Ryan. “Well, kalau tante Merry, sepertinya benar. Tante Merry di rumahmu saja.”
Ryan meringis persis bayi. “Kok tante Merry seperti kardus yang dioper-oper ya? Jadi kau serius dengan rumah itu?” Kenan mengangguk. “Ya oloh. Ampun deh. Kalau gitu siang nanti kita kelilingnya,” jawabnya menyerah.
Kenan mendahului Ryan masuk ke mobil. Dasar kebanyakan duit.
Inggris pukul 11 siang di ruang keluarga kediaman keluarga Challysto di Clerkenwell mulai menghangat tapi tetap saja Kenan menggigil. Matanya terbelalak begitu melihat garis raksa termometer ruangan berada di bawah angka 10. Padahal perapian sudah nyala. Itu kenyataan paling mengerikan kalau ia terjebak di negara yang saat malam suhunya dibawah 0°! Tidak! Tempat macam apa ini!?
“Kau mau teh? Ceylon tea,” sapa Ryan sambil menawarkan.
Niatannya menolak karena kesal tapi lingkungan tak mendukung. “Baiklah,” jawab Kenan sambil duduk di hadapan Ryan. “Sial.”
“Dingin, kan?” Ryan terkekeh sambil mengangkat cangkir tehnya. “Kau harus terbiasa kalau memang mau jadi violinist terkenal. Tekadmu itu keren. Ayo tunjukkan kalau kau serius. Papa selalu cerita kalau sok kerenmu itu memang bawaan dari bibi. Gak heran deh anaknya kaya gini. Tapi, kuharap aku bisa jadi pengiring alunan violinmu nanti.” Ryan dengan santai meneguk tehnya. Mata Kenan terpaku pada sosok di depannya itu. Meskipun sudah berkali-kali ia jejalkan Ryan dengan sikap ketusnya, ia masih saja ramah dan peduli padanya.
Teh yang lain yang diminta Ryan kemudian datang diantarkan, siapa itu? Ya siapalah itu. “Bagus juga aku benar-benar jadi violinist di Wina.”
Ryan membalik koran yang ia baca. Kenan tak melihat ia baca koran semenjak daritadi. “Terus mau jadi yang lain? Luthier[1]?”
Kenan menarik nafas tak mengacuhkan kata-katanya. “Jadi, kau sudah mandi? Aku mau berangkat sekarang.” Mendengarnya, Ryan berdiri dan kabur ke kamarnya sementara saat itu giliran Kenan meneguk santai teh di hadapannya.
“Memangnya mau kemana?” tanya Ryan yang sudah kembali dari pelariannya dalam waktu tak sampai lima belas menit.
“Rumah, Ryan. RUMAH.”
Ryan menghela nafas bosan. “Tahu kok, tapi kau belum bilang apa-apa soal rumahnya. Aku yang milih nanti aku dipelototin lagi.”
“Kalau begitu kau diam saja sampai aku mulai menunjuk.”
Mobil melaju di atas jalan yang sudah dibersihkan dari salju. Pemandangan pertama bagi Kenan melihat orang berpakaian tebal lalu lalang tetapi tidak dengan wajah Indonesianya. Di dalam mobil dan di rumah, Kenan masih berbicara bahasa Indonesia tapi ketika luar dari lingkup kenyamanannya itu semua akan berubah dari kehidupannya yang lama. Harus beradaptasi lagi.
“Baiklah, Non. Itu tempat pemasaran rumah terdekat dari sekolah. Lalu, jangan sekalipun berharap rumah yang ada kaya maumu. Ini bukan Parejo.” Ryan mengingatkan.
Ketus Kenan menjawab ‘ha!’ karena tahu ia tak akan mendapatkan yang ia mau. Jadi ia tinggal berharap yang paling kecil di wilayah itu.
Ryan keluar mobil dengan satu tendangannya. Ia yang keluar sementara Kenan tetap di dalam. Ia membawakan ke sepupunya foto-foto rumah ke dalam mobil sementara Kenan leha-leha. Biar saja dia yang urus. Aku mau manja.
“Ini nona kaya terhormat. Mau yang mana terserah,” tukas Ryan sungguh tanpa marah.
Kenan memandangi foto itu satu per satu dan pilihannya jatuh pada satu rumah yang yah, kira-kira satu keluarga berisi 5 orang muat di dalamnya. Itu ukuran terkecil dari semua foto itu. Tak banyak pilihan. “Itu yang paling kecil?” Tawa Ryan meledak.
“Sial,” gerutu Kenan. “Kau sengaja ya cari foto ini? Kuhajar kau.”
Ryan tertawa sampai menangis. “Gak lah. Foto rumah yang lain jauh lebih besar,” jawab Ryan sambil mengelap air matanya. “Kau tahu? Foto-foto rumah yang lain adalah bekas minor house bangsawan dulu.”
Kenan memalingkan muka saking kesalnya. “Terserah saja.” Ryan masih melanjutkan tawa bahagiannya ketika turun dari mobilnya dan kembali ke tempat pemasaran rumah itu. Kenan tak mau memikirkan berapa jumlah kocek yang dirogoh sepupunya untuknya. Ok, selama Ryan sendiri tidak bermasalah soal itu. Buktinya enak saja ia ketawa sana-sani tanpa ada kartu kredit ayahnya.
Kaki Ryan merangsek masuk mobil. “Jadi mau lihat gimana rumahnya?” Kenan mengangguk. “Tentu saja kau akan kecewa.” Mata Kenan melirik cepat ke arah Ryan dengan tambah jengkel. Sementara itu Ryan malah lanjut tertawa.
Mobil melaju lamban dari tempat pemasaran menuju jalan Chesterfield–sebelah Barat London. Tak sampai lima menit mereka sudah tiba di ‘rumah baru’ Kenan. Rumah itu benar-benar membuat Kenan kecewa. “Sial! Apa tidak ada yang lebih besar dari ini!? Rumah ini sebesar 2 TK di sebelah kampung Parejo!” maki Kenan dengan suara kecil dan tebakannya Ryan sudah tahu kalau ia sedang memaki-maki. Mata Kenan memelototi Ryan.
“Hmm.. kalau dari sini, naik bus ke sekolah sekitar 10-15 menit,” kata Ryan sebelum Kenan mulai bertanya. Meski kesal Kenan mengangguk tenang.
Setelah puas membuat Kenan makan hati, mereka kembali ke dalam mobil dan mulai melaju. “Mau kemana lagi? Aku pikir ini bukan jalan ke rumahmu,” tanya Kenan.
“Rumahmu,” gumam Ryan. “Kau sih mau saja tinggal di rumah yang isinya cuma kasur sama meja belajar tapi itu menggelikan. Setidaknya ada peralatan yang layak di sana dan ok, persediaan makanan juga. Yah, karena kami lama-lama kenal kau juga, yang berikutnya papa yang akan mengirimkanmu bahan makanan, Kenan.”
Kenan menghela nafas malas dan pasrah. “Dasar kebanyakan duit.”
§
“Siapa yang memindahkan semua barang-barang yang dibeli kemarin?”
Kenan yang baru tiba di rumah ‘kecil’ barunya keki melihat rumahnya sudah penuh dengan peralatan baru, sampai dapur juga bonus kokinya. Kulkas penuh dengan makanan mahal yang dulunya takkan pernah bisa ia beli. Lemari pakaiannya pun sudah penuh dengan pakaian baru selain yang ada di kopernya. “Kerjaan siapa sih ini!?”
“Miss, what kind of food do you want for your dinner?” sela si koki.
Mata Kenan terbelalak. Antara kaget karena ada orang dengan bahasa asing tiba-tiba nongol dan kaget karena pertama kali dengar bahasa Inggris yang inggris banget.
Kenan menjawab setengah kelabakan. “I, I do not know anything about menu in here. So, I, I amm very greatful for you to cook anything for me. Thanks, Ma’am.”
Koki itu menggeleng karena Kenan memanggilnya Ma’am. Setelah koki itu bertanya, ia segera pergi dari ruang tengah ke dapur dan menggarap isi lemari pendingin yang ada di dapur–bukan lemari pendingin lainnya yang berada di ruang tengah–lalu mulai memasak sementara ia berkeliling di rumahnya sendiri.
Rumah itu lebih besar dari pikiran Kenan. Ada satu taman di depan rumah, pekarangan cantik yang lebih membuatnya bingung kenapa sudah tertata rapi. Selain pekarangan itu, terdapat pula taman yang lainnya yang berada di bagian belakang rumahnya. Mungkin taman yang berada di belakang rumah itu fungsinya untuk bersantai minum teh saat musim semi, sedangkan taman yang ada di depan untuk mengindahkan tatanan rumah? Masuk ke garasi, sudah bertengger sebuah mobil keluaran terbaru yang lebih mewah dari mobil Ryan di sana.
“Ergh! Ada apa sih sama keluarga Challysto ini? Bikin resah saja!”
Karena hari sudah gelap, Kenan dipaksa masuk oleh seseorang–Kenan kira itu butler dari tail-coat yang dipakainya–berambut cokelat menyala bertubuh tinggi tegap, entah berapa usiannya. Kenan pun mulai traveling di dalam rumah sementara orang itu hilang. Ia berjalan ke tepian dari arah dapur sambil melihat-lihat dua kamar tidur besar di sana. Kalau satu untuknya, satu bonus, si koki sama butler tidurnya dimana?
Tiba-tiba sang koki memanggil nonanya dengan sopan untuk memberitahu kalau makanan sudah siap disantap. Kenan pun duduk manis di bangkunya dan mulai melahap masakan yang disediakannya.
“Aku memang belum pernah ke hotel tapi jelas sekali ini bukan masakan rumah.” Mata Kenan lurus tertuju pada makan malamnya yang menggoda. “Entah karena di rumah mereka juga ada koki hotel bintang 5 makanya di sini juga ada?”
Usai memasak untuk Kenan, sang koki mohon undur diri. Undur diri kemana?
[1] Orang yang memperbaiki alat musik petik