Gadis itu mengamati buku-buku di perpustakaan kampus. Satu yang menarik perhatiannya, yaitu buku berwarna pink muda polos tanpa tulisan di covernya. Bukunya seukuran buku novel pada umumnya dan tebalnya seperti buku sejarah yang ia pelajari. Diambilnya buku itu dari rak, lalu ia melihat-lihat buku di dalamnya. Buku macam apa bisa ada di perpustakaan terbesar di kota ini, tanpa sepatah kata pun tertulis di dalamnya. Aneh.
Dibawanya buku itu dengan tetap menyusuri rak perpustakaan yang menempati lahan 2 hektar itu. Kakinya terhenti karena ada yang memanggilnya dari belakang.
“Raisa!”
ia menoleh. dilihatnya wajah perempuan terengah-engah, tangannya memegangi kedua lututnya, dahinya bercucuran keringat.
“Sst.. ini di perpustakaan, Bee, jangan teriak”
“Maaf, Gue keburu nih. Lo di cari tuh, sama Pak Gatot”
“Hah, Pak Gatot dosen sejarah? Serius? Mampus gue”
“Iya, buruan cepet, nanti Gue yang kena marah lagi”
Raisa bergegas meninggalkan perpustakaan, buku pink itu masih didekapnya tan pa sepengetahuan petugas perpustakaan. Ia keluar tanpa izin meminjam dan segera menemui Pak Gatot di ruangan dosen. Jarak ruang dosen dengan perpustakaan tak jauh. Hanya saja berbeda gedung dan ruang dosen terletak di lantai tiga. Dan naik tangga cukup melelakan untuk orang seperti Raisa.
Tok…tok…tok…
“Masuk!”
Raisa membuka pintu perlahan, lalu menutupnya lagi. Dilihatnya Pak Gatot sedang duduk di kursi yang bisa berputar dengan kaki di atas meja dan ekspresi yang tak menyenangkan. Matanya menatap sinis dan terlihat garang. Pantas saja di kampus tak ada yang suka dengan dosen yang satu ini.
“Silakan duduk”
“Baik, Pak, terimakasih. Ada perlu apa bapak memanggil saya?”
“Gini, kamu itu kan selalu dapat nilai bagus di mata kuliah saya, jadi saya tawarkan ke kamu untuk ikut riset sejarah”
“Maaf, Pak, riset bagaimana ya? saya tidak paham”
brakk... Tangan dosen itu menggebrak meja tepat di depan Raisa
“Gimana sih?! Masa nilaimu bagus gini aja nggak paham, hah!”
“i…i..iya pak, paham”
“bagus. Jadi silahkan tanyakan ini ke Profesor Ham. Beliau bekerja di pusat penelitian kota. Setiap hari kamu harus mengumpulkan catatan yang kamu dapat. Paham?”
Raisa hanya mengangguk. Lalu segera pamit untuk meninggalkan ruangan itu. Sial baginya, ia harus di bebani tugas lagi oleh pak gatot. Padahal minggu lalu ia baru selesai membantu pak gatot merangkumkan materi dan membuat bahan presentasi.
“Eitt tunggu! Risetnya mulai hari ini. tidak ada alasan, tidak ada tapi-tapian”
“Baik, Pak”
Raisa semakin kesal. Hari ini juga ia harus mendatangi Profesor Ham, profesor sesepuh yang kabarnya sulit sekali di mintai keterangan, susah di temui dan menyebalkan. Profesor ini termasuk dalam jajaran orang paling berpengaruh di dunia. Ia telah mengembangkan berbagai teknologi rancangan masa depan yang benar-benar anti mainstream. Pemikiranya sangat unik di banding profesor-profesor lainnya. Sayangnya, hal itu sama sekali tidak menarik bagi Raisa.
Gedung pusat penelitian kota tidak terlalu jauh dengan kampus. Ditempuh dengan berjalan kaki hanya membutuhkan waktu 10 menit. Memang tak lama, tapi jika berjalan seorang diri rasanya akan sangat lama. Sama halnya dengan memendam perasaan sendiri, yang sampai kapanpun kalau tak diungkapkan tak akan sampai.
***
Jarum jam menunjuk angka 10 lewat 15 menit. matahari sedang terik menyusup celah-celah jendela kamar itu.
“Hah, dimana ini?”
Joe sontak terbangun dan mengucek-kucek matanya mengamati sekitar, seperti tak asing. Dia terbaring di kasur dalam ruangan ber cat biru penuh dengan dekorasi berbau basket.
“Ah, ternyata gue di kamar. Sial, sakit sekali ini punggung”
Ia beranjak dan bergegas ke kamar mandi untuk mencuci mukanya yang tak karuan itu. Tak lupa ia bercermin, merapikan rambutnya dan berganti baju. Wajahnya tak berubah. Ia pikir dengan ia kembali ke masa lalu wajahnya menjadi lebih muda. Lalu ia mengamati luar jendela. Memastikan bahwa ia memang sudah sampai di masa lalu.
Diamatinya kalender di meja belajarnya. “Tanggal tujuh Januari. Argh...Kenapa Aku hanya diberi waktu 100 hari? Kenangan apa yang bisa Aku berikan untuk membalas cintanya dengan waktu yang sesingkat ini?” Joe bergumam sendiri.
Perutnya tiba-tiba berbunyi. Sepertinya, selama perjalanan di mesin waktu terasa sangat panjang baginya. Beruntungnya, ia sampai di rumahnya sendiri, sehingga ia bisa mencari makanan di dapur. Ia langkahkan kakinya menuju dapur, membuka kulkas, dan mengambil jus jambu disana, lalu duduk di meja makan. Tepat di atas meja masih ada roti dan selai, tentu ia bebas memakanya, lalu lekas-lekas pergi mencari gadis itu. Pikirnya.
Tiba-tiba joe mengernyitkan dahi. ia seperti mendengar langkah kaki menuju dapur. Mampus, jangan sampai yang datang gue di masa lalu. Selai di meja ia tinggalkan dalam keadaan terbuka, lalu bersembunyi di bawah meja makan yang tertutup kain dengan masih membawa sepotong roti.
Langkah itu semakin mendekat, suara kakinya semakin jelas. Jantung Joe berdebar kencang, suaranya semakin dekat. Lalu hening. Tak ada suara langkah kaki lagi. Joe menghembuskan nafas lega.
Sret.. Tanpa sadar kain penutup meja itu terbuka.
“Aduh…” Kepalanya terbentur meja karena terkejut
“Joe! Apa-apaan ini?! Ngapain kamu di kolong meja, hah?! Kamu nggak berangkat kuliah rupanya? Tadi baru saja pamit sama Mama, kenapa sekarang disini? Itu apa yang kamu sembunyikan?!”
“E..e..engg..gak, Ma, Joe lagi nggak enak badan, jadi langsung pulang lagi. Tte…te..rus tadi ada tikus, jadi Joe masuk ke kolong nyari tikus”
Wanita kepala empat itu geleng-geleng. Ditatapnya Joe dalam-dalam penuh kekhawatiran. Di pegangnya dahi Joe “Nggak panas. Sekarang cepat masuk ke kamar kamu dan istirahat. Kau mulai aneh-aneh, Mama khawatir”
Hari pertama yang sial bagi Joe. Ia berjalan dengan menyeret kakinya menuju kamar, sambil mengingat-ingat apa saja yang ia lakunkan di tanggal ini dulu. Hasilnya nihil, ia tak ingat apa-apa. Ia kembali berbaring di kasurnya, menatap langit-langit. Memikirkan apa yang harus ia lakukan dengan semua rasa bersalah ini.
Beberapa menit ia berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk ke kampus. Membuntuti dirinya sendiri di masa lalu, dan memperbaiki apa yang perlu di perbaiki. Senyumnya mengembang dan ia mulai pergi, melalui jendela kamarnya.