Aku berlari mengejar Ayu yang kini berada di depanku. Sebenarnya mudah saja untuk menangkapnya, karena langkahku jauh lebih lebar dibandingnya. Tapi aku tidak mungkin melakukan hal itu yang sama saja menghentikan suara tawa yang sedari dari ia keluarkan.
Saat sampai di depan rumah, bukannya segera masuk ke dalam rumah, Ayu malah mengajakku untuk berputar-putar di bawah derasnya hujan. Beruntung jalanan kompleks sedang sepi sehingga tidak ada yang membuatku khawatir.
“Farhan! Ayu!” Kegiatan kami terhenti saat suara bunda terdengar. “Masuk udah mau malam! Jangan hujan-hujanan!”
Aku segera meraih tangan Ayu yang sudah mendingin. Masuk ke dalam pekarangan rumah. Dan kami sudah di sambut oleh bunda yang sedang berkacak pinggang. Kami hanya menunjukan cengiran yang dibalas oleh gelengan kepala bunda.
“Habis dari mana?” Tanya bunda sambil memberikan handuk pada kami.
“Habis jalan-jalan,” Jawab Ayu dengan riang. “Rame! Bareng temen-temen.”
Bunda tersenyum menatap Ayu yang kembali ceria. “Ini jas hujan punya siapa?”
“Beli tadi di mall,” Balasku sambil melepaskan sepatuku yang sudah basah kuyup.
“Udah sana mandi, nanti sakit lagi,” Perintah bunda seraya menunjuk pintu yang menghubungkan pekarangan dan dapur.
“Siap bunda negara,” Ucapku sambil menghormat dan diikuti oleh Ayu. Selanjutnya kami berlari menuju pintu diiringi oleh suara tawa.
~
Ayu masih saja menangis dalam pelukan bunda. Aku hanya menatapnya sambil mengusap punggungnya yang terus saja bergetar. Ayah tengah sibuk membujuk Ayu agar berhenti menangis dan mau meminum teh manis hangat yang sedari tadi ayah pegang. Sedangkan kak Baba tengah duduk terdiam di samping bunda.
“Ayu, udah yah jangan nangis lagi,” Ucap Ayah seraya membenarkan selimut yang membungkus tubuh Ayu. “Nanti hujannya malah tambah deres, kan Ayu gak suka sam hujan.”
“Heem, nanti hujannya nambah deras,” Tambah bunda. Ayu menggelengkan kepalanya dan semakin mengeratkan pelukannya.
Ayah menghela napasnya lelah. Ia meletakkan cangkir teh ke atas meja. Ayah berjalan mendekati jendela yang menampilkan derasnya hujan. Aku kembali menatap Ayu mengusap punggungnya.
Lagi dan lagi, Ayu menangis karena kedua orang tuanya. Seolah tidak memiliki hati, mereka sering kali mengacuhkan kehadiran Ayu. Bersikap seolah Ayu bukanlah anak kandung mereka. mengingat apa yang mereka lakukan tadi membuat amarahku kembali tersulut.
~
Aku melakukan suit bersama Ayu untuk menentukan siapa yang lebih dahulu menggunakan kamar mandi. Skor sementara satu sama.
“Gunting, batu, kertas!” Ujar kami bersamaan.
Aku mengeluarkan gunting dan Ayu mengeluarkan batu. Ayu berteriak girang karena dia menang. Aku menghela napas kesal. Ayu berjingkrak senang merayakan kemenangannya.
Selagi Ayu asik dengan kemenangannya, aku mengambil kesempatan masuk ke dalam kamar mandi. Saat sudah berada di dalam kamar mandi terdengar suara pukulan dipintu kamar mandi dan teriakan Ayu.
“Farhan curang! Kan seharusnya Ayu yang mandi duluan! Farhan curang!”
Aku tertawa di dalam kamar mandi membalasnya dengan beberapa ejekan. Yang mengundang bunda datang menghampiri Ayu, “Bunda! Farhan curang! Harusnya Ayu yang mandi duluan!” Adu Ayu pada bunda.
“Hem, kalian itu. Udah Ayu mandi di kamar mandi atas aja, kelamaan kalo nunggu Farhan selesai mandi yang ada nanti kamu demam.”
DUK!
Suara pintu dipukul dengan keras mengagetkanku yang tengah menguping pembicaraan Ayu dan bunda.
“FARHAN JELEK!” Teriak Ayu yang selanjutnya berubah menjad suara derap langkah berat. Aku terkekeh pelan dan memilih untuk segera mandi.
~
Aku memakan mie instanku sambil menatap berita terkini yang ditayangkan salah satu stasiun televisi. Di sana ditayangkan berita mengenai perkembangan kasus yang menyeret kedua orang tua Ayu. Nampak wajah kedua rang tua Ayu menjadi sorotan para wartawan yang telah menunggu di luar gedung. Nampak tidak ada raut penyesalan dari wajah keduanya, yang mereka tampilkan hanya wajah datar seperti biasa.
“Papah,” Aku membalikkan badanku menghadap sumber suara. Nampak Ayu tengah berdiri memegang Jojo dan menatap pada layar televisi.
Kak Baba yang juga berada di ruang keluarga langsung memindahkan stasiun televisi yang menayangkan berita orang tua Ayu. Aku menelan sisi mie instan dalam mulutku.
“Kenapa dipindahin?” Tanya Ayu pada kak Baba.
“Ha? Em,” Jawab kak Baba bingung. Kak Baba menatap ke arahku meminta bantu. “Em, enggak tadi kak Baba cuman cari acara kesukaan kak Baba,” Jawabku.
“Kak Baba suka nonton Tayo?” Tanya Ayu bingung sambil menatap layar televisi yang menayangkan karton anak-anak dengan tokoh utama berbentuk bus tersebut.
“O-oh, iya. Abisnya kak Baba suka jenuh karena mikirin tugas kuliah yang numpuk jadi suka nonton Tayo biar gak jenuh,” Jawab kak Baba.
“Oh..” Ayu berjalan mendekatiku dan duduk di sampingku. Sambil memeluk Jojo Ayu ikut menonton.
Aku dan kak Baba bersamaan menghela napas lega. Aku melanjutkan acara makanku sambil terpaksa menonton serial kantun tersebut. Kulirik Ayu yang masih khusu menonton kartun tersebut, walaupun ada segurat kesedihan yang coba ia sembunyikan. Manfaatkan waktu satu minggu ini buat ngembaliin Ayu, Ucapan Gaga terus terngiang-ngiang di kepalaku. Jika mereka hanya bisa menemani Ayu di sekolah dan sehabis pulang sekolah saja, maka malam harinya menjadi bagianku untuk menjaga Ayu. Bertanggung jawab untuk mempertahankan senyum dan tawa yang baru saja keluar kembali setelah dua minggu terkurung dalam kesunyian.
Bukan cuman Ayu yang butuh Farhan, tapi Farhan juga butuh Ayu.
~
Dengan tubuh yang masih berbalut kebaya serta rambut yang masih di sanggul rapi, Ayu menikmati kue brownis yang menjadi hadiah kami karena telah lulus sekolah menengah pertama. Walaupun tak ada yang mendampingi Ayu ketika acara perpisahan dilaksanakan tidak mengurangi lebarnya senyuman Ayu.
Di sini kami tertawa bersama, walau kak Baba tidak ada karena harus disibukkan dengan kegiatan di sekolahnya dan ayah yang masih berada di kantor. Kami menikmati kue bronis tersebut sambil bertukar cerita.
Di sini kebanyakan bunda yang bercerita tentangku, yang tentu saja membuatku malu karena kelakuanku ketika kelas tiga yang begitu tidak baik. Ayu hanya menanggapinya dengan anggukan dan sesekali tertawa kecil. Rasanya aku merasa bersalah sempat menyalahkannya dan memarahinya yang pada saat itu ingin menjauhkanku dari hal-hal yang berbahaya. Dan aku semakin merasa bersalah saat tahu jika Ayu tidak mengatakan apapun soal aku yang sering tawuran, bolos, dan terkadang berkelahi tanpa kenal tempat.
Terdengar suara gerungan mobil dari luar rumah. Ayu langsung turun dari kursi dan berlari keluar rumah. Aku dan bunda mengikutinya dari belakang. Nampak mobil kedua orang tua Ayu baru saja berhenti di depan rumah. Ayu yang melihat papah dan mamahnya turun langsung menunjukkan kertas hasil belajarnya selama ini dengan semangat.
Bunda merangkulku erat sambil menatap ke depan. Kulihat wajah bunda, terlihat jika mata sudah berkaca-kaca menatap pemandangan diuasai. Aku kembali memandangi Ayu. Papah Ayu tengah memijat keningnya dan berkata pada Ayu hingga bek terdiam dan menunduk. Mamah Ayu yang menatap kami tersenyum kecil dan mengangguk, kemudian menggiring kedua orang itu untuk masuk ke dalam rumah.
"Farhan," Panggil bunda sesaat setelah pintu utama rumah Ayu tertutup rapat.
"Iya bunda?"
"Bunda pengin kamu jaga Ayu," Jeda bunda. "Jaga dia kayak kak Baba jaga kamu."
OLEH LUTHFITA