Cameron's POV
Terkadang aku dibuat bingung. Orang bilang kalau masa SMA adalah era yang paling ditunggu-tunggu oleh para kaum millenial. Aku bilang itu semua tidak lebih dari sekedar omong kosong belaka yang dibuat hanya untuk berandai-andai.
Awalnya, aku berpikir bahwa masa SMA tidak akan seburuk tahun-tahun sebelumnya, ternyata aku terlalu sinting untuk mempercayai itu semua. Maksudku, apa yang bisa didambakan dari sebuah masa dimana kau harus berjuang demi reputasi? Apa aku bisa berharap pada prestasi? Jangan bodoh, untuk mengerjakan soal SMP milik saudara sendiri saja aku tak kuasa. Populer? Temanku saja tak dapat mengingat namaku, mereka akan lebih senang memanggil gue dengan 'si cupu'. Memang itu adalah gelar yang telah melekat padaku sejak di sekolah dasar.
Banyak orang yang berasumsi bahwa cinta adalah hal yang paling dominan di SMA. Entahlah, pola pikir mereka sedikit melenceng karena terlalu banyak mengonsumsi film remaja series yang mencuci otak. Aku sendiri hampir lupa bagaimana caranya mencintai. Terakhir yang aku tahu, aku pernah sekali jatuh hati oleh seorang temanku di SMP, dan saat aku menyatakan perasaan, tak ada kata-kata yang lebih pahit dari "Hei! Ngaca! Pergi sana! Geli"
Setiap bangun dari tidur, aku memandang pantulan bayanganku di cermin. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang menarik. Hanya seorang laki-laki dengan kacamata oval. Postur? Aku rasa masih bisa ditoleransi, tapi jangan harap aku adalah remaja dengan tubuh kotak-kotak. Aku bukan rubik. Atau papan catur. Aku hanya remaja biasa dengan postur tinggi dengan dada bidang.
Aku sekalipun tak pernah berharap apapun pada wanita. Mereka terlalu bodoh dan berlebihan. Aku sering sekali mendengar anak-anak cewek berteriak histeris setiap team basket sekolah berjalan dengan varsity khas mereka. Para cewek akan membuka jalan untuk mereka lewat dan berteriak "Lo keren abis! Gue gabisa hidup tanpa lo!" mereka tak tahu apa fungsi oksigen.
Tapi karena aku bilang aku tak berharap apapun pada wanita, jangan pikir aku seorang gay. Aku ini masih tertarik pada lawan jenis. Jadi jangan berasumsi yang tidak-tidak.
Sekarang ini, aku bersekolah di Beverly High School. Yang satu ini bukanlah hal biasa. Beverly High School adalah tempat dimana para pejabat akan menitipkan anak-anak mereka disekolah dengan akomodasi dan fasilitas lengkap dengan standar internasional. Papa dan mama juga alumni Beverly.
Tapi tetap saja, itu tak patut dibanggakan, karena diriku memiliki peran yang tak lebih dari seorang kutu buku bermodal beasiswa yang akhirnya terbuang dan kasat mata.
Aku sendiri hanyalah sebuah anggota club tempat dimana beasiswaku berasal. Movie maker. Aku memiliki segudang pengalaman dan prestasi dibidang perfilman. Hanya bermodal kamera, dan ambisi. Sertifikat dan penghargaan yang berhubungan dengan film bukan hal yang tabu untuk ditemukan dibeberapa sisi kamarku. Papa adalah seorang sutradara terkemuka yang tak pernah gagal membuat pecinta film takjub. Tapi itu dulu, tepat sebelum ia dililit hutang yang terus membengkak dan berujung kematian. Itu sungguh berdampak besar padaku dan mama. Mama selalu pergi keluar kota untuk berkerja, mencari uang untuk menutup hutang papa, dan aku harus tetap tinggal untuk melanjutkan pendidikan. Meskipun begitu, mama adalah orang yang hebat, ia dapat menutup hutang papa sendirian.
Tapi mau setenar apapun papa, teman-temanku tetap memanggilku si cupu. Untungnya, mereka tak pernah berani mengajakku untuk baku hantam karena postur tubuhku yang tinggi besar. Bahkan terkadang aku mencoba untuk bertahan dengan bersikap acuh tak acuh pada mereka.
Tapi, diluar film, aku juga hobi bernyanyi. Tidak jago, cuman sekedar hobi. Setidaknya, intonasi suaraku tidak beda jauh dengan Ed Sheeran.
"Woi cupu!"
Ah ya, kembali lagi ke sebuah cerita mengenaskan yang harus kujalani setiap hari, yang berjudul realita. Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk melamun. Sampai-sampai susu coklatku telah mengendap dan nasi yang berletakkan diatas nampan sudah dingin.
Aku segera menengadah dan mencari sumber suara sebelum mereka menghampiriku dan membuatnya menjadi berantakan.
Mereka lagi. Senior-senior yang tak tahu diuntung. Padahal aku sudah berusaha keras untuk mengambil beberapa foto alam, dan mereka akan mengambil karyaku untuk pameran seni dan berlagak seperti jepretan foto itu adalah miliknya. Awalnya aku berpikir aku bodoh karena menerima apa yang mereka suruh, tapi akan lebih bodoh jika aku menolak permintaan mereka dan memperbolehkan mereka mengambil kameraku.
"Terima kasih atas foto lo. Gue ga nyangka ternyata foto lo bisa seharga 3 juta" Cole Walker. Tampaknya dia menyandang juara pertama berkat mahakarya milikku. Si populer dengan belasan sidekicknya tak pernah membuat aku gentar atau takut sedikitpun. Ancaman-ancaman konyolnya terdengar lucu ditelinga.
Aku lebih baik meninggalkan kantin dan bergegas menuju lab kimia. Setidaknya lab kimia tidak akan lebih ramai dan lebih menyengat dari kantin.
Lab kimia memiliki semerbak khas yang membuatnya terasa seperti rumah sakit. Aku sebenarnya tak tahan, tapi tak masalah. Ini lebih baik daripada berurusan dengan Cole dan para landak mininya.
Tak banyak yang aku lakukan di lab kimia. Hanya melakukan hal-hal membosankan yang biasa dilakukan oleh orang-orang kurang kerjaan. Padahal masih ada 20 menit sebelum bel masuk berdering.
Aku membuka telepon genggam dan membuka website Beverly High School. Tidak banyak yang aku dapat. Tidak banyak juga yang menarik untuk ditelusuri, tidak, sampai aku menemukan foto yang dipasang dihalaman terakhir website.
"Queen of December"
Aku membaca headline di laman tersebut sebelum terpaku pada foto sosok gadis dibawahnya. Sebuah foto yang begitu menyita perhatian.
Wanita itu sangat cantik. Ia terlihat dewasa. Rambutnya coklat pekat dan dibuat bergelombang. Kulitnya putih bersih dan bercahaya. Sepasang mata birunya menjelma bagai langit jam 7 pagi. Senyumnya begitu cantik, seindah bunga magnolia di bulan May. Dia memakai gaun seputih tulang yang menjuntai menyapu lantai. Renda yang terjahit rapi mengelilingi setiap sisi gaun memuat kesan retro. Dan sentuhan terakhir yang sangat amat mempesona, ia memakai sebuah mahkota dengan rubi besar ditengahnya. Dia terlihat sangat sempurna. Aku yakin siapapun yang menjadi keturunannya akan sangat beruntung karena dikaruniai wajah yang rupawan.
'Alice Addison, The First Queen of December, 3 December 1988'
Begitulah yang tertulis dibawah foto tersebut. Kalian pasti bisa menyimpulkan sendiri mengapa dia memakai mahkota bagai ratu.
Aku sendiri dibuat penasaran tentang 'Queen of December' apa artinya dan apa maksudnya. Sebuah platform bertulis 'telusuri lebih lanjut' beserta link menarik perhatianku.
Aku berpindah ke laman baru secara otomatis. Tentunya ke laman yang dipenuhi dengan remaja yang cantik dan menawan pada masanya.
'Selamat datang di Queen of December!'
Aku pikir aku tak perlu membaca greeting messages, terlalu membosankan dan menyita 20 menitku yang berharga.
'Queen of December adalah sebuah ajang bergengsi yang diperuntukkan untuk kalangan para remaja perempuan di Beverly High School. Queen of December pertama kali diselenggerakan pada tahun 1988 dan dimenangkan oleh Emma Addison yang dinobatkan sebagai Queen of December pertama. Queen of December diadakan setiap akhir tahun, tanggal 3 Desember.
Queen of December adalah ajang yang paling ditunggu-tunggu. Setiap murid perempuan tahun pertama akan dipilih sebagai kandidat. Kemudian di tahun kedua dan ketiga, mereka akan diseleksi lewat kompetisi-kompetisi yang telah dibuat sedemikian rupa demi mendapat bibit terbaik. Murid terakhir yang bertahan akan dinobatkan sebagai Queen of December selanjutnya pada awal Desember'
Blablabla dan bla. Dapat diyakini bahwa siapapun yang membuat artikel adalah seorang perempuan dari salah satu siswa Beverly, karena aku hampir lupa bahwa perempuan sangat amat cerewet. Mereka selalu mencantumkan hal-hal yang menurutku tak penting. Scroll kebawah sedikit sepertinya tidak akan masalah.
"Cara kerja Queen of December"
Astaga. Untuk apa aku membaca artikel yang diperuntukkan untuk wanita ini?
Tapi sebenarnya tidak buruk juga. Ini sedikit menarik. Dan aku salah, ini diperuntukkan untuk seluruh siswa Beverly bukan? Jadi aku tidak akan berdosa untuk menulusurinya sedikit.
'Queen of December tentu tidak berdiri sendiri. Kami memiliki beberapa club partner untuk menopang kelancaran ajang Queen of December. Yang pertama, Beverly Journal. Jika kalian ingin mendaftar sebagai kandidat, tim yang satu ini akan siap sedia menunggu kalian. Yang kedua, Beverly Musical, club ini yang akan menghibur acara pembukaan Queen of December dalam bentuk teater atau drama musikal. Yang ketiga, ada Beverly Volunteers , club ini yang paling berjasa dan paling sering melakukan aksi melestarikan bumi dan perkerjaan sukarelawa lainnya. Dan yang terakhir, adalah BMC"
Tunggu sebentar. Apa aku salah liat? BMC? Beverly Movie Corp? Clubku? Ikut andil dalam acara besar ini?
'Beverly Music Corp. Club yang satu ini...'
Ternyata benar. Aku kira hal yang memuat diri gue tidak akan memiliki peran apapun.
'Club yang satu ini memiliki peran khusus. Tanpa BMC...'
"Buruan buruan! Bu Emil mau masuk!"
Aku segera menyembunyikan telepon genggamku kedalam loker. Segerombol anak dengan jas lab tergantung di lengan memasuki ruang dengan rusuh. Apa aku terlalu asyik membaca hingga tak menyadari bel masuk telah berdering?
Kursi lab kimia penuh satu persatu. Bangku disebelahku pun sudah diisi dengan salah satu teman club filmku.
"Siang! Anak-anak!" Seorang guru berbadan gemuk dengan kacamata setebal kamus masuk kedalam lab kimia yang membuat seluruh isi ruangan menghentikan aktifitas mereka.
"Kali ini kita kedatangan murid baru!" Bu Emil berseru. Namun, sayangnya tak satupun murid terlihat tertarik. Termasuk aku. Melihat gerak-geriknya mengingatkanku pada sebuah karakter di kartun anak-anak.
"Ayo sayang! Kemarilah!"
Seorang gadis berjalan pelan dari balik pintu lab. Suara sepatunya terdengar ke setiap sudut.
Aku sedikit tersentak saat melihat dirinya tampil begitu mencolok, memang ekspresi gue sedikit berlebihan, tapi mari kita mulai dari pakaiannya. Setelan sweatshirt berbahan velvet, serta rok hitam diatas lutut, dilengkapi dengan high heels pink neon membuatnya sedikit menganggu.
Rambutnya diberi warna merah maroon dan sepertiga bagiannya diombre hitam. Aku tak tahu apa tujuannya. Itu lebih terlihat seperti semut merah yang berkerumun dikepalanya. Wajahnya dipoles tebal sedemikian rupa. Bibirnya merah tertutup lipstick. Pipinya merona dibantu blush. Alisnya sedikit menganggu tapi itu tak membuatnya tampak aneh. Matanya biru dan besar, yang satu ini terlihat cantik. Kacamata hitam dengan list emas disisipkan di sela-sela rambut. Anting yang tak berbeda dengan cincin raksasa menggantung pada sepasang telinganya. Gelang dan pernak-pernik lainnya membuatnya seperti toko aksesoris berjalan.
"Agatha Calsey. Panggil aja Calsey" Calsey mengacungkan jari telunjuknya, dan meletakkannya di dada. Sungguh perkenalan yang singkat, padat, dan tidak jelas.
"Ok Calsey. Silahkan duduk" Gadis yang kini sudah gue ketahui namanya berjalan dengan tegap dan meletakkan tasnya di kursi paling belakang. Aku heran, kemana saja dia belakangan ini? Kenapa baru masuk sekarang? Padahal sudah hampir 1 bulan sejak sekolah dimulai. Apa dia terlalu sibuk? Lantas mengapa gue peduli?
4 jam pelajaran kimia berlangsung dengan membosankan dan sunyi. Yang terdengar hanya suara Bu Emil yang asyik memperlihatkan bagaimana cara menyatukan beberapa zat ke dalam tabung reaksi dengan baik dan benar.
Aku menyisir sekitar. Setengah seisi kelas tertidur dibalik buku paket kimia mereka yang disengaja dibuat berdiri, dan setengahnya lagi sibuk dengan angan-angannya masing-masing. Tak terkecuali aku. Yang aku lakukan selama 4 jam penuh hanya memasang earphone dan memutar musik secara bergantian, atau memperhatikan Egsy, teman clubku, yang tengah mengantuk dan tak sadar kalau cairan biru yang tengah ia tuangkan sudah membanjiri lantai dan mengeluarkan asap.
love this story :)
Comment on chapter Beverly