Di sebuah pusat perbelanjaan, Bu Asri menghitung barang-barang di atas troli yang sudah ia pilih. "Snackkesukaan Shandy, keripik pedas kesukaan Stevi, rumput laut kesukaan Sherly, coklat kesukaan Maliq," eja Bu Asri.Dia takut anak-anaknya akan kekurangan makanan atau memasakmakanan sendiri karena mereka masih lapar saat dia makan malambersama Pak Fauzi.Kekhawatiran seorang ibu tentang hal-hal kecil pada anak-anaknya sudah dimulai sejak saat janin masih di kandungan. Ketika wajah mungil itu hadir ke dunia, bahkan sampai mereka tumbuh lebih tinggi darinya, rasa khawatir seorang ibuakan terus ada hingga akhir hayatnya.
Setelah membayar semua belanjaandi kasir, Bu Asri menelepon butik langganannya,"Hallo, Jeung Nita. Apa ada rancangan terbaru yang bisa saya lihat? Sayaakan segera ke sana!" Diamenuju parkiran dan meluncur ke butik langganannya.
Sesampainya di sana, dia disapa oleh pemilik butik -- Jeung Nita. "Bu Asri .... "
"Dimana koleksi terbarunya, Jeung?"
"Ayo sebelah sini Bu Asri!" ajak Jeung Nita.
Jeung Nita menunjukkan beberapa gaun panjang pilihannya dan memilih satu yang menurutnya sangat cocok dengan Bu Asri. "Saya yakin, Bu Asri pasti cantik memakaigaun ini."
"Hmm. Warnanya saya suka, tapi kerudungnya warna apa, ya?".
"Kerudungnya bisa warna apa aja, Bu. Sekarang lagi musim warna tabrak lari," jelas Jeung Nita.
"Benarkah? Baiklah, saya akan mencobanya terlebih dahulu, semoga bagus di badan saya."Bu Asri kemudian pergi ke kamar ganti dan mencobagaun tersebut. Berdiri ke samping kiri dan berganti ke kanan lalu tersenyum di depan cermin karena gaun tersebut terlihat bagus di badannya. Setelah merasa puas mencobanya, dia kemudian keluar dan menemui Jeung Nita kembali.
"BagaimanaBu Asri, suka?"
"Agak kebesaran sedikit. Apa bisa dibuat kupnatdi bagian belakang ini?"
"Tentu Bu Asri. Kami akan segera memperbaikinya," kata Jeung Nita. Kemudian dia menyuruh karyawannya untuk memperbaiki gauntersebut.
Bu Asri masih mondar-mandir melihat koleksi di butik itu, tak lama terdengar suara seseorang memanggilnya."Asri!" Bu Asri menoleh ke arah panggilan itu dan melihat seseorang yang dia kenal. "Hai, Pitha!" sahut Bu Asri. Bu Asri menyambut Bu Pitha dengan cipika-cipiki."Lama sekali kita tidak bertemu. Aku dengar kamu sekarang tinggal di luar negeri, ya?" tanya Bu Asri
"Kamu sih di rumah terus, sekali-sekali kumpul dong bareng kita," jawab Bu Pitha,"iya. Aku ikut suamiku yang kerja di London dan dua hari yang lalu aku pulang ke Medan"
Bu Asri memang sudah jarang berkumpul bersama teman SMA, dia lebih sering berkumpul bersama ibu-ibukomplekdan ibu-ibu murid. "Apa aku kelihatan seperti ibu-ibu rumahan, ya?" tanya Bu Asri bercanda,"kamuke mari sendiri?"
"Aku bareng Sonia!" jawab Bu Pitha dan kemudian dia memanggil Bu Sonia, "Sonia, sini dong! Ada Asri di sini!" panggil Bu Pitha,"kau tidak ingin bertemu dengannya?" tanyanya sambil sedikit berteriak.
Di samping mereka, Bu Sonia sibuk melihat-lihat koleksi baju di butik tersebut sambil menguping pembicaraan Bu Pitha dan Bu Asri. Antara enggan menyapa, tapi masih ingin tahu apa yang mereka bicarakan hingga akhirnya dia begitu senang karena namanya dipanggil oleh Bu Pitha untuk ikut bergabung.
"Hai,Sonia!" sapa Bu Asri.
Bu Sonia dengan santai berjalan ke arah mereka berdua. "Hai, Asri!" sapanya."Kami sudah sering jumpa kok, Pith.Kau saja yang kebanyakan tinggal di luar negeri," kata Bu Sonia ke Bu Pitha.
"Kebetulan sekali, jadi kalian bisa lebih ak-rab," kata Bu Pitha sambil terbata-bata.
Bu Asri tersenyum simpul."Kami tidak bermusuhan kok, Pitha. Kamu kebanyakan mikir tentang kami deh."
"Uppss. Maaf kalau begitu," ujar Bu Pitha sambil menutup mulut untuk menahan tawa."Hmm, kalian memang sangat dekat, ya."
"Apa maksudmu, Pith?" tanya Bu Sonia heran.
"Iya. Kalung kalian saja mirip berinisialkan huruf 'A'.Hanya saja kalungkamu terbuat dari perak sedangkan kalung Asri dari emas, sungguh kebetulan sekali," jawab Bu Pitha.
Bu Asri melihat ke arah kalungnya, kalung yang diberikan oleh suaminya.Kenapa Sonia juga memilikinya?
Bu Sonia juga heran, kalungnya sangatmirip dengan kalung Bu Asri. Kalung yang diberikan saatdia dilamar oleh suaminya. Begitu sama, hanya berbeda warna saja.
"Mungkin kebetulan aja," kata Bu Sonia menyanggah.
Bu Pitha hanya menganggukkan kepalanya, mengiyakan pernyataan Bu Sonia.
Tak lama Jeung Nita kembali membawa gaun pilihan Bu Asri yang sudah selesai diperbaiki. "Bu Asri, kami sudah memperbaikinya. Apa Anda menyukainya?" tanya Jeung Nita di tengah kumpulan ibu-ibu tersebut.
Bu Asri membentangkan gaun itu dan melihat secara seksama."Aku menyukainya. Mari kita selesaikan pembayarannya!" jawab Bu Asri. Setelah selesai membayar gaun tersebut, Bu Asri pamit keBu Sonia dan Bu Pitha. "Aku duluan, ya, Ibu-ibu. Masih ada keperluan di rumah."
"Cepat sekali Asri. Bagaimana kalau kita ngopi-ngopi cantik dulu?" ajak Bu Pitha.
"Maaf, aku sungguh ingin cepat pulang karena masih harus menjemput anakku. Kebetulanaku juga ada acara malam ini. Lain kali aku akan menghubungimu di waktu yang tepat," jelas Bu Asri.
"Baiklah. Hati-hati di jalan!" seru Bu Pitha.
"Iya, kamu juga!" sahut Bu Asri, "aku duluan, ya, Sonia!"
Bu Sonia hanya tersenyum.
***
Setelah menjemput Maliq di sekolah dan melihat usaha catering-nya, Bu Asri mulai memasak di rumah dan menyiapkan makananuntuk anak-anaknya malam ini. "Ah, semua sudah selesai," katanya sambil mendesah panjang. "Bi, tolong atur inidi meja makan, ya. Saya mau siap-siap untuk nanti malam," katanya pada seorang pembantu.
"Baik, Nyonya!" sahut Bi Iyem.
Saat berjalan menuju kamar, seorang pembantu baru memanggilnya, "Nyonya! Ada Bu Rahmah ingin bertemu, saya menyuruhnya menunggu di luar."
"Kenapa kamu menyuruhnya menunggu di luar?" tanya Bu Asri. Pembantu itu hanya memasang wajah heran. Bu Asrilupa jika pembantu ini baru seminggu bekerja di rumahnya. "Lainkali jika Bu Rahmah datang, jangan suruh dia menunggu di luar! Biarkan saja dia masuk!"
Pembantu itu menunduk lalu berkata, "Maafkan saya, Nyonya!"
"Ya sudah!Kamu bantu Bi Iyem di belakang!" perintahnya.
Bu Asri lalu bergegas ke teras untuk menyapa Bu Rahmah yang sudah menunggu. Dia melihat Bu Rahmah sedang duduk bersama Rina, anaknya."Rahmah ...Rina .... " sapanya,"maaf membiarkan kalian di luar. Itu tadi Uli, pembantu baru, jadi belum mengenal kalian."
"Iya enggak apa, Mbak," jawab Bu Rahmah, "kami dari kampung kemarin, jadi kami membawa sedikit oleh-oleh dari sana."
"Aduh repot-repot.Makasih, ya."
"Enggak apa, Tante," jawab Rina,"ini juga cuma sedikit."
Bu Asri tersenyum."Ayo masuk!" dia membantu membawa oleh-oleh dari Bu Rahmah dan Rina ke dalam rumahnya.
"Maliqnya di mana, Mbak?"
"Mungkin sedang di kamar. Aku panggil dulu, ya!" kata Bu Asri. Tak lama suaranya melengking memanggil Maliq. "Maliq. Ke mari Sayang! Ada Bu Rahmah di bawah!"
Maliq keluar dari kamar setelah mendengar jeritan mamanya. "Iya, Ma! Tunggu sebentar!" teriaknya. Dia pun melangkah menuruni anak tangga dan sesampainya di ruang keluarga, dia melihat Bu Rahmah dan Rina. "Hai, Bu Rahmah! Hai, Kak Rina!" sapanya.
"Hai, Sayang! Apa yang sedang kau lakukan di kamar?" tanya Bu Rahmah.
"Hanya tidur-tiduran sambilbermain ponsel," jawabnya sambil menunjukkan ponsel.
Bu Rahmah melihat ponsel yang sedang dipegang Maliq, terlihat sangat bagus, dan mengiraharganya yang sangat mahal. "Wah, ponsel yang bagus untuk anak seumuranmu," kata Bu Rahmah.
"Ini awalnya punya Shandy, dia memintanya saat Shandy mendapatkan ponsel baru," ujar Bu Asri ke Bu Rahmah.
Maliq duduk di sebelah mamanya dan bertanya, "BuRahmah dari mana sih? Pagi ini Maliqtidak melihat Bu Rahmahdi depan warung."
Bu Rahmah tersenyum lalu menjawab, "Bu Rahmahdari kampung Pak Joni bersamayang lainnya kemarin siang. Ada sebuah acara yang harus kami hadiri."
Maliq hanya mengangguk mendengar penjelasan Bu Rahmah.
"Anak-anak yang lain ke mana, Mbak?"
"Masih di luar karena ada beberapa ekskul dan Shandy sedang ada di rumah temannya mengerjakan tugas kelompok."
Satu jam duduk dan tertawa bersama, waktu seakan berputar sangat cepat.Bu Rahmah dan Rina pamit pulang, "Kalau begitu, kami pulang, ya, Mbak. Akumau menyiapkan makan malam untuk keluarga."
Bu Asri mengiyakan dan mengantar mereka sampai ke teras."Terima kasih sekali lagi atas oleh-olehnya, Rahmah."
"Iya, Mbak," kata Bu Rahmah sambil tersenyum tulus."Bu Rahmahdan Kak Rina pamit pulang, ya, Maliq. Rajin-rajin belajarnya!"
Setelah motor Bu Rahmah dan Rina keluar pagar, Bu Asri melihat arlojinya yang sudah menunjukkan pukul limasore. Sebaiknya aku segera bersiap-siap untuk makan malam itu. "Mama ke kamar, ya, Sayang. Siap-siap sebelum papamu pulang."
"Iya, Ma.Maliq menonton televisi saja di bawah, sambil menunggu papa pulang."
Saat ingin melepasbajunya di kamar, Bu Asritersadarada sesuatu yang hilang. Dia meraba-raba bagian lehernya dan mulai menyadaribahwakalungnya hilang. Warna wajahnya berubah putih. Dia lalu melihat ke lantai kamar dan berjalan kembali seperti saat dia menuju ke kamar, memutar kembali ingatannya hari ini untuk mengira di mana posisi kalung itu terjatuh. Dia tetap tidak menemukannya di sekitar kamar, lalu dia menuju ruang keluarga.
Di ruang keluarga, Maliq sedang asyik menonton televisi dan memakan beberapa cemilan.Dia melihat mamanya yang sedang kebingungan mencari sesuatu. "Apa yang sedang Mama cari?"
"Mama sedang mencari kalung pemberian papamu, Maliq. Bantu Mama mencarinya!"
Maliq segera membantu mamanya.Dia mencoba mencari di teras dan di ruang keluarga, tapi dia tetap tidak menemukannya. "Di mana terakhir kali Mama masih memakainya?"
"Seingat Mama, saat tiba dirumah,Mama masih memakainya. Tapi bagaimana jika kalung itu benaran hilang?" kata Bu Asri cemas.
Maliq sangat mengerti perasaan mamanya saat ini, dia sudah mendengar kisah di balik kalung kesayangan mamanya itu. "Mama mendingan siap-siap sebelum papa pulang. Nanti Maliq akan bantu mencarikannya," kata Maliq menenangkan Mamanya.
Bu Asri menarik napas.Waktunya memang sangat tidak pas untuk mencari kalung itu saat ini. Aku harus segera bersiap-siap untuk makan malam itu."Maliq, tolong jangan beri tahu papamu dulu, ya!Nanti Mama akan lanjut mencarinya."
"Iya, Ma!" ucapMaliq.
Bu Asri segera kembali ke kamarnya dan bersiap-siap untuk acara makan malam itu.
Pak Fauzi pulang darikantor danmembawa sebuah hadiah berupa baju Superman dengan jubah di belakangnya. Baju ini untuk Maliq, agar dia tidak begitu sedih saat ditinggal makan malam. Sesampainya di rumah, dia melihat Maliq sedang sibuk mencari sesuatu di dekat sofa ruang keluarga. "Maliq! Apa yang sedang kamu cari?"
Maliq terkejut."Mencari pensil, Pa," jawabnya singkat. Dia melihat bungkusan di tangan papanya lalu bertanya,"Apayang Papa bawa? Apakah itu untukku?" tanya Maliq antusias.
"Papa membawakan baju Superman untukmu. Bukalah!"
Maliq membuka bungkusan itu. "Wow, ini bagus sekali, Pa. Bisakah aku langsung memakainya setelah mandi?"
"Tentu saja bisa. Apa kamu senang?"
Maliq mengangguk. "Kalau begitu, Maliq mau mandi dan segera memakai baju ini," ujarnya dan langsungberlari menuju kamarnya.
Pak Fauzi tertawa melihat Maliq yang begitu senang."Hati-hati, Maliq!" teriaknya. Dia lalu masuk kekamardan melihat istrinya yang sedang berdandan. "Jangan terlalu cantik, ini hanya makan malam biasa," kata Pak Fauzi mengejek.
"Mas selalu berkata seperti itu setiap aku akan menghadiri sebuah acara," kata Bu Asri sewot.
Pak Fauzi tertawa."Mas hanya takut mendengarorang lain berkata kamu cantik,apalagi jika itu seorang pria."
Bu Asri tersenyum malu. "Harusnya Mas bahagiapunya istri cantik," kata Bu Asri menggoda.Wanita selalu ingin tampil menarik di depan semua orangsaat bersama suaminya. Tujuannya untuk memberi kesan bahwa dia sangat bahagiahidup dengan pria pilihannya.
"Aku sudah sangat bahagia sejak pertama kali cintaku kamu terima," kata Pak Fauzi menggoda.
Bu Asri tersenyum malu lagi. "Sudah, ah. Buruan mandi! Baju Mas sudah aku siapkan!"
Pak Fauzi mengikuti perintah istrinya dan langsung melangkahke kamar mandi.Setelah selesai mandi, dia menggunakan baju dan jas pilihan istrinya. Dia telah melakukan semuanya namun Bu Asri masih belum selesai berdandan. "Aku lebih baik menunggu di luar!" ucapnya.
Bu Asri memang sengajaberlama-lama karena dia takut ditanya tentang kalungitu. Biasanya dia selalu memakai kalung itu di acara apa pun."Sebentar lagi aku selesai, Mas!" sahutnya.
Di lantai bawah, Pak Fauzi melihat anak-anaknya sedang berkumpul.Maliq menjadi sasaran mainan ketiga saudaranya. Menggunakan baju Superman dan melakukan beberapa adegan Superman yang membuat gelak tawa mereka.
"Superman, apa kamu sedang dalam bahaya?" tanya Pak Fauzi saat melihat Maliq didekap kuat oleh Shandy, hingga Maliqtidak bisa melepaskan diri.
"Musuhnya terlalu kuat, Kapten. Tolong!!" jeritMaliq sambil berusaha melepas dekapan Shandy.
Shandy melepaskan dekapannya. "Ah enggak asyik, masa Superman minta tolong," kata Shandy tertawa yang diikuti oleh Stevi dan Sherly.
"Biarian!" kata Maliq sambil mengejek.
Merekamelihat Pak Fauzi yang sudah bergaya parlente dengan setelan jasnya."Papa sudah mau pergi?" tanya Sherly.
"Iya. Kalian jangan bertengkar di rumah, ya!" perintah Pak Fauzi.
Mereka semua terpelongo sesaat setelah melihat Bu Asri menuruni tangga. Menggunakan gaun panjang berwarna biru dongker dengan kerudung bermotif bercak hijau muda dan biru. Ditambah belt yang berkilauan untuk menunjukkan badannyayang masih langsing serta menggunakan high heelsdan tas bermerek berwarna silver.
"Kamu cantik sekali malam ini," kata Pak Fauzi.
Bu Asri tersenyum dan memperlihatkan susunan gigi putihnya."Enggak usah bohong deh!" ujar Bu Asri.
"Papa bener, Ma.Mama sangat cantik malam ini," sahut Stevi,"Mama memang idolaku."
"Terima kasih, Sayang!" ucap Bu Asri ke Stevi,"Mama dan Papa pergi dulu! Kalian makan malam bersama, jika terjadi sesuatu hubungi Mama atau Papa. Dengar itu, Shandy?!" perintah Bu Asri.
Shandy tersenyum."Iya, Ma! Mama bersenang-senanglah bersama Papa malam ini. Kami akan baik-baik saja."
"Superman jaga markas kita agar tetap aman! Ok!" kata Pak Fauzi ke Maliq sambil mengacungkan jempol.
"Siap, Kapten!" seru Maliq sambil memberi hormat.
Pak Fauzi tertawa, begitu juga Bu Asri. "Mama pergi, ya, sayang! Besok pagi kita sarapan bersama," kata Bu Asri sambil mengelus kepala Maliq.
Mereka berdua kemudianpergimenggunakan mobil menuju tempat makan malam yang sudah dipesan sebelumnya.
keren, cerita dan diksinya
Comment on chapter Prolog