Aku berjalan melewati lorong sekolah. Lorong tampak tak seramai dari biasanya. Bagiku ini berita baik. Aku tak perlu bertemu Gale dan segerombolan marmutnya.
Aku menuju loker sambil menyematkan kode sandi, kemudian mengambil beberapa buku paket dari dalamnya.
"Minggir!" Segerombol anak saling mendorong dan berlari memenuhi lorong dalam sekejap. Sampai-sampai kepalaku terjerumus kedalam loker dan membuat dahiku bertemu pinggiran silabus biologi yang setebal dosa.
"Sial!"
Kepalaku sedikit terantuk bahkan badanku hampir sedikit oleng. Aku menengok ke kanan kearah segerombol siswa rusuh itu berlari sambil mengusap bagian dahiku yang terbentur silabus. Nampaknya mereka menuju aula. Haruskah aku pergi kesana untuk memastikan apa yang terjadi? Tidak. Bisa diprediksi aula tengah penuh saat ini layaknya gedung pemerintahan yang tengah diamuk massa demi meminta keadilan.
—————-
Akhirnya suara merdu menggema, membangkit selera dan mengobarkan semangat merdeka serta menyulut ambisi untuk berkompetisi. Ya, berkompetisi demi mendapat antrean pertama dikantin.
Dalam sekejap, kantin penuh oleh anak-anak dengan perut lapar. Penjaga kantin pun hampir kewalahan melayani anak-anak manusia yang meronta meminta asupan.
Rasanya begitu menyenangkan. Aku tak perlu mengeluarkan tenaga demi semangkuk nasi lembek dan sekotak susu. Selapis roti selalu siap sedia setia di kotak makan. Aku juga tak perlu menarik urat untuk mendapat duduk di tempat strategis. Aku selalu memilihi barisan paling belakang dipojok ruangan. Selama tempatku tak terjamah oleh pasukan Cole dan kalangan remaja populer lainnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan, semua berjalan lebih mudah dan tanpa halangan. Ini adalah sebuah keuntungan bagi seorang penyendiri sepertiku. Rasanya lucu saat kau melihat dua orang bertengkar sedangkan kau hanya duduk manis di singgasana. Jadi jika kalian pikir menjadi penyendiri sungguh membosankan, coba pikir lagi dua kali.
Aku sebenarnya sedikit bosan dengan roti. Tapi apa boleh buat? Aku tak bisa membuat apapun selain membuat roti dengan selai kacang yang 2 hari lagi akan kedaluwarsa. Aku pernah sekali mencoba untuk menggoreng kentang. Tapi usahaku gagal. Alasannya karena aku pegal memegang tutup panci untuk melindungiku dari cipratan minyak. Agak konil. Tapi aku tidak bergurau. Aku terkadang suka heran melihat mama terciprat minyak namun tak mengeluarkan reaksi apapun. Tersentak pun tidak. Sedangkan aku? Jangan heran. Untuk memasak satu buah kentang goreng pun aku harus melemparnya dari jarak 15 cm dan setelah melemparnya, aku akan mundur 3 langkah kebelakang dengan kecepatan cahaya, tentu dengan perisai tutup panciku yang sangat kuat bagai palu dari karakter Thor di film Avengers.
Aku menyisir seisi kantin. Kantin tak pernah sepi pengunjung. Area yang satu ini adalah tempat yang selalu ramai dan berisik. Bagaimana tidak? Hampir satu sekolah berkumpul di waktu dan tempat yang sama. Murid-murid bersenda gurau dengan temannya, berkumpul dengan kubu masing-masing, bertemu dengan kekasihnya. Dan kantin adalah tempat untuk ajang tebar pesona paling tepat.
"Hei freak!"
Tolonglah. Suara itu lagi. Padahal aku sudah mencari kursi paling pojok tapi Cole tetap saja mendapatiku sendirian.
"Kenapa lo sendirian? Butuh temen gak?" Ujarnya sambil setengah berteriak. Tanpa berteriak, suaranya hanya akan terdengar seperti bisikan. Cole dan fandom nya hanya tertawa. Apa aku harus memakan makan siangku di ruang guru agar dia tak dapat menemuiku? Kapan aku bisa hidup bebas dan tentram tanpa penganggu bajingan itu?
"Hai Cole!"
Seorang gadis berambut maroon datang menghampiri meja Cole dan disambut dengan penuh suka cita oleh landak-landaknya.
Apa yang baru saja kulihat? Si rambut semut itu? Calsey? Siswi tahun pertama yang baru masuk kemarin setelah hampir 1 bulan? Kini ia menjalin hubungan bersama pria kampung yang selalu menjiplak karyaku? Ya Tuhan, kukira tak akan ada yang lebih buruk dari jamu langsing milik Elliot.
Mereka terlihat mesra dan menjijikan. Cole mengelus pelipis Calsey beberapa kali. Sampai mereka mulai melakukan hal-hal 17+, demi batu akik Thanos aku bersumpah akan muntah diatas roti lapisku sendiri.
Calsey mendapatiku tengah memperhatikannya dengan seksama. Whoops! Aku tertangkap basah. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain kembali pada roti lapisku dan meletakkannya masuk kedalam tampat makan dan bergegas pergi. Aku takut Calsey akan mengatakan hal-hal yang tidak benar terhadapku.
Kurasa sebaiknya aku pergi ke kelas fisika untuk menunggu bel masuk sambil melanjutkan hubunganku dengan roti lapis. Kalian tak tahu saja aku dan roti lapis punya ikatan spesial. Aku bertemu dengannya rutin setiap pagi, siang, dan malam.
——————
Bel pulang sekolah memeka diseluruh indra pendengaran siswa Beverly. Kami segera bergegas keluar kelas dan pulang.
"Hei Cam!"
Seseorang menepuk pundakku dari arah kanan. Aku beralih padanya dan menemukan Elliot dengan senyum sumringahnya. Bagaimana dia bisa terlihat bahagia sedangkan wajahku pucat seperti baru keluar dari ruang bimbingan konseling.
"Wow lo baik-baik aja kan Cam? Muka lo kayak udah gamakan seminggu. Lo sakit?"
"Gue gak apa-apa kok. Sehat-sehat aja. Cuman tadi kata Egsy gua pingsan abis baca silabus fisika" Elliot tertawa terbahak-terbahak. Aku tak tahu apa yang membuatnya begitu senang melihatku tertindas oleh fisika dengan rumus dan hukum-hukumnya. Sejujurnya, yang kulakukan selama 2 jam pelajaran fisika tidak lain dan tidak bukan adalah memperhatikan papan tulis dengan mulut terbuka lebar dan dahi mengerut sambil berusaha menjawab pertanyaan yang terus berkecamuk seperti "Apa yang sedang kulakukan disini?" "Apa yang sedang terjadi?" "Dimana aku?" "Siapa aku?"
"Oh iya. Ben, ketua BMC yang baru mau ngajak kumpul besok abis pulang sekolah"
"Mau bahas apa?"
"Lo gamungkin gatau beritanya kan?"
"Berita apa?" Elliot mengelus dadanya dan menghela napas. Aku tak tahu apa arti dari bahasa tubuhnya. Aku juga tak tahu apa yang Elliot ingin aku tahu karena aku memang terlihat tidak tahu saat orang-orang tahu tentang apa yang tidak kutahu. Apa yang kubicarakan? Sudahlah, cobalah untuk mengerti, fisika telah membuat otakku sembelit saat ini, kurasa aku akan meminum obat batuk dirumah nanti.
"Sekarang lo ke aula. Disitu ada pemberitahuan baru. Terus lo baca kenceng-kenceng sampai masuk ke otak. Oke? Gua cabut duluan ya. Jangan lupa besok, abis pulang sekolah, di sekretariat BMC" ujar Elliot sambil beranjak pergi. Sebenarnya yang kuingat dari seluruh ucapannya hanyalah aula dan pemberitahuan, lebih dari itu? Jangan harap.
Aku segera memulihkan pikiran dan pergi ke aula sebelum sekolah ditutup karena suasana sudah mulai sepi. Bahkan aku bisa mendengar suara sepatuku yang menghantam lantai.
Aku sampai diambang pintu aula. Agak tersentak saat melihat ada yang berdiri membelakangiku. Ia menghadap papan dengan telapak tangan yang mengusap salah satu flyer.
Si gadis berambut merah. Calsey memutar tubuhnya karena merasakan kehadiran seseorang, dan dia lagi-lagi mendapatiku tengah terpaku padanya.
Aku memberanikan diriku untuk menghampirinya. Maksudku, untuk menghampiri papannya.
Kurasa tak ada yang berbeda. Mading-mading masih dipenuhi dengan banner dan selebaran dengan tanggal yang sudah tak valid.
"Lo nyari apa?" Suara itu datang dari arah kiri tempat Calsey berdiri.
"Sesuatu yang baru" jawabku sarkas. Hah! Aku berhasil menjawab seolah aku tak peduli padahal sekarang ini hatiku sedang bunggee jumping dengan pembuluh darahku sebagai talinya.
"Maksud lo ini?" Calsey menunjuk selebaran yang ditempel didepannya.
'Queen of December'
Kubaca headline dari selebaran tersebut dan menyadari bahwa judul tersebut tak asing bagiku. Sungguh lucu. Aku baru saja membaca artikelnya kemarin. Sebuah kesengajaan yang tak kebetulan.
"Lihat aja. Gue yang akan menang di Queen of December"
Aku hanya memutar bola mata dan terkikik. Tentu saja orang-orang seperti Calsey akan berbicara seakan ia memiliki peluang besar untuk menang. Ini cukup menjelaskan mengapa ia menjalin hubungan dengan Cole. Kalian tebak saja.
Calsey mengangkat kaki pergi dari aula. Sepatu beralas tajamnya meninggalkan suara nyaring seperti suara langkah kaki di film horror. Akhirnya aku memiliki kesempatan untuk melihat brosur itu dengan leluasa.
Biar kubaca dalam hati. Jika aku membacanya dengan kencang seperti yang disarankan Elliot, itu akan lebih terlihat seperti mengucapkan mantra di sebuah ritual pengusiran setan.
Queen of December
Terbuka untuk seluruh siswi Beverly!
Segera daftarkan dirimu!
Be Empress and Impress!
Brosur ini cukup besar dan memuat cukup banyak informasi, namun aku terlalu malas untuk membaca hal-hal yang tidak menyangkut diriku. Hanya tulisan-tulisan yang dibuat tebal dan besar. Lagipula, mau bagaimanapun aku tidak akan daftar meskipun aku mau, itu adalah sebuah perbuatan yang melanggar hukum.
Kurasa tak ada lagi yang harus kulakukan. Rumah adalah destinasiku selanjutnya.
love this story :)
Comment on chapter Beverly