Loading...
Logo TinLit
Read Story - Meja Makan dan Piring Kaca
MENU
About Us  

     Siang sebelumnya di sekolah Shandy, lonceng sekolah berdering dengan merdunya. Suara yang paling ditunggu oleh para murid. Sorakan menggema di setiap kelas dan berlanjut dengan pukulan-pukulan meja yang membuat euforia jam pulang sekolah terasa sangat membahagiakan.

     Sisca melihat Raisa yang masih termenung di kursinya. "Kamu baik-baik saja, Raisa?" tanyanya.

     Raisa menoleh lesu ke arah Sisca dan berkata, "I'm okay!" sambil memasang senyum terpaksa.

     Sisca membalas senyum itu. "Masalah harus dihadapi, jangan takut salah jika kamu merasa itu baik untukmu," kata Sisca menenangkan.

     Raisa hanya mengangguk.

     "Apa kamu akan bertemu dengan Haikal setelah ini?"

     "Ya. Aku akan mencoba menceritakan masalah ini ke Haikal dan mencari solusi terbaik."

     "Apa kamu mau aku temani?" usul Sisca karena cemas melihat sahabatnya itu.

     "Tidak. Aku akan mencobanya sendiri," jawab Raisa, "terima kasih, ya, Sis!"

     "Baiklah. Jika kamu membutuhkanku, kamu bisa menghubungiku," kata Sisca. "Aku duluan, ya!" sambungnya.

     Raisa melihat lambaian tangan Sisca dan dia menghilang di balik pintu kelas. Sisca adalah sahabat yang paling mengerti aku saat ini. Raisa merapikan buku-buku yang berserakan di laci ke dalam tasnya tanpa tersisa satu pun. Saat ingin beranjak dari kursi, dia melihat Shandy berdiri di depannya. "Ada apa?" tanyanya bingung.

     "Apa kamu baik-baik saja? Aku memperhatikanmu dari tadi. Kamu terlihat sangat suram," kata Shandy.

     Raisa sangat kesal saat Shandy mengatakan kata 'suram'. "Maksud kau, aku menyedihkan?" ketusnya.

     Shandy tertawa.

     "Apa yang kau tertawakan?" tanya Raisa heran.

      Shandy memasang senyum manis. "Aku lebih suka melihat kamu marah daripada harus melihat kamu sedih."

      Raisa semakin kesal, dia harus bertemu dengan orang tidak tahu malu seperti Shandy. "Kau benar-benar gila!" kata Raisa kasar.

     "Aku memang sudah gila, gila karena aku terlalu mencintaimu!" kata-kata itu langsung meluncur dari bibir Shandy, tanpa direncanakan sebelumnya. Setelah mengatakan itu, Shandy sedikit bingung. Mungkinkah ini yang disebut kejujuran.

     Raisa hanya diam membisu, tidak tahu harus mengatakan apa ke Shandy. Kulit-kulit ditubuhnya terasa gatal seketika, dia mencoba menggaruk lengannya tapi tidak ada yang gatal sama sekali. "Kenapa aku jadi salah tingkah begini?" gumamnya dalam hati. "Aku duluan!" hanya itu yang bisa Raisa katakan. Dia lalu meninggalkan Shandy yang masih terpaku di depan mejanya.

     Shandy mematung di depan meja Raisa, berharap kata-kata yang barusan dia ucapkan bisa ditariknya kembali. Bukan menyesal karena telah mengatakannya, tapi ini terlalu pahit untuk diterima kenyataan. "Inikah rasanya jika cintamu ditolak?" ucapnya dalam lamunan.

     "Shan! Kau jadi ikut ke rumahku untuk mengerjakan tugas kelompok Biologi?"

     Shandy tersadar dari lamunannya. "Tentu!" jawab Shandy singkat.

     "Terus?! Kenapa kau masih berdiri di depan meja Raisa? Ayo buruan! Jerry dan yang lain sudah menunggu di parkiran," seru Nando.

     Shandy mengikuti Nando dari belakang menuju parkiran dan pergi ke rumah Nando dengan kendaraan masing-masing. Sesampainya di rumah Nando, mereka mulai mendiskusikan tugas kelompok Biologi di ruang keluarganya. Nando melihat Shandy yang masih termenung walaupun sedang berada dalam kelompok belajar. "Oii, Shandy!" teriaknya.

     Shandy menoleh bingung. "Ada apa?"

     Nando melengos. "Kau mikirin apa sih? Fokus dong, biar tugasnya cepat kelar!"

     Pikiran Shandy masih belum kembali dari dalam kelas di depan wajah Raisa, sehingga dia sangat tidak fokus dalam diskusi ini. "Aku butuh cuci muka, mungkin aku mengantuk. Aku pinjam kamar mandimu!" ucapnya.

     "Kau masih ingat jalan ke sana? Aku tidak berniat menemanimu!" kata Nando.

      Shandy hanya tertawa ke Nando dan langsung menuju kamar mandi. Dia membasuh wajahnya dan mengelapnya dengan saputangan yang selalu dia bawa di saku celana. Merasa lebih tenang, dia meninggalkan kamar mandi untuk kembali ke teman-temannya. Tak selang beberapa langkah, dia menabrak seorang gadis yang membawa gelas plastik berisi minuman di atas sebuah nampan kayu. Gelas itu berjatuhan dan menumpahkan segala isinya. Shandy lalu membantu gadis itu dan meminta maaf. "Maafkan aku! Aku tidak sengaja menabrakmu," kata Shandy, "apa kau baik-baik saja?"

     Gadis itu tersenyum, laki-laki dihadapannya sungguh sangat menarik. Semua kriterianya masuk dalam diri laki-laki ini; tampan, tinggi, putih dan dagunya terbelah. Dia langsung terhipnotis melihat ciptaan Tuhan di depan matanya kali ini tanpa bisa berkata-kata.

     "Hei. Kamu baik-baik saja?" tanya Shandy kembali.

     Gadis itu mencoba menenangkan dirinya. "Aku baik-baik saja, Bang. Ini hanya air es, jadi tidak ada masalah."

     Nando mendengar kegaduhan di rumahnya, dia lalu bergegas untuk melihat situasi itu. Saat sampai di dapur, dia melihat gelas berjatuhan dan isinya yang tumpah ke lantai. "Apa yang telah kau lakukan, Shan?"

     Shandy terkejut melihat kedatangan Nando. "Aku menabrak .... "

     Gadis itu memotong perkataan Shandy untuk menjawab pertanyaan Nando, "Tidak ada masalah besar, Bang Nando. Aku hanya menjatuhkan beberapa gelas air untuk minum Abang dan teman yang lain. Aku akan membuatnya kembali!"

     "Baiklah. Maafkan teman Abang, dia sedang kacau hari ini," kata Nando ke gadis itu, "oh, ya, Shan. Kenalin, sepupuku."

     Shandy mengulurkan tangannya. "Shandy!"

     Gadis itu juga mengulurkan tangannya sambil tersenyum manja. "Kartika!"

 

***

 

     Di penghujung senja, Raisa dan Haikal duduk di meja makan dengan sentuhan setangkai mawar merah dalam vas di sebuah cafe yang baru saja buka seminggu ini. Raisa yang masih memakai seragam sekolahnya dan sweater merah, sedangkan Haikal menggunakan kaos dan celana jeans yang terdapat beberapa sobekan di kanan dan kirinya.

     Seorang pelayan memberikan mereka daftar menu di cafe tersebut dan menunggu pesanan yang ingin mereka pesan.

     Haikal membuka dan melihat gambar dari menu-menu tersebut, lalu mencocokkan harga dengan tampilan gambar. Dia menghela napas dan berkata, "Harga dan gambarnya tidak sesuai. Bagaimana bisa kamu memilih cafe ini sebagai tujuan makan kita?"

     Raisa merasa malu pada pelayan yang sedang menunggu mereka. "Sudah kamu pilih saja, nanti aku yang bayar tagihannya."

     Haikal merasa terhina dengan kata-kata Raisa. "Maksud kamu, aku tidak sanggup membayarnya?! Haa?!" suara Haikal meninggi. Dia lalu membanting menu makanan itu ke atas meja.

     Raisa mencoba bersabar lalu berkata, "Bukan begitu maksudku! Bisakah kamu sekali saja mengikuti keinginanku? Ini hanya sekedar makan di tempat yang aku ingin mencoba makanannya bersamamu."

     "Jadi maksud kamu, aku tidak pernah mewujudkan keinginanmu?!"

     Raisa kesal. "Kamu selalu saja terbawa perasaan jika ini mengenai uang."

     Emosi Haikal meninggi. "Dengar, ya, anak manja. Jika kamu masih mendapatkan uang dari orangtuamu, jangan berbicara masalah uang di depanku. Aku hanya mencoba mengubah hidupmu menjadi lebih mandiri."

     "Kamu tidak bisa menikmati hidup dengan baik! Selalu mengeluh dengan apa yang kamu terima," kata Raisa menahan emosinya.

     Haikal tambah kesal dengan perkataan Raisa. "Ah, sudahlah! Aku jadi tidak berselera makan!" Haikal bangkit lalu meninggalkan Raisa di cafe itu.

     Raisa meminta maaf pada pelayan cafe, lalu dia mengikuti Haikal menuju parkiran. Dia naik ke mobil dan duduk dengan memendam emosinya. "Jadi kita mau ke mana?" tanyanya.

     "Aku sudah tidak bersemangat jalan hari ini!" jawab Haikal. Dia mengemudikan mobil itu kembali ke kosnya.

      Raisa kembali mengikuti kemauan Haikal dan mencoba untuk tenang. Sesampainya di kos Haikal, Raisa mengikutinya hingga ke dalam kamar. Kamar kos yang berukuran 3x3 meter itu hanya berisi; buku, alat musik, dan beberapa peralatan elektronik.

     "Masuklah!" perintah Haikal.

     Raisa duduk di kursi belajar Haikal, memegang sebuah saksofon berwarna silver yang terletak di atas meja belajar. Dia sangat menyukai seorang pria yang pandai memainkan alat musik. Bagi Raisa, pria yang sedang memainkan alat musik, akan terlihat lebih sexy.

     Haikal melihat Raisa yang duduk termenung di depan meja belajarnya, dia lalu mengambil secangkir air dan sepotong roti. "Minum dan makanlah roti ini!" perintahnya.

     Raisa meminum dan memakan roti tersebut dengan lahap, perutnya sudah keroncongan sedari tadi.

     Haikal tertawa melihatnya. "Pelankan makanmu! Kamu bisa tersedak jika makan terlalu cepat."

     "Aku sungguh lapar dan ini semua karena kamu terlalu sensitif."

     Haikal tersenyum. "Maafkan aku. Aku tidak akan membuatmu dalam keadaan seperti ini lagi."

     Setelah menghabiskan rotinya dan meneguk air hingga tetes terakhir, Raisa menghela napas panjang dan menenangkan dirinya untuk memulai pembicaraan dengan Haikal. "Sayang, aku ingin berbicara serius denganmu. Aku ada masalah dengan keluargaku."

     Mendengar itu, Haikal berlutut di depan Raisa dan memasang wajah ingin tahu. "Apa itu?" tanya Haikal.

     Raisa menundukkan kepalanya kemudian melihat ke mata Haikal. "Keluargaku tidak ingin aku terus berhubungan denganmu."

     Haikal menggelengkan kepalanya dan tertawa kecil. "Ini masalah yang selalu kita hadapi selama enam bulan berpacaran. Aku tahu, keluargamu pasti tidak akan menyetujui aku mendekatimu karena status sosial kita. Tapi Sayang, kamu tidak mempermasalahkan ini, kan?"

     "Aku tidak mempermasalahkan ini Sayang, tapi keluargaku menginginkan kita putus. Jika tidak .... " Raisa menghentikan perkataannya. "Apakah ini baik dibicarakan dengan Haikal?" tanyanya dalam hati.

     "Jika tidak, apa?"

     Raisa menenangkan dirinya untuk mengumpulkan tenaga lalu mengatakan hal itu ke Haikal. "Jika tidak, aku tidak perlu menganggap mereka keluargaku lagi."

     Haikal berdiri, meletakkan kedua tangannya di pinggang dan menendang sebuah sepatu hingga membentur pintu. "Aku sudah tahu, mereka akan melakukan ancaman seperti itu denganmu."

     "Itu bukan ancaman Sayang. Itu hanya cara mereka mengatakan kalau mereka menyayangiku."

     "Bagaimana mereka menyayangimu? Bagaimana jika sekarang aku menyuruhmu untuk meninggalkan mereka karena aku sangat menyayangimu?! Apa kau menyetujuinya? Sudahlah Sayang, mereka hanyalah orangtua angkatmu."

     Raisa tidak terima dengan perkataan Haikal, dia lalu merespon dengan menampar Haikal. "Aku tidak pernah berpikir untuk meninggalkan mereka. Mereka adalah keluargaku, orangtuaku,"

     Haikal memegang pipi kirinya yang ditampar Raisa. "Jadi kau lebih memilih mereka daripada aku?" tanyanya ketus.

     Raisa terdiam. "Kenapa kau membuat masalah ini semakin sulit?" tanya Raisa. "Kau harusnya memikirkan solusi yang lebih baik daripada membiarkan aku meninggalkan keluargaku," sambungnya dengan emosi yang memuncak, "kau terlalu egois!"

     "Baiklah. Aku akan memberikan solusi yang lebih baik," Haikal menutup pintu dan menguncinya, entah setan apa yang merasukinya saat ini. Dia sangat kesal atas perlakuan Raisa dan keluarganya.

     Raisa merasa keadaannya terancam saat ini, walaupun orang di depannya adalah orang yang dia sayangi sebelumnya. Tapi sekarang dia menjadi ragu karena telah memilih orang ini. "Apa yang akan kau lakukan?"

     "Ini akan menjadi mudah, jika kau menjadi milikku seutuhnya!"

     "Jangan bertingkah bodoh. Aku akan berteriak!" seru Raisa.

     "Jika kau berteriak, aku akan bertindak lebih kasar padamu," kata Haikal sambil menunjuk-nunjuk ke depan wajah Raisa. "Ok! Aku akan memberi tantangan padamu!" Haikal lalu mengambil ponsel Raisa dan melemparnya ke Raisa. "Kamu bisa menghubungi orang-orang yang kamu anggap penting itu. Aku ingin tahu apa yang akan mereka lakukan, jika mendengar kamu mendapat masalah. Apa mereka akan peduli denganmu?"

    Raisa menerima tantangan Haikal, dia mencari alasan kemudian menelpon papanya, "Halo, Papa. Tolong jemput Raisa! Mobil Raisa mogok."

    "Maaf, Raisa! Papa sedang ada pertemuan dengan para pejabat. Kamu hubungi saja bengkel langganan kita."

    Raisa mencoba menelpon mamanya dengan tujuan yang sama. "Maaf, Raisa! Mama sedang kumpul bersama teman lama Mama, Bu Pitha. Kamu coba hubungi Ricky!" Warna wajah Raisa berubah putih.

     Haikal tertawa mengejek setelah melihat perubahan warna wajah Raisa. "Apa mereka tidak peduli denganmu?"

     Raisa kemudian menghubungi Ricky, namun Ricky sedang ada praktek di kampusnya. Dia mencoba menelpon Sisca, namun Sisca tidak mengangkat panggilannya. Kenapa mereka tidak mempedulikanku? Dia menepis pikiran buruk tentang keluarga dan sahabatnya. Mungkin saat ini, memang bukan waktu yang tepat, mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing.

     "Bagaimana? Apa kamu setuju untuk meninggalkan mereka?!" tanya Haikal. "Dengarkan aku Raisa sayang, hanya aku orang yang peduli denganmu!"

     Raisa mendesah. "Berhentilah bermain-main, Haikal!" ketusnya.

     "Aku sedang tidak bermain-main. Aku memberikan kamu pilihan dan kamu harus memilihnya sekarang!" perintahnya.

     Raisa tidak bisa mengikuti kemauan Haikal, dia lalu menelepon seseorang yang mungkin bisa membantunya saat ini.

      "Halo. Shandy .... "

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (29)
  • yurriansan

    keren, cerita dan diksinya

    Comment on chapter Prolog
  • lanacobalt

    @ReonA Terima kasih ????????

    Comment on chapter Prolog
  • ReonA

    Ceritanya keren kak, aku suka diksinya xD

    Comment on chapter Prolog
  • Nurull

    Nice. Happy ending.

    Comment on chapter Hadiah Terbaik
  • muhammadd

    Ceritanya renyah. Enak dibaca. Sarannya apa yah? Mungkin akan seru kalau dimasukin unsur daerah. Logat2nya gitu. Hehe

    Comment on chapter Prolog
  • lanacobalt

    iya nih, percakapan emang dibuat ala kids zaman now @Zzakyah nanti akan coba saya pertimbangkan sarannya. Terima kasih atas supportnya.

    Comment on chapter Prolog
  • Zzakyah

    Sebuah kisah yang inspiratif. Saya suka ide dan judul ceritanya. Menarik. Terus jaga konsistensi tokohnya. Karakternya sudah bagus. Alurnya lumayan. Meski ada beberapa adegan yang terlalu populer digunakan. Gaya bahasanya renyah. Cuma agak sedikit lebay di beberapa dialog tagnya. Sarannya, lebih baik gunakan bahasa indonesia yang baik. Bukan ala kids zaman now. Biar masuk sama pemilihan diksinya.

    Comment on chapter Prolog
  • lanacobalt

    Baik emak @PancaHerna akan saya perbaiki bagian yang klise.

    Comment on chapter Prolog
  • PancaHerna

    Sebernya si Uji lbih tau soal teknis. Jadi soal teknis nnti ty lngsung saja ke orangnya. Mnurut saya sebagai emak2 awam, ceritanya cukup inspiratif. Gaya bahasanya, tematiknya ringan. Cocok untuk semua pmbca. Tetapi ada beberapa sekenrio yang menurut emak, perlu di perbaiki. Dan ... hati2 dengan jebakan klise. Alih2 kamu ingin detail, kamu mnjelaskan tokohmu dari a sampai z. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Untuk ekspresi gerak, cukup seperlunya saja. Itu saja sih saran dari emak.

    Comment on chapter Prolog
  • lanacobalt

    @Zeee hahaha setelah baca chapter berikutnya akan kelihatan kekurangannya. Itu 'kan kelihatan dari fisik aja. :D

    Comment on chapter Kartu Keluarga
Similar Tags
From You
371      256     4     
Romance
Hanna George, hanyalah seorang wanita biasa berumur 25 tahun yang amat cantik. Ia bekerja sebagai HRD di suatu perusahaan. Hanna sudah menikah namun di saat yang bersamaan ia akan bercerai. Di tengah hiruk pikuknya perceraian yang berakhir dengan damai—mungkin, Hanna menyempatkan diri untuk pergi ke sebuah bar yang cukup terkenal. Di sanalah Hanna berada. Dalam ruang lingkup dunia malam, ber...
Surat Terakhir untuk Kapten
585      419     2     
Short Story
Kapten...sebelum tanganku berhenti menulis, sebelum mataku berhenti membayangkan ekspresi wajahmu yang datar dan sebelum napasku berhenti, ada hal yang ingin kusampaikan padamu. Kuharap semua pesanku bisa tersampaikan padamu.
Seperti Cinta Zulaikha
1805      1173     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.
Invisible Girl
1113      580     1     
Fan Fiction
Cerita ini terbagi menjadi 3 part yang saling berkaitan. Selamat Membaca :)
Cinta dan Benci
4572      1386     2     
Romance
Benci dan cinta itu beda tipis. Bencilah sekedarnya dan cintailah seperlunya. Karena kita tidak akan pernah tau kapan benci itu jadi cinta atau sebaliknya kapan cinta itu jadi benci. "Bagaimana ini bisa terjadi padaku, apakah ini hanya mimpi? Apakah aku harus kabur? Atau aku pura-pura sakit? Semuanya terasa tidak masuk akal"
Mawar pun Akan Layu
946      507     2     
Romance
Semua yang tumbuh, pasti akan gugur. Semua yang hidup pasti akan mati. Apa cintamu untukku pun begitu?
Perihal Waktu
404      281     4     
Short Story
"Semesta tidak pernah salah mengatur sebuah pertemuan antara Kau dan Aku"
The Journey Of F
2094      1041     1     
Romance
beberapa journey, itu pasti ada yang menyenangkan dan ada yang menyedihkan, bagaimana kalau journey ini memiliki banyak kesan di dalamnya. pastilah journey seseorang berbeda beda. dia adalah orang yang begitu kecil lugu dan pecundang yang ingin menaklukan dunia dengan caranya. yaitu Berkarya
Crashing Dreams
241      205     1     
Short Story
Terdengar suara ranting patah di dekat mereka. Seseorang muncul dari balik pohon besar di seberang mereka. Sosok itu mengenakan kimono dan menyembunyikan wajahnya dengan topeng kitsune. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan tantou dari balik jubahnya. Tanpa pasangan itu sadari, sosok itu berlari kearah mereka dengan cepat. Dengan berani, laki-laki itu melindungi gadinya dibelakangnya. Namun sosok itu...
Rembulan
1046      586     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...