Aku sekarang berada di kamar Ayu, mengerjakan tugas yang akan dikumpulkan besok. Di sini juga ada bunda. Kata bunda pamali kalo anak perempuan sama laki-lain di kamar, dan aku mengerti apa maksud bunda itu.
“Bunda, bunda, tau gak? Tadi Farhan menghormati bendera sama pak Bambang, ”Celoteh Ayu yang tiada hentinya sejak tadi.
Aku menghela napasku saat celotehan Ayu kembali menyindir kelakuanku hari ini di sekolah. Dari pada melihat mata melotot Anda lebih baik dari mereka yang memusingkan ini.
"Kok bisa?" Tanya bunda penasaran, dan aku merasa jika dia tengah menatapku. Aku termasuk aksi pura-pura fokusku.
“Soalnya pas kelas pak Bambang, Farhan ketahuan ngobrol sama Indra. Udah tau pak Bambang nyeremin, eh farhan malah ngobrol. Jadi deh Farhan alas hormat bendera, kan biasanya Ayu. ”
“Farhan baru sekali dihukum sama pak Bambang, yang sering dihukum kan Ayu,” Belaku.
“Ayu dihukumkan gara-gara Farhan juga, gak bangunin Ayu.”
“Abis Ayu kalo udah tidur susah dibangunin.”
“Udah, lain kali kalau guru nerangin fokus. Mau gurunya galak atau enggak kalian harus merhatiin guru yang menerangkan di depan. Sekarang lanjut ngerjain tugasnya.”
“Iya, bunda,” Cicit Ayu.
Bunda tersenyum dan mengusap kepala Ayu sayang. Sepertinya bunda senang karena Ayu kembali ceria. Aku juga tidak menyangka bisa secepat ini Ayu bisa berubah.
~
Hari ini jam pelajaran pertama kami adalah olahraga, jadi kini kami tengah berkumpul dipinggiran lapang yang masih menyisakan jejak-jejak bekas hujan kemarin sore. Beberapa di antara kami ada yang memilih menjemur dirinya di bawah sinar matahari pagi, termasuk Ayu. Katanya, tubuhnya sedikit sakit-sakit.
Priittt…
Suara peruit panjang menginstruksi kami untuk segera berbaris rapih. Setelah berbarisan rapih pak Haryono selaku guru olahraga kami menyapa kami dengan suara lantang khas panglima perang.
“Baik, semuanya. Pagi ini kita akan melanjutkan materi kemarin mengenai permainan bola voli. Jika pada pertemuan kemarin kita mempelajari cara servis yang baik dan benar, maka pada kesempatan kali ini kalian akan belajar bagaimana caranya melakukan passing. Dan sebelumnya bapak ingin kalian membentuk empat kelompok sama rata, putra dan putri dipisah. Cepat.”
Kami langsung membentuk empat kelompok sesuai instruksi dari pak Hanyono. Selesai membuat kelompok kegiatan belajar mengajar dimulai. Pak Hanyono memberikan contoh teknik passing yang baik dan benar.
Saat tengah menunggu giliran mencoba melakukan passing aku menatap Ayu yang tengah menatap ke arah lapangan basket. Di sana ada Aldi, yang selalu menjadi pusat perhatian Ayu. Aku terkadang iri dengannya yang tidak melakukan apapun tetapi mampu mengalihkan perhatian Ayu dalam sekejap.
“Woy! Giliran lo tuh!” Aku mengerjap beberapa kali saat Marta memukul pundakku. Aku menatap ke arah pak Hanyono yang tengah bersidekap dada.
Kuambil bola voli yang sudah berada di dekat kakiku. Kulakukan passing sesuai dengan apa yang tadi diajarkan oleh pak Hanyono. “Farhan, Anda tidak memperhatikan apa yang saya contohkan tadi?”
~
Aku terduduk lesu di samping Rano. Kuusap keringat yang mengucur di pelipis kiriku. “Gimana rasanya dihukum pak Hanyono, Han? Beda rasanya sama hukuman pak Bambang?” Tanya Rano yang diakhiri dengan kekehan.
“Sialan lo,” Ujarku seraya menepuk pelan bahunya. “Gue berasa dilatih buat jadi tentara aja.”
“Haha, abisnya lo sendiri yang gak fokus,” Rano menyeruput minuman yang dipegangnya. “Diliat-liat, lo tuh keseringan merhatiin si Ayu tau, gak?”
“Gu-“
“Gue cuman khawatir dia kenapa-napa,” Potong Rano. “Denger ya, khawatir lo tuh udah melebihi batas. Gue ngerti lo di suruh buat jagain si Ayu. Tapi lama-lama lo jadi berlebihan.”
Saat aku hendak menyela, Rano kembali bersuara. “Contohnya ni ya, yang gue liat. Pas tadi si Ayu merhatiin,” Rano melirik sekitar. “Kak Aldi,” Ucapnya sedikit berbisik. “Lo kayak cemburu gitu tau gak sampe gagal fokus.”
“Heeh, bener tuh,” Sambung Gaga yang baru saja kembali dari antrian. Ia memberikan sekantung minuman kepadaku.
“Lama amat,” Ujarku kesal dan langsung meminumnya.
“Lo suka sama Ayu?” Bisik Rano tepat di teligaku sukses membuatku tersedak minuman.
“Uhuk-huk.”
Plak!
Gaga memukul pundakku dengan kerasnya. “Sialan lo berdua,” Ucapku dengan suara yang masih tersendat.
Gaga dan Rano tertawa melihatku. Aku mengelus pundakku untuk mengurangi rasa perih akibat pukulan dari Gaga, belum lagi tenggorokanku yang terasa perih.
“Eh, tapi seriusan deh. Lo suka sama Ayu,” Ulang Rano.
“Suka dalam artian lebih dari hubungan adik-kakak atau sahabat atau temen kecil,” Tambah Gaga.
Aku mengangkat salah satu halisku. “Man ague tahu,” Jawabku sambil menggedikkan bahu.
“Butuh pembuktian?” Tanya Rano yang terdengar seperti tantangan di telingaku. “Ga,”
“Siap, No,” Gaga mengangkat ponselnya.
“Mau ngapain lo?”
Gaga mendekatkan ponselnya ke arahku. Di sana tertera nama Indra yang tengah coba ditelepon.
‘Halo, Ga?’
“Halo, Dra. Lo bisa gak bawa si Ayu ke sini?” Tanya Gaga yang membuatku semakin bingung.
‘Oh, ke kantin?’
“Yoi.”
‘Oke.’
“Eits, tunggu dulu Dra,” Sahut Rano.
‘Apa?’
“Lo bawanya sambil gandengan tangan, ya?”
“Hah?!” Seruku saat mendengar ucapan Rano. Aku segera meraih ponsel Gaga. “Dra, gak usah bawa Ayu ke sini. Diam aja lu di situ awas aja sampe bawa Ayu ke sini, apalagi sambil gandengan.”
Tut-
Aku memutuskan sambungan telepon dengan Indra. Dan mengembalikan ponsel tersebut pada Gaga.
“Ciee..ciee..” Ucap Rano dan Gaga bersamaan.
“Terbukti.”
“Jika,” Sambung Gaga.
“Farhan,” Sambung Rano kembali.
“Menyukai Ayu,” Setelahnya mereka tertawa puas.
Aku menyugar rambutku ke belakang. “Heh, lo berdua denger ya. Si Indra tuh playboy mana udah punya pacar lagi. Dan tadi lo berdua..ckckck...nyuruh dia buat bawa Ayu sambil gandengan, mau perang bikin perang dunia?”
“Kalem dong bosku,” Sahut Gaga sambil menepuk pelan bahuku.
“Udahlah apa susahnya lo ngaku sama perasaan lo sendiri?” Tanya Rano.
Aku tidak menjawab dan kembali menyeruput minumanku. “Malahan ya, menurut gue si Ayu juga bakalan seneng tahu lo suka sama dia, iya gak No?”
“Yo,” Setuju Rano.
Aku berhenti menyeruput minumanku. Menatap lurus ke depan, ke arah pintu masuk kantin. Di sana ada Ayu, Rina, dan Esti mereka baru saja memasuki kantin. Ayu tengah tertawa bersama dengan mereka. perlahan aku mengulang penyataan sepihak yang dibuat oleh Rano, jika aku menyukai Ayu melebihi kapasitas yang sudah ditentukan. Tentu saja aku mersa ragu akan hal itu. Karena selama ini yang aku lakukan rasanya sudah sesuai dengan apa yang harus aku lakukan.
Ayu, hingga besar kuasanya untuk membuatku melebihi batas yang dingin. Perlahan aku memejamkan mataku sesaat. Memfokuskan pendengaranku pada detak jantungku.
Deg ... deg ... deg
Aku membuka kembali mataku. Detak jantungku normal, itu tidak berarti mereka salah.
Oleh Luthfital