Bidadari Kedai Bakso Umi
*Magelang Friends Chat Group*
Dimas : Rabu aja nih kerja kelompoknya?
Gian : Iya Rabu aja dong, besoknya ga ada PR kayaknya
Ocha : Iya boleh, mau di mana?
Gian : Rumah gue aja gapapa. Mama bawel banget nanyain gue udah punya temen apa belum nih
Dimas : Oke boleh
Ocha : *Ocha sent a sticker* ok!
Satu minggu setelah kepindahanku, akhirnya aku punya teman akrab juga. Merekalah si kembar tidak identik, Dimas dan Ocha, yang akhirnya menjadi teman baikku. Berawal dari kebaikan Dimas berbagi buku Biologi saat kami belajar di laboratorium beberapa hari lalu. Tentu saja saat itu aku duduk sejauh-jauhnya dari si Kacung Kakak Kelas dan akhirnya berakhir dengan duduk bersebelahan dengan Dimas. Karena Ocha adalah saudara kembar Dimas dan mereka selalu kemana-mana bersama, kecuali ke toilet karena mereka beda jenis kelamin, aku pun otomatis berteman dengan Ocha juga.
Oh ya, si Kacung Kakak Kelas, itu adalah sebutan baruku untuk Angga. Berawal saat sedang makan siang di kantin bersama Dimas dan Ocha, aku tak sengaja melihat Angga berkumpul bersama beberapa orang yang kemudian berdasarkan keterangan mereka ternyata adalah kakak kelas. Aku hampir terbahak karena ternyata Angga malah menjadi pesuruh kakak-kakak kelas itu. Dia disuruh beli makanan kesana-kemari. Kasihan sih sebenarnya. Tapi mengingat apa yang ia katakan di hari pertama aku masuk sekolah dulu, tak ada kata kasihan lagi untuknya.
Tok! Tok!
“Yan! Tidur?”
Aku segera menoleh dari ponsel ketika ketukan di pintu plus teriakan Keenan terdengar. “Nggak! Kenapa?” jawabku.
Pintu kamarku pun terbuka. Menampilkan sosok kakak laki-lakiku satu-satunya yang sudah berpakaian lengkap; celana jeans, kaos, dan jaket denim. Ia melangkah masuk dan duduk di pinggir kasur, sementara aku masih tiduran dengan ponsel di tangan.
“Temenin gue ke Grabag yok, Yan,” ujarnya menyebutkan satu-satunya daerah terdekat tempat kios-kios penjual berbagai kebutuhan manusia.
Aku lantas mengerutkan kening. “Malem minggu gini temenin lo jalan? Ogah! Harusnya tuh gue nemenin cewek jalan Mas, bukan lo.”
Keenan menempeleng kepalaku dan sialnya tak sempat kutepis. “Sialan! Ini gue penasaran sama warung bakso disana. Pernah ga lo nemu warung bakso pinggir jalan yang tempatnya gede banget dan dua lantai? Gue penasaran banget soalnya gue kira itu restoran, eh ternyata warung bakso, Yan!”
Mendengar Keenan yang bercerita dengan berapi-api ternyata mampu membuat rasa penasaranku muncul. Setelah berpikir beberapa kali, akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Sesudah mengganti kolor dengan pakaian yang lebih manusiawi yakni celana panjang dan hoodie, aku pun ke halaman depan dimana Keenan sudah siap di dalam mobilnya yang bersebelahan dengan si Ireng. Oh ya, aku lupa memberitahu bahwa si Ireng sudah sampai dengan selamat sentaosa beberapa hari lalu. Meski sempat panik karena telat satu hari, tapi setelah melihat kecantikan si Ireng nongkrong di sebelah kendaraan lain di halaman depan, semua amarah dan kepanikan otomatis hilang.
Namun hal tidak mengenakkan terjadi saat pertama kali aku membawa si Ireng ke sekolah. Tatapan ganas Angga menghujaniku lagi. Awalnya aku tidak tahu kenapa, tapi berdasarkan analisis Ocha yang kelewatan sok tahu, katanya Angga kesal melihat motorku yang lebih bagus dari motornya. Dengar-dengar motor matic ber-body besar milik Angga selama ini selalu menjadi yang tercanggih se-sekolahan. Pantaslah kalau dia kesal tiba-tiba ada yang menyaingi. Padahal aku nggak ada maksud seperti itu samasekali, tapi melihat wajah kesal Angga cukup membuatku berjanji akan memoles si Ireng tiap hari. Supaya Angga tetap terjaga kemarahannya. Hahaha.
Keenan mengendarai mobilnya dengan santai, kami memang tidak terburu-buru samasekali. Lagu James Arthur yang berjudul Naked mengiringi perjalanan kami menyusuri jalanan sepi yang diapit persawahan di kanan-kiri. Setelah kami melewati sekolahku, barulah jalan itu mulai tampak tanda kehidupan manusia. Lampu rumah-rumah, warung kecil, warung besar, atau warung makan tampak berjejer di pinggir jalan.
Kemudian mobil berhenti di sebuah kios di sebelah kanan jalan. Kios itu cukup besar dan berada di hook. Benar kata Keenan, warung bakso bernama Kedai Bakso Umi ini sangat besar untuk ukuran warung bakso dan berada di wilayah kampung. Interiornya selayaknya warung bakso biasa, spanduk besar bertuliskan nama warung, menu yang ditawarkan, dan tulisan ‘Terima Pesanan’ yang kemudian dihiasi dengan foto semangkuk bakso. Meja-meja di dalamnya ditata rapi dengan 4 kursi yang melingkari tiap meja. Ada tempat cuci tangan di pojok kiri. Sementara tempat peracikan baksonya sendiri berada di bagian depan, tepat di depan tempat parkir. Dan satu yang perlu di perhatikan, tempat makan itu sangat ramai.
Seorang pramusaji menghampiri kami saat kami masuk. Ternyata dia menanyakan berapa jumlah orang yang bersama kami. Setelah itu ia mengajak kami ke lantai 2 karena semua meja di lantai 1 penuh. Saat naik ke lantai 2, ternyata meja yang tersedia pun tidak banyak. Kami masih mendapat sebuah meja di dekat balkon, yang sangat kusyukuri karena aku bisa melihat pemandangan yang lumayan bagus dari atas sini. Oh ya, di lantai 2 ini dibagi menjadi 2 bagian, kursi biasa dan lesehan. Aku dan Keenan mendapat yang bagian kursi biasa. Si pramusaji pun pergi setelah menyodorkan menu dan memberitahu untuk memanggil pramusaji yang stand-by di pojok ruangan jika kami sudah siap memesan.
“Rame banget, Mas,” ujarku.
Keenan mengangguk setuju, “tiap gue lewat, pasti kayak gini. Makanya gue penasaran.”
Kami pun membaca tiap menu yang ada. Macam-macam bakso tersedia disini. Kalau biasanya di warung bakso pasti sepaket dengan mie ayam, maka disini berbeda. Mereka hanya menyediakan bakso. Tapi jangan salah, ada lebih dari 20 menu bakso yang bisa dipesan. Mulai dari bakso standar, hingga bakso yang dipadukan dengan makanan lain seperti bakso sate dan bakso soto ayam. Pilihanku pun jatuh pada bakso urat bakar lada hitam, terdengar sangat menggoda dan lebih karena ada tanda bintang disana. Pasti salah satu rekomendasi.
“Panggil pramusajinya, Yan,” Keenan masih melihat menu saat mengatakannya.
Aku pun melambaikan tangan pada seorang pramusaji pria yang sedang melihat keadaan sekitar, stand-by apabila ada yang memanggil. Setelah ia melihatku dan mengangguk, aku kembali melihat menu, lupa kalau aku belum menentukan minuman untuk kupesan.
“Silakan, ingin pesan apa?”
Duniaku berputar saat telingaku menangkap suara itu. Pandanganku tiba-tiba menjadi dalam mode super lambat, slow motion. Aku mendongak, mengalihkan pandangan dan perhatianku dari buku menu ke seseorang yang baru saja bersuara. Bukan, bukan pramusaji pria yang tadi kulihat di pojok ruangan. Dia adalah seorang wanita. Mataku seolah terpatri dan tak bisa pindah kemana-mana selain wajah orang asing ini.
Wanita itu memakai seragam yang sama dengan yang dipakai pramusaji lain. Kaus polo krem dengan logo Kedai Bakso Umi di dada kiri dan celana hitam. Rambutnya hitam panjang dan dikuncir kuda tanpa poni. Yang membuatku terpaku adalah wajahnya. Ia memiliki wajah mungil dengan hidung yang juga mungil, tapi sangat pas berada disana. Seolah Tuhan sedang dalam suasana hati yang baik saat memilihkannya bentuk wajah. Matanya hitam dengan binar yang menyilaukan. Bibirnya, jangan buat aku mendeskripsikan yang satu ini lebih jauh, aku tak bisa memilih kata yang lebih pantas selain kata-kata yang harusnya diungkapkan pria seumuran Keenan. Satu yang bisa kujelaskan hanyalah, tak ada senyum disana. Lebih tepatnya, tak ada ekspresi tertentu di wajahnya. Membuatku tak bisa menentukan apakah dia sedang pada suasana hati yang baik, buruk, marah, atau senang.
“Mas mau pesan apa?”
Aku gelagapan saat tiba-tiba wanita itu menoleh padaku, menungguku memesan dengan tangan yang sudah siap menulis di kertas ordernya. Aku membuka buku menu dan menunjuk asal-asalan. “Oh… ini… aku pesan ini.”
“Minumnya?” ia bertanya setelah menulis makanan pesananku.
“Es teh, es teh manis,” kataku dengan asal sekali lagi.
Ia mengangguk dan menulis lagi, kemudian mengulang pesanan kami. Lalu segera meninggalkan meja kami begitu tak ada protes tentang pesanan yang ia bacakan ulang. Dan aku masih menjadi orang linglung yang memelototinya hingga ia menghilang turun di tangga. Aku mengucek mata. Benar dia manusia? Aku ragu. Dia pasti bukan manusia dengan jenis yang sama sepertiku, atau manusia kebanyakan yang lain. Dia pasti spesies lain. Spesies bidadari.
“Woy! Lo kenapa sih? Lo beneran pesen es teh tadi? Bukannya lo nga suka teh?”
Aku mendengar kalimat Keenan barusan, dengan jelas. Tapi aku tak peduli. Ada yang lebih penting daripada apa yang baru saja kupesan. Aku menemukan bidadari di sini! Bidadari Kedai Bakso Umi!
“Mas, barusan itu…” Lihatlah, aku bahkan tak bisa menyelesaikan kalimatku.
Tiba-tiba sebuah jitakan mendarat di kepalaku. Membuatku bisa lebih ‘sadar’ dan sempat menendang kaki Keenan di bawah meja sebagai balasannya. “Sakit, Mas!”
Keenan meringis merasakan sakit di kakinya. “Lagian lo kenapa sih? Kesambet?”
Aku lantas menggeleng. “Nggak, gue sadar sesadar-sadarnya. Barusan ada bidadari, Mas! Di tempat terpencil kayak gini gue masih bisa ketemu dia. Satu dari banyak warung bakso di daerah ini, gue malah ketemu dia. Ini jodoh kan Mas namanya?”
Sementara Keenan mendelik melihatku. Ia menggeleng heran. “Udah sinting lo. Bidadari apaan? Cewek barusan?”
Aku mengangguk. “Lo lihat kan tadi? Matanya, hidungnya, bibirnya. Apa coba kalo bukan bidadari?”
“Yah, cakep sih. Dan kayaknya seumuran sama lo, kalo nggak ya mungkin bedanya ga jauh.” Keenan yang tadinya tak acuh, tiba-tiba menyipitkan matanya dengan curiga. “Lo naksir? Gila! Baru pertama kali gue ketemu fall in love at the first sight beneran, gue kira di sinetron doang!”
Jari telunjukku bergoyang di hadapan Keenan, sinkron dengan gelengan kepalaku. “Sinetron, drama, film, semua itu terinspirasi dari kisah nyata Mas. Dan ini sama nyatanya dengan semua itu. Gue baru aja nemuin bagian dari diri gue yang hilang.” Aku lantas mengambil ponsel dari saku celana, meletakkannya di atas meja. “Gue bakal minta kontak dia pas dia nganterin makanan.”
Satu dari segala respon Keenan, dia malah mengungkapkan suatu topik yang jarang ia bahas. Berperan sebagai kakak yang ‘normal’. “Lo itu masih kecil udah cinta-cintaan! Pikirin dulu tuh lo bisa naik kelas apa nggak! Bocah!”
“Denger nih, Mas. Dari jaman 90-an, cerita cintanya Dilan sama Milea aja dimulai saat mereka SMA. Lo nggak inget Cinta dan Rangga-nya AADC? Kisahnya Ayudia Bing Slamet sama Ditto sahabatnya? Semua dari SMA! Ga boleh lo meremehkan cintanya anak SMA.”
Keenan malah terbahak, tak ditahan-tahan hingga beberapa pengunjung menoleh dan melotot. “Bagus juga proofs lo, ya udah terserah. Tapi kalo galau jangan kelewatan dan nyusahin gue. Kerjaan gue banyak.”
Kali ini aku mendelik padanya. Galau? Seorang Gian galau? Duh, apa perlu disebutin berapa wanita yang pernah dipacarin seorang Gian sampai detik ini? “Yang ada juga lo yang galau ditinggal tunangan!”
“Sialan!”
Belum sempat aku membalas umpatan Keenan, seseorang menghampiri kami. Aku sudah menyiapkan senyum paling tampan yang kumiliki dan menoleh orang itu, supaya dia terpesona maksudnya. Tapi sekali lagi duniaku berputar. Bukan, kali ini bukan karena pesona wanita tadi, melainkan karena yang mengantar makanan kami ternyata berbeda orang! Seorang pria berambut klimis dengan senyum canggung yang datang.
Malam yang kupikir menjadi awal dari hari-hari indahku, berubah menjadi mengerikan. Pertama, bukan Bidadari yang mengantar makananku. Kedua, bakso yang kupesan ternyata adalah bakso mercon, yang mana ada tiga buah cabe rawit terselundup ke dalam tiap butir baksonya, membuatku hampir meneriakkan kata-kata kasar di suapan pertama. Aku bahkan tidak bisa minum karena benar kata Keenan, aku tidak minum teh. Dan ketiga, aku tidak melihat si Bidadari lagi saat aku pulang. Aku sudah menyapu pandang ke penjuru ruangan di lantai 1 dan lantai 2, tapi tak ada. Hingga akhirnya aku tersadar, dan juga menyesal, karena kemungkinan dia berada di ruangan khusus staf atau kamar mandi. Aku tak memeriksa sejauh itu. Bye-bye, Bidadari…
***
Setelah sukses melewati akhir pekan dengan bolak-balik dari kamar mandi berkali-kali, Senin pagi ini aku sudah bisa berbaris di lapangan dengan tenang. Berdiri di belakang Dimas dan tepat di sebelah Ocha. Kami sudah seperti Trio WekWek karena kemana-mana selalu bertiga.
Upacara berjalan seperti minggu lalu, well aku baru di sini 2 minggu dan ini adalah upacara ke-dua ku. Sama seperti minggu lalu artinya; aku masih menjabat sebagai anak baru, beberapa anak –terutama yang tidak sekelas denganku- masih berbisik-bisik seolah aku tak bisa mendengar mereka, dan aku masih belum mengerti apa yang dibicarakan Pak Ahmad di pidatonya yang bilingual itu.
Selesai upacara, kami, Trio WekWek KW super, menyempatkan diri mampir ke kantin untuk membeli minuman. Kantin saat ini ramai dan berisik, mirip seperti saat jam istirahat. Siswa laki-laki yang bergerombol menertawakan kekonyolan drama salah seorang pemain sepakbola semalam, siswi perempuan yang juga bergerombol cekikikan membicarakan pria tampan di sekolah –aku sudah ge-er kalau itu aku-, dan penjual es seribuan yang baru ku tahu bernama Pak Nono berteriak menyuruh siswa yang tak sabar mengantre membeli esnya untuk bersabar. Semua itu sudah cukup membuat kepalaku nyut-nyutan mendadak. Tapi tak ada yang lebih berisik lagi daripada rengekan Ocha yang minta diantar ke kelas temannya dan Dimas yang menolak karena disana ada mantannya.
“Kamu ga usah masuk ke dalem, Mas. Tungguin aja di depan kelas sama Gian,” Ocha masih merengek. Dia bahkan tak membiarkan Dimas mengambil teh kotak favoritnya padahal mereka sudah di depan mesin pendingin.
Aku mendelik ke Ocha, “gue ga bilang gue mau nganterin.”
Kali ini Ocha memicingkan mata padaku. Kalau ada laser di matanya, aku sudah rontok menjadi butiran Nutrisari. “Jangan kayak Dimas deh, Yan.”
“Oke, gue terserah Dimas aja.” Kalian boleh menertawakanku sekarang. Tapi aku memang agak ngeri kalau berhadapan dengan Ocha, entah kenapa selalu ciut dihadapannya.
Ocha menatap Dimas penuh harap. Kakak laki-laki yang hanya berselang 7 menit mendahuluinya itu pun akhirnya berdehem mengiyakan. Dimas pun segera membuka pintu mesin pendingin setelah Ocha puas dengan jawabannya dan menyingkir.
Setelah membayar minuman, Ocha langsung menggandeng tanganku dan Dimas melangkah keluar dari kantin, menuju kelas 11 IPA 1 tempat temannya berada. Makin miriplah kami seperti Trio WekWek KW super.
Sampai di depan kelas 11 IPA 1, yang berada di pojok lorong lantai 2, Ocha dengan semena-mena meninggalkanku dan Dimas. Padahal dia yang daritadi menyeret kami berdua mengikutinya.
Sementara Ocha masuk ke kelas, Dimas menyapa beberapa teman yang dikenalnya. Ia mengenalkanku pada beberapa teman, seperti Refi dan Irham. Mereka adalah teman satu ekskul band yang diikuti Dimas dan Ocha. Aku menolak halus saat mereka menawarkan untuk bergabung ekskul itu. Bukannya tidak suka, aku walaupun ganteng gini juga bisa main gitar. Lebih karena aku tidak ingin punya kegiatan lain selain sekolah di sini. Lagipula saat naik kelas 3 nanti juga sudah dilarang ikut kegiatan apa-apa lagi. Tanggung.
Tak berselang berapa lama, Ocha keluar kelas dengan wajah cemberut. Berarti orang yang dicari tidak ada, atau tidak memuaskannya. Baru saja aku hendak mengajak si kembar untuk masuk ke kelas kami, Ocha tiba-tiba sumringah dan berlari melewatiku.
“Biya! Dicariin juga dari tadi!” Ocha berujar.
Dan dari rasa penasaran yang menyelimuti seharian kemarin, seperti mencari buku di perpustakaan tanpa penunjuk, ternyata buku yang kucari ada di depan mata. Dia, si Bidadari Kedai Bakso Umi, orang yang dihampiri Ocha dan kemudian berbincang akrab dengannya. Sedekat itu.
Entah apa yang terjadi saat itu, yang pasti waktu seolah terhenti saat aku menatap Bidadari lekat-lekat. Yang kutahu hanyalah tahu-tahu badanku tergerak, atau lebih tepatnya diseret, hingga aku tak bisa melihatnya lagi yang menghilang masuk ke kelas 11 IPA 1.
Kesadaranku pulih ketika kami tiba di depan kelas kami. Aku menahan tangan si kembar tepat sebelum mereka masuk ke kelas, untuk kemudian kugiring ke kursi panjang dekat jendela. Kubuat mereka berdua duduk, sementara aku membungkuk di hadapan mereka. “Tadi itu… siapa?”
nice story!! :)
Comment on chapter Prolog