Loading...
Logo TinLit
Read Story - BIYA
MENU
About Us  

Dia Benar-Benar Ada

Satu informasi itu, maka selesai sudah pencarianku atas rasa penasaranku. Seseorang yang kusebut sebagai bidadari ternyata adalah makhluk dengan spesies yang sama denganku. Manusia berumur 17 tahun yang jaraknya tak lebih jauh dari 30 anak tangga dan 15 meter lorong kelas. Aku hanya perlu melalui itu semua untuk mengetahui bahwa orang yang kucari benar-benar ada, bukan ilusiku semata.

Saat ini yang kubutuhkan adalah informasi lebih detil dari si kembar mengenai Bidadari. Karena itulah aku dengan semangat mengajak mereka ke rumah untuk alasan mengerjakan tugas kelompok, meski aku tahu betul bahwa fokusku tak akan pergi kesana. Sebab terakhir kali aku menanyakan Bidadari, mereka hanya sempat berbagi informasi soal namanya saja. Andai saat itu Bu Siti masuk ke kelas lebih telat sedikit saja.

Ocha adalah yang pertama kali berkomentar tentang jalan super curam yang kami lewati menuju rumah eyang. Cengkraman eratnya baru bisa lepas dari pinggang Dimas ketika aku mengumumkan bahwa kami sudah sampai di rumah. Ocha masih cemberut seolah dihianati orang yang ia percaya. “Kenapa ndak bilang kalau jalan itu curam sih?”

Aku hanya bisa tersenyum semanis mungkin sambil mendahuluinya membuka pintu rumah. Sementara Dimas mengikuti di paling belakang.

Mataku langsung bisa melihat Mama yang sedang santai duduk di sofa dengan ponsel di tangan. Aku lantas menyaliminya, diikuti perkenalan singkat dua teman baruku. “Kita mau kerja kelompok, Ma. Di kamarku nggak apa-apa kan?”

Mama mengangguk setuju. “Nanti Mama bawain cemilan sama minum ya.”

Yang dibalas si kembar dengan ucapan terima kasih dalam Bahasa Jawa.

Masuk ke kamar, aku sengaja membuka pintu lebar-lebar. Kamarku cukup nyaman dengan satu tempat tidur single, meja belajar dan rak buku menempel di samping, dan lemari baju dua pintu. Sisanya, adalah ruangan dengan karpet yang cukup untuk kami bertiga, plus Keenan tidur seperti ikan kalengan. Dimas dan Ocha menjatuhkan tubuhnya di karpet saat aku meletakkan tas di meja belajar.

“Kamar sebelah kosong, Yan?” Dimas membuka perbincangan kami. Ia yang duduk di dekat pintu menoleh ke kamar sebelah.

Aku mengangguk, “jadi gue punya kakak cewek, sekarang kuliah di Semarang. Itu kamar dia kalo lagi libur semester.” Tanganku meraih laptop silver yang kubiarkan teronggok di atas kasur dan meletakkannya di karpet. “Kita butuh buku nggak sih? Apa cari aja di internet semua?”

Ocha langsung menyalakan laptopku, “internet aja cukup kayak’e.I

Aku melepas dasiku dan melemparnya ke kasur, sementara kancing kemejaku kubuka semua, menyisakan kaos polos hitam di dalamnya. Aku langsung duduk bergabung dengan Dimas dan Ocha yang sudah mulai mencari-cari sumber untuk tugas kami. Namun apa yang ingin kucari samasekali berbeda dengan mereka.

“Mas, Cha,” tepat ketika aku hampir mengutarakan pertanyaan, Mama datang dengan satu nampan berisi beberapa benda di atasnya. Mama tak mampir terlalu lama. Ia hanya meletakkan satu teko berisi es jeruk serta 3 cangkir dan satu kaleng biscuit yang biasanya kudapati saat lebaran. Setelah itu Mama pergi lagi entah kemana.

Tuangke tho, Mas. Aku yo haus.” Ocha meminta Dimas menuangkan minuman untuknya. Ia bisa menjadi begitu manja pada Dimas ketika kami hanya ada bertiga seperti saat ini. Padahal kalau sedang berada di keramaian, Ocha bisa jadi super boyish dan seolah perempuan paling mandiri sedunia.

Dimas bergumam masam. Dengan rela tak rela ia menuangkan minuman untuk adik kembarnya itu. Bukan karena Ocha memintanya dengan begitu manja, melainkan kalau Ocha sudah ngambek maka tugas kelompok kami akan terancam. Sebagaimana hakekat Ocha, Dimas, dan Gian, Ocha adalah yang paling rajin dan paling mengerti tugas ini.

Pikiran seperti Dimas itu sempat muncul di kepalaku, namun godaan mengenal Bidadari membuatku nekat bertanya pada mereka. “Mas, Cha, kalian kenal Biya akrab?”

Dimas menggeleng, sementara Ocha mengangguk. Oke bisa aku simpulkan kalau Dimas tidak akrab dengan Biya, sementara Ocha sebaliknya. “Lo kenal dimana, Cha? Tumben ada anak yang akrab sama lo tapi ga akrab sama Dimas?”

Ocha menegak es jeruk pemberian Dimas, kemudian meletakkannya kembali ke atas nampan sambil berujar, “kan satu ekskul. Biya anak band juga. Dimas kan drum, jarang dia ketemu sama vokal. Aku kan gitar, lumayan sering lah ketemu vokal.”

“Kamu kok kayaknya penasaran banget sama dia, Yan? Waktu habis ketemu itu kamu juga tanya dia siapa.” Dimas yang daritadi belum berguna bagi Ocha karena malah asik menyemili biskuit akhirnya buka suara.

Sial, tumben Dimas peka begitu. “Nggak, waktu itu gue sama Mas Keenan kan makan bakso di Grabag. Terus ketemu orang yang mirip banget sama Biya.”

“Oh KBU? Biya memang kerja disana kok.” Ocha bersikap multitasking saat ini. Ia masih menggeser-geser touchpad sambil mendengarkan obrolan.

“KBU?” Akronim ini baru untukku.

“KBU, Kedai Bakso Umi. Warung bakso dua lantai yang ada di Grabag. Biya kerja disana.” Dimas mencerahkanku.

Aku mengangguk-angguk paham dan seolah sudah puas. Padahal masih banyak pertanyaan muncul. “Oh dia bener kerja disana, kirain mirip doang. Padahal sekolah udah sibuk ya, apalagi kata kalian dia ikut ekskul juga. Ditambah kerja pula. Emangnya nggak capek apa ya.” Aku berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terdengar terlalu antusias.

Kali ini Ocha menyempatkan berhenti dari kegiatan searching untuk meresponku. “Mau ndak mau ya dia harus tahan walaupun capek. Kamu tahu ndak, Yan, Biya itu hidupnya menyedihkan banget deh.”

Another information, aku makin penasaran. “Menyedihkan kenapa?”

“Ceritain, Cha,” Dimas menunjukku dengan dagunya. Sementara dia masih mengunyah biskuit jenis lain lagi.

Ocha memutar matanya malas, tapi akhirnya ia bercerita. “Biya itu tinggal berdua sama Neneknya yang udah tua banget. Neneknya pedagang sayur di pasar Grabag tiap pagi. Hasil jualan sayur dapet berapa sih? Ndak cukup untuk memenuhi biaya hidup mereka, biaya sekolah Biya. Akhirnya dia kerja deh. Makanya selain di kelas dan ekskul, susah deh ketemu sama dia. Dia sibuk kerja gitu.”

Bidadari punya hidup yang berat ternyata. Kupikir dia seperti remaja kebanyakan, seperti kami bertiga yang hidupnya sibuk memikirkan bagaimana bisa melalui ujian tengah semester atau tugas dari guru. Mungkin itu juga alasan kenapa dia tidak bisa tersenyum saat di KBU Sabtu kemarin? Malang sekali, Bidadari.

“Kamu beneran ndak mau ikut ekskul, Yan?”

Aku menoleh ke Dimas yang tiba-tiba bertanya menanggapi ceritaku beberapa waktu lalu. Aku hampir mengangguk, saat tiba-tiba sebuah ide cemerlang masuk ke kepalaku. Aku menatap Dimas dan Ocha bergantian. “Kayaknya band lumayan seru.”

---

 

Dengan bantuan si kembar, aku berhasil masuk ke ekskul band yang ternyata diketuai anak satu kelasku juga, Rashad. Setelah memamerkan kemampuan main gitarku yang lumayan di depan Rashad dan si kembar, Jumat ini aku resmi mulai latihan sepulang sekolah. Makin lengkaplah aku menjadi Trio WekWek KW super karena semakin sering kami bertiga berkegiatan bersama.

Sebenarnya jadwal latihan band ini terbagi menjadi 2, yakni Selasa dan Jumat. Selasa khusus pemain drum dan alat perkusi, sedangkan gitar, bass, dan vokal hari Jumat. Namun karena ada anggota baru, maka semua anggota ekskul didatangkan untuk mengujiku langsung.

Awalnya aku santai karena di Jakarta pun aku punya band sendiri dengan teman-temanku, tapi setelah orang berambut hitam itu masuk, aku gugup mendadak. Rasanya jemariku kaku sesaat. Apalagi ditambah tatapan semua anggota ekskul yang mempertanyakan kemampuanku. Dimas dan Ocha sudah menyuruhku mulai terus dari pinggir panggung kecil ini.

Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. Beberapa kali hingga aku bisa menemukan jemariku berada di atas senar gitar. Aku berusaha tak menoleh ke kiri samasekali, tempat dimana penyebab kegugupanku berada. Kemudian dimulailah permainan gitar soloku. Aku membiarkan nada-nada simple mengalun memanjakan telinga semua orang. Namun lama-kelamaan nada itu berubah menjadi nada yang menyayat. Seolah aku punya trauma besar yang kuungkapkan melalui permainanku. Membiarkan penonton dihadapanku menahan napasnya sesaat. Hingga aku mengakhiri permainanku dan tepuk tangan bergemuruh mengurung.

Mataku mencari, tapi tak kutemukan juga. Dia tak ada di sisi sebelah kiri panggung. Pandanganku semakin tak bisa menemukannya saat kerumunan orang itu maju dan mengatakan sesuatu seperti memberiku pengakuan bahwa aku secara resmi banget bisa bergabung di ekskul ini. Tapi aku masih tak peduli. Bukan pengakuan mereka yang kucari.

Namun hingga kerumunan itu berangsur hilang karena pengumuman Rashad bahwa ekskul hari ini ditiadakan, aku masih tak bisa menemukannya. Dimanapun. Perasaan takut kembali menyergapku. Aku takut bahwa dia memang ilusiku semata. Segera kubuka grup chat ekskul yang baru kumasuki kemarin dan melihat daftar anggotanya. Aku masih bisa menghela napas lega karena ada nama Biya disana. Dia ada.

---

Malamnya, aku memberanikan diri menambahkan kontak Biya ke daftar temanku. Butuh 5 kali membuka dan menutup kontaknya hingga akhirnya aku berani mengiriminya pesan. Sangat singkat dan klasik, aku tahu.

Gian     : Hai, kamu anggota ekskul band sekolah kan?

Satu menit. Lima menit. Lima belas menit. Tak ada balasan. Dibaca pun belum.

Aku mulai frustasi, berguling-guling di atas kasurku. Aku masih cukup waras dengan tidak berteriak karena tahu jam segini anggota keluarga sudah lengkap di rumah dan aku tak ingin dikira kenapa-kenapa. Masih mending kalau dikira stress belum dapat teman, kalau aku dikira kesambet dan dibawa ke dukun gimana?

Aku sedang bersujud dengan ponsel di hadapanku, memohon agar pesanku dibalas, saat ponselku berbunyi singkat penanda ada pesan masuk. Aku hampir berteriak kembali, tapi bukan karena frustasi, melainkan karena menemukan nama Biya muncul di notifikasi. Dia membalas!

Biya     : Iya.

Satu tanganku yang sudah terangkat ke atas dan senyumku yang sudah selebar sungai Bengawan Solo tiba-tiba berubah menjadi kerutan di dahi yang tak bisa kutahan-tahan setelah membaca balasannya. Iya? IYA?! Itu aja?

You’re playing hard to get? Okay, I’ll show you how the real man gets you.

Gian     : Aku Gian, anggota baru ekskul band.

Kali ini pesanku langsung dibalas olehnya. Aku sudah senyum-senyum lagi membayangkan jawabannya seperti; oh iya yang tadi main gitar ya, atau oh iya yang main gitarnya keren itu ya. Tapi sekali lagi harapanku yang sudah setinggi Monas harus pupus ke inti bumi yang panas.

Biya     : Oh.

Kubiarkan ponselku terjatuh menghantam karpet. Aku menepuk dadaku pelan, sabar Yan, ini cobaan. Mungkin dia memang nggak suka chatting. Oh atau mungkin dia lagi sibuk kerja. Atau mungkin dia sedang mengerjakan PR.

Namun dadaku masih terus terasa nyeri. Siapa juga yang nggak suka chatting? Itu adalah sebuah kebutuhan untuk mendapat informasi. Sibuk kerja? Jam 10 malam, hampir setengah 11, masih kerja? Nggak mungkin. Aku ingat betul KBU tutup jam 9. Dan PR? PR membuatmu membalas pesan dengan singkat-singkat? Dia bisa meletakkan tanda titik di akhir chatnya, dimana dia pasti lebih cepat menutup aplikasi dibanding menemukan tanda titik di papan ketik ponsel. Itu kalau dia tak mau diganggu mengerjakan PR atau belajar, ya kan.

Pada akhirnya aku membiarkan semua spekulasi dan alasan yang muncul di kepalaku tetap pada tempatnya. Entah mana yang benar.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
They Call It Love
590      379     0     
Short Story
Bifurkasi Rasa
139      119     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
Meja Makan dan Piring Kaca
57148      8411     53     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
388      285     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
Secret’s
4193      1351     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
Petrichor
5161      1651     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
LOVE, HIDE & SEEK
505      343     4     
Romance
Kisah cinta antara Grace, seorang agen rahasia negara yang bertemu dengan Deva yang merupakan seorang model tidak selalu berjalan mulus. Grace sangat terpesona pada pria yang ia temui ketika ia menjalankan misi di Brazil. Sebuah rasa cinta yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, takdir mempertemukan mereka kembali saat Grace mulai berusaha menyingkirkan pria itu dari ingatannya. Akankah me...
Furimukeba: Saat Kulihat Kembali
482      335     2     
Short Story
Ketika kenangan pahit membelenggu jiwa dan kebahagianmu. Apa yang akan kamu lakukan? Pergi jauh dan lupakan atau hadapi dan sembuhkan? Lalu, apakah kisah itu akan berakhir dengan cara yang berbeda jika kita mengulangnya?
Panggil Namaku!
8666      2220     4     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
When I Was Young
9230      1920     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...